Bincang Sore Bersama FEB UI Seri 5: “Dampak Pandemi, Belajar dari Sejarah”

0

Bincang Sore Bersama FEB UI Seri 5: “Dampak Pandemi, Belajar dari Sejarah”

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI), mengisi acara Bincang Sore Bersama FEB UI ke-5 yang berjudul “Dampak Pandemi: Belajar dari Sejarah” melalui webinar, pada Selasa (2/6/2020).

Narasumber pada acara bincang ini adalah Turro Selrits Wongkaren, Ph.D., Kepala LD FEB UI, Dr. Bagus Takwin, Dosen Fakultas Psikologi UI sekaligus Adjunct Peneliti LD FEB UI, dengan moderator Dr. Dwini Handayani, Ketua Program Studi Magister Ekonomi Kependudukan dan Ketenagakerjaan (MEKK) FEB UI. Acara dihadiri secara daring oleh 1400 pendaftar dari berbagai kalangan di seluruh Indonesia.

Dr. Beta Yulianita Gitaharie, Pj. Dekan FEB UI dalam sambutan pembuka menyebutkan pandemi merupakan epidemic penyakit yang melanda orang dalam skala besar. Sejarah mencatat sudah ada 20 pandemi besar yang terjadi di bumi ini sejak abad ke-2 setelah Masehi. Di masa lalu, pandemi seperti sekarang ini, disebut sebagai ‘kutukan Tuhan’. Narasumber pada webinar ini, akan memaparkan apakah pandemi benar atau tidak berasal dari ‘kutukan Tuhan’ atau bagaimana persepsi adanya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan bisa membuat pergeseran terhadap pandangan tersebut.

Turro Selrits Wongkaren, sebagai narasumber pertama, memaparkan mengenai ‘Dampak Pandemi Spanish Flu’. Pandemi Spanish Flu merupakan pandemi sangat besar, terjadi secara global yang menjangkit 500 juta (seperempat penduduk dunia) dengan sekitar 40-50 juta kematian. Terjadi dalam tiga gelombang, yakni spring tahun 1918, fall tahun 1918, dan winter tahun 1918-spring 1919. Hal ini menyebabkan dampak perekonomian dunia mengalami resesi dalam jangka pendek dan mengalami pertumbuhan ekonomi sangat pesat dalam jangka menengah yang terjadi pada dekade 1920-an.

Berbeda dengan penyakit pneumonia dan flu di masa lainnya, Spanish Flu terjadi pada usia produktif. Selain itu, analisis cohort menunjukkan dampak negatif pada mereka yang lahir pada 1918 – 1919 dengan tingkat pendidikan dan upah yang rata-rata lebih rendah, probabilitas mereka untuk menjadi miskin lebih tinggi, dan tingkat kecacatan lebih tinggi pada usia 61 tahun.

“Sedangkan, secara demografi, ada 3 tahapan yang terjadi pada saat pandemi. Pertama, mortalitas dan morbiditas tinggi, frekuensi koitus sangat rendah. Kedua, mortalitas dan morbiditas turun, sementara frekuensi koitus dan konsepsi rendah, sebagian karena marital dissolutions (suami atau istri meninggal karena pandemi). Ketiga, kelahiran mulai meningkat karena kompensasi kematian, tetapi hanya sebentar, karena setelah itu fertilitas mulai menurun,” ujar Turro.

Sementara itu, kondisi sosial berdampak pada menurunnya kepercayaan (trust), khususnya pada pendatang, dan cenderung terjadi bias gender yaitu alokasi untuk anak perempuan yang lebih rendah. Di Indonesia, Spanish Flu ini menyebabkan kematian di daerah Jawa sekitar 4,3 juta orang, dan sementara vaksinnya baru ditemukan secara luas sekitar tahun 1940-an. “Oleh karena itu, Spanish Flu ada kesamaannya dengan Covid-19 yang bisa memengaruhi berbagai aspek kehidupan kita dan aspek kenormalan baru (social atau physical distancing),” tutup Turro.

Bagus Takwin, sebagai narasumber kedua, menyampaikan bahwa krisis ekonomi yang diakibatkan Covid-19 saat ini diperkirakan akan berdampak lebih buruk pada kesehatan mental karena tekanan yang diterima individu dan masyarakat lebih besar dan berganda. Selain ancaman penyakit yang menimbulkan kecemasan dan rasa panik, kesedihan akibat kehilangan orang dekat, juga dampak ekonomi yang memberikan pukulan berat tambahan kepada mereka.

Sementara itu, dampak psikologis yang terjadi dari wabah penyakit bisa memengaruhi 7 aspek, yaitu emosional, kognitif, tingkah laku, kesehatan, sosial-budaya, ketimpangan dan ketidaksetaraan, dan politik. Sedangkan, dampak psikologis dari krisis ekonomi memengaruhi peningkatan prevalensi penggunaan alkohol dan narkoba, bunuh diri (kematian, percobaan, dan ideasi), penggunaan layanan kesehatan mental, dan ketimpangan kesehatan.

“Maka, langkah yang perlu dilakukan ialah meningkatkan layanan kesehatan mental, menghadirkan kebijakan perlindungan sosial yang kuat, pengelolaan tingkah laku, dan menanamkan pola pikir adaptif melalui komunikasi yang difasilitasi oleh pemerintah. Di satu sisi, penelitian yang lebih spesifik dan komprehensif sesuai konteks Indonesia perlu dilakukan mencakup penelitian terapan mengenai langkah-langkah yang perlu diambil untuk mencegah gangguan kesehatan mental dari dampak Covid-19 dan krisis ekonomi yang menyertainya,” tutup Bagus Takwin. (hjtp)