Kiki Verico : Bertahan di Tengah Badai
Sejak diumumkan pertama kali pada 31 Desember 2019, wabah virus corona baru, Covid-19, telah menjangkiti 75.727 orang, 98 persen berada di Cina dan 2 persen tersebar di 26 negara, dengan rasio tingkat kematian 3 persen. Penyebarannya cepat dan terjadi di Cina, negara ekonomi kedua terbesar di dunia dengan 16,3 persen produk domestik bruto (PDB) dunia (IMF, 2019). Hal in i tentu akan mempengaruhi tidak hanya perekonomian Cina, tapi juga global.
Kontribusi Cina dalam rantai produksi dunia mencapai lebih dari 20 persen pada produk elektronik, listrik, serta teknologi informasi dan komunikasi, baik dari ekspor barang jadi maupun bahan baku. Sementara itu, ekspor furnitur dan tekstil mencapai lebih dari 40 persen barang jadi dan 30 persen bahan baku tekstil.
Hampir tidak ada satu produk pun di dunia yang imun dari jaringan produksi global, baik dari kebutuhan bahan mentah, bahan baku, maupun barang modal, karena tidak mungkin satu produk dihasilkan oleh satu negara saja. Terbuka kemungkinan wabah corona ini akan berpengaruh pada rantai pasok dunia karena peran Cina dalam jaringan produksi dan penjualan dunia cukup dominan.
Menurut laporan beberapa lembaga survei ekonomi global, bila antivirus ditemukan dan musim panas tiba, diperkirakan pelemahan ekonomi dunia hanya berlangsung hingga kuartal kedua dan mulai membaik di kuartal ketiga 2020. Kebangkitan ini membutuhkan waktu karena menurunnya suplai bahan baku dan jasa perawatan mesin diperkirakan akan tetap terasa hingga kuartal ketiga. Tidak mengherankan bila banyak negara mulai merevisi pertumbuhan ekonominya turun, karena sisa waktu pada kuartal keempat tidak cukup untuk menutupi penurunan pertumbuhan pada kuartal pertama dan kedua.
Untuk Indonesia, pengaruh menurunnya rantai suplai Cina akan terasa dari dua sumber, yaitu melemahnya jaringan produksi dan penjualan Asia Tenggara serta hubungan bilateral ekonomi Indonesia-Cina. Pada tingkat kawasan, sebagai bagian dari kerja sama perdagangan bebas ASEAN-Cina, peran Cina pada investasi mencapai 6,5 persen atau nomor empat terbesar setelah Jepang, Singapura, dan Hong Kong. Adapun dari sisi perdagangan, peran Cina di Asia Tenggara mencapai 14 persen dari sisi ekspor dan 21 persen dari sisi impor. Mengingat elastisitas impor pada ekspor bisa mencapai satu, dapat diperkirakan penurunan impor Asia Tenggara dari Cina akan menurunkan kemampuan ekspor ASEAN hingga 18 persen.
Dari sisi bilateral, Cina merupakan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia dengan proporsi 15 persen dari total ekspor dan 24 persen dari total impor dengan posisi defisit Indonesia US$ 18,4 miliar. Ketergantungan pada impor dari Cina tidak hanya pada barang manufaktur final, tapi juga bahan baku, sehingga kondisi ini akan mempengaruhi kemampuan produksi nasional. Dengan elastisitas simultan ekspor dan investasi mencapai hampir setengah dari pertumbuhan ekonomi, maka, apabila kedua variabel ini turun 1 persen, pertumbuhan akan mengalami kontraksi hingga 0,45 persen.
Walau badai pasti berlalu, tidak ada manusia yang tahu berapa lama badai akan berlangsung. Semua lembaga riset global memperkirakan bahwa ekonomi dunia akan mengalami kontraksi sebelum akhirnya membaik. Skenario optimistis menunjukkan pemulihan paling cepat dimulai pada semester kedua 2020. Namun peningkatan jumlah pasien corona setelah perubahan metode deteksi membuat ketidakpastian baru, dan dunia usaha semakin memilih wait and see.
Pada kondisi ekonomi seperti ini, peran pemerintah menjadi sangat penting. Ketika depresi ekonomi global terjadi pada 1929-1930-an, ekspansi fiskal efektif mendorong sisi permintaan, khususnya konsumsi (countercyclical, Keynesian). Di Indonesia, contohnya, penyaluran Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, Kartu Pra Kerja, serta bantuan pendidikan, seperti Bantuan Operasional Sekolah; dan bantuan kesehatan, seperti Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional.
Kebijakan fiskal untuk membalikkan laju penurunan ke peningkatan pertumbuhan harus dilakukan secara cepat dan efektif. Cepat, misalnya, dengan mendorong akselerasi belanja kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Efektif berarti meningkatkan dampak pengganda belanja pemerintah dalam pembangunan, seperti infrastruktur dan dana desa.
Dalam jangka menengah, akan terjadi penyesuaian jaringan suplai global sehingga terbuka kemungkinan arus investasi asing masuk ke Asia Tenggara, tempat Indonesia harus bersaing dengan Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Kombinasi insentif fiskal dan ekspansi moneter melalui penurunan suku bunga dan kestabilan nilai tukar dapat mendorong produktivitas di sisi suplai.
Beberapa strategi dapat dilakukan terkait dengan ketenagakerjaan, perpajakan, modernisasi sistem logistik, kepabeanan, insentif produksi bahan baku berkualitas ekspor, dan peningkatan kualitas pekerja melalui kerja sama pelatihan vokasi. Sejarah menunjukkan, ketika ekonomi diterpa badai, peran pemerintah menjadi penting untuk memecah kebuntuan dan bertahan di tengah badai.
Kiki Verico
Wakil Kepala LPEM FEB UI dan Dosen FEB UI
Sumber : Tempo 24 Februari 2020