Bincang Sore Bersama FEB UI Seri 6: “Strategi Pemulihan Ekonomi dari Dampak Covid-19”
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), mengisi acara webinar Bincang Sore Bersama FEB UI ke-6, yang berjudul “Strategi Pemulihan Ekonomi dari Dampak Covid-19” pada Selasa (9/6/2020).
Narasumber pada acara bincang ini adalah Febrio N. Kacaribu, Ph.D., Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI, Mohamad Dian Revindo, Ph.D., Kepala Kajian Iklim Bisnis dan Rantai Nilai Global di LPEM FEB UI, Chaikal Nuryakin, Ph.D., Kepala Kajian Ekonomi Digital dan Ekonomi Perilaku di LPEM FEB UI, dengan moderator Kiki Verico, Ph.D., Wakil Kepala Bidang Penelitian di LPEM FEB UI. Acara dihadiri secara daring oleh 478 peserta dari jumlah 800 pendaftar yang berasal dari berbagai kalangan di seluruh Indonesia. Acara juga disiarkan langsung melalui Youtube FEB UI.
Mohamad Dian Revindo, sebagai narasumber pertama, menyampaikan bahwa new normal dalam kegiatan ekonomi diterjemahkan sebagai pelaku usaha mempertahankan protokol kesehatan Covid-19 dan masyarakat mempertahankan kesadaran hidup sehat dengan tujuan mencegah pandemi gelombang ke-2 sembari memulihkan perekonomian. Momentum pemulihan berdasarkan kondisi ekonomi dilihat dari 2 bulan terakhir, yaitu per Mei (daya beli rendah, inflasi bahan makanan rendah, ekspor non-migas masih kuat), per Juni (relaksasi PSBB, geliat ekonomi masyarakat mulai terlihat, rupiah menguat).
“Strategi pemulihan ekonomi bisa dilakukan dengan memanfaatkan melek Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bagi pelaku usaha dan konsumen, memperhatikan the Vulnerable dan the Survivor (bertahan karena sektornya berkembang dan bertahan karena berinovasi), bangkit dari desa, menerapkan protokol kesehatan di fasilitas publik dan pelaku usaha (detail informasinya tersosialisasi, terawasi, adanya rating, reward, punishment),” ucap Revindo.
Febrio N. Kacaribu, sebagai narasumber kedua, memaparkan bahwa pandemi Covid-19 memberikan efek domino pada aspek kesehatan, sosial, ekonomi, dan keuangan. Aktivitas ekonomi global sudah mulai menunjukkan perbaikan pada Mei seiring relaksasi/normalisasi. Meski masih dalam level kontraksi, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur global di bulan Mei sudah meninggalkan titik terendahnya. Negara-negara yang sudah mencatatkan perbaikan PMI manufaktur, antara lain AS, Eropa, Tiongkok, dan Malaysia, yang didukung oleh relaksasi lockdown/distancing yang sudah dilakukan.
Kepercayaan investor global terus membaik terutama sejak kasus Covid-19 melambat di beberapa negara dan dilakukannya normalisasi. Kinerja sektor keuangan global terus menunjukkan tren positif. Volatilitas sektor keuangan global sudah semakin stabil ditandai oleh VIX Index dan Move Index yang konsisten menurun sejak April. Saham negara maju dan berkembang terus melanjutkan tren rebound. Arus modal masuk mulai kembali ke negara berkembang meski masih relatif terbatas.
“Pada dasarnya, dampak Covid-19 terhadap perekonomian Indonesia memberi ancaman pada sisi konsumsi. Pertumbuhan Q1-2020 menunjukkan konsumsi termasuk Lembaga Non Profit Rumah Tangga (LNPRT) naik sebesar 2,7%, investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) 1,7%, konsumsi pemerintah 3,7%, ekspor 0,2%, dan impor -2,2%. Sedangkan, sisi dunia usaha di pertumbuhan Q1-2020 menunjukkan manufaktur sebesar 2,1%, perdagangan 1,6%, transportasi 1,3%, akomodasi dan mamin 2,0%, pertanian 0,0%, pertambangan 0,4% dan konstruksi 2,9%,” ujar Febrio.
Lanjut Febrio, proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 sebelum Covid-19 sebesar 5,3% pada APBN 2020, namun sesudah Covid-19 menunjukkan -0,4% pada skenario sangat berat dan 2,3% pada skenario berat. Selain itu, kemiskinan bertambah 4,86 juta orang pada skenario sangat berat dan bertambah 1,89 juta orang pada skenario berat, serta pengangguran bertambah 5,23 juta orang pada skenario sangat berat dan bertambah 2,92 juta orang pada skenario berat. Dengan berbagai langkah extraordinary, pemerintah berupaya menjaga agar pertumbuhan dan dampak kesejahteraan tidak menuju skenario sangat berat.
“Pemerintah sudah mengeluarkan anggaran untuk penanganan Covid-19 berjumlah Rp677,20 triliun. Alokasi anggaran tersebut digunakan untuk kesehatan sebesar Rp87,55 triliun, perlindungan sosial sebesar Rp203,90 triliun, UMKM sebesar Rp123,46 triliun, insentif usaha sebesar Rp120,61 triliun, pembiayaan korporasi sebesar Rp 44,57 triliun, dan sektoral K/L dan Pemda sebesar Rp97,11 triliun. Selain itu, biaya pemulihan ekonomi Nasional berjumlah 589,65 triliun. Anggaran tersebut digunakan untuk sisi permintaan sebesar Rp205,20 triliun dan sisi penawaran sebesar Rp384,45 triliun,” tutup Febrio.
Chaikal Nuryakin, sebagai narasumber ketiga, mengatakan bahwa konsumsi masyarakat turun baik jumlah maupun besarannya saat terjadi pandemi Covid-19. Hal ini meski tanpa PSBB terjadi karena adanya masyarakat yang risk averse, berumur lebih dari 50 tahun dan memiliki penyakit yang berbahaya jika terinfeksi Covid-19. Dengan PSSB, agen ekonomi dengan daya beli besar, misal hotel, akan hilang dari pasar, membuat permintaan agregat turun drastis.
Kerangka penting dalam pemulihan ekonomi, adalah bahwa kehidupan dan kesehatan manusia yang utama, dan juga kehidupan perusahaan tetap dijaga terutama untuk sektor esensial. Setelah kesehatan, keberlangsungan dan kualitas pendidikan harus diperhatikan karena dampak jangka menengah dan panjang.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO merekomendasi untuk berjaga jarak dengan yang lainnya minimal 1 meter. Pelaksanaan dari rekomendasi ini bagi masyarakat dan perusahaan sangat tergantung dari karakateristik perusahaan. Perlu adanya peninjauan ulang terhadap penetapan 50% kapasitas menuju kepada jarak satu meter antar grup bukan antar individu.
Sektor digital yang tumbuh juga perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah melalui pajak. Pajak terhadap platform digital untuk hiburan bisa dilakukan, namun perlu dihindari pajak terhadap platform untuk pendidikan dan kesehatan. “Seiring berjalannya waktu, pemerintah harus bisa memanfaatkan momentum untuk mendorong percepatan terhadap permintaan. Pemulihan ekonomi ketika vaksin belum tersedia membutuhkan keseimbangan kebijakan. You need more than just money to dance, on the tightrope with Covid-19,” tutup Chaikal. (hjtp)