Ari Kuncoro: Prediksi Momentum Pertumbuhan

0

Ari Kuncoro: Prediksi Momentum Pertumbuhan

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Selasa (16/6/2020), Profesor Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia, merilis tulisannya yang dimuat di Harian Kompas, kolom Analisis Ekonomi, yang berjudul “Prediksi Momentum Pertumbuhan”. Berikut tulisannya.

“Prediksi Momentum Pertumbuhan”

Seperti virus korona tipe baru yang bermutasi di luar dugaan, ramalan perekonomian dunia juga sangat beragam. Berita baik dan buruk datang silih berganti. Pasar saham di Amerika Serikat yang sejak pekan pertama April mulai optimistis memasuki zona bullish ikut meniti ombak optimisme relaksasi perekonomian. Namun, optimisme ini terkoreksi ke bawah pada awal Juni sebesar 6,9 persen untuk Dow Jones dan 5,9 persen untuk S&P 500 karena ketakutan terhadap gelombang kedua penularan Covid-19.

Secara mengejutkan, angka pengangguran di AS pada Mei turun pertama kali sejak pandemi Covid-19, dari 14,7 persen ke 13,3 persen, dengan 2,5 juta tambahan kesempatan kerja. Ini memengaruhi survei terhadap 34 ekonom makro kuantitatif terkemuka oleh National Bureau of Economic Research bekerja sama dengan Sekolah Bisnis Booth, Universitas Chicago, AS. Menurut prediksi terbaru, pengangguran di AS turun di bawah 10 persen sebelum 2020 berakhir.

Namun, berita positif pasar tenaga kerja AS dibarengi ramalan pesimistis Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yakni pertumbuhan ekonomi dunia akan mengalami kontraksi paling tidak 6 persen tahun 2020. Bahkan, dengan ancaman gelombang kedua pandemi, kontraksi 7,6 persen dapat saja terjadi.

Untuk 2021, perekonomian dunia diprediksi tumbuh 2,8-5,2 persen. Rentang yang lebar ini menunjukkan peramalnya juga penuh ketidakpastian. Seirama dalam satu orkestra, Bank Dunia mengubah ramalannya ke arah lebih pesimistis, yakni pertumbuhan global akan terkontraksi 5,2 persen walaupun masih lebih optimistis dibandingkan dengan OECD.

Prediksi untuk Indonesia

Kesimpangsiuran prediksi itu mengingatkan pada konsep overshooting dari Dornbusch (1976). Variabel-variabel ekonomi akan bergerak tak sesuai dengan keseimbangan jangka panjangnya karena para pelaku ekonomi hanya mempunyai informasi terbatas, termasuk di sini lembaga-lembaga Internasional penyedia outlook. Hal ini dapat dipahami karena selain upaya pencegahan penularan, pandemi Covid-19 juga masih dipenuhi ketidakpastian.

OECD memperkirakan, Indonesia tumbuh minus 2,9 persen sampai dengan 3,9 persen pada 2020, sedangkan pada 2021 terakselerasi ke 5,2 persen. Bank Dunia punya rentang ramalan lebih sempit dari nol persen pada 2020 dan 4,8 persen pada 2021. Bank Dunia memiliki catatan potensi kontraksi 3,4 persen jika pembatasan sosial berskala besar dilakukan empat bulan. Bernada lebih optimistis, media AS, Politico, menempatkan RI setelah Vietnam, China, dan Taiwan sebagai negara yang dapat menjaga keseimbangan antara mencegah penularan dan meminimalkan resesi meski disertai banyak catatan.

Data Badan Pusat Statistik memberikan dua cara melihat pertumbuhan, tahunan dan triwulanan. Secara tahunan, pertumbuhan triwulan I-2020 dibandingkan dengan triwulan I-2019 adalah 2,97 persen. Jika triwulan I-2020 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, pertumbuhan minus 2,41 persen. Artinya, dampak negatif wabah terhadap transportasi, perdagangan, hotel, dan restoran sudah terjadi sejak Februari, memperkuat dampak negatif perang dagang AS-China.

Untuk mencapai pertumbuhan nol persen atau lebih pada 2020, harus ada kompensasi pertumbuhan positif yang signifikan pada triwulan II, III, dan IV. Hal ini dimungkinkan jika normal baru dibarengi disiplin perilaku hidup sehat dan bersih. Dua faktor pendorong dalam negeri, yakni konsumsi dan investasi, menjadi sangat penting. Prospek ekspor untuk sementara masih akan kecil, menunggu pertumbuhan ekonomi positif negara-negara mitra dagang. Triwulan II tampaknya tak dapat diharapkan lagi karena berbagai indikator menunjukkan Indonesia menghadapi tren penurunan.

Indeks Keyakinan Konsumen yang dipublikasikan Bank Indonesia turun ke 77,8 pada Mei setelah pada April, untuk pertama kali, memasuki zona pesimistis (di bawah 100), yakni 85,4. Faktor utama penyebab pesimisme adalah ketersediaan lapangan kerja. Salah satu konsekuensinya, masyarakat menunda pembelian barang tahan lama, seperti elektronik, furnitur, dan perkakas rumah tangga. Sisi positifnya, untuk enam bulan mendatang, masyarakat cukup optimistis wabah Covid-19 mereda. Dengan mengandalkan daya beli dalam negeri, pertumbuhan positif diperkirakan terjadi pada triwulan IV-2020.

Dari sisi dunia usaha, Indeks Keyakinan Bisnis (IKB) masih turun dari 105,33 pada April ke 104,82 pada Mei, walaupun tetap dalam zona optimistis. Adapun angka Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur, yang menunjukkan keyakinan produsen untuk menyimpan persediaan bahan baku, barang setengah jadi, dan lain-lain, mencapai titik terendah 27,70 pada April, lalu menguat tipis ke 28,6 pada Mei. Namun, angka ini masih jauh dari 50, yang membedakan antara zona pesimistis (di bawah 50) dan zona optimistis (di atas 50).

Jarak lebar antara keyakinan bisnis (yang masih optimistis) dan kemampuan produksi (yang masih pesimistis), jika terjadi pemulihan permintaan masyarakat, berpotensi sebagian besar diisi produk-produk akhir impor karena produksi dalam negeri masih stagnan. Neraca perdagangan April 2020 defisit 350 juta dolar AS walaupun pada Januari-April 2020 surplus 2,25 miliar dolar AS. Defisit neraca dagang pada April terjadi karena penurunan ekspor lebih besar daripada penurunan impor yang menunjukkan rantai pasok Indonesia dan dunia masih mati suri, di tengah perlambatan pertumbuhan global. Ekspor turun 13,33 persen dibandingkan bulan sebelumnya, sedangkan impor turun 6,10 persen. Penurunan impor terjadi pada barang konsumsi (0,02 persen), bahan baku dan penolong (7,30 persen), dan barang modal (14,12 persen).

Berbagai kebijakan telah dilakukan selama perekonomian dunia masih dalam kondisi hibernasi. Nilai tukar rupiah praktis sudah mendekati seperti sebelum pandemi. Pengurutan kebijakan (sequencing) mulai dari pernyataan tanggap darurat pandemi hingga pencanangan normal baru terjadi dalam tiga bulan. Hal ini berlangsung seiring relaksasi penguncian wilayah di seluruh dunia. Diharapkan pemulihan ekonomi domestik dapat memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi dunia. Sama halnya di belahan bumi lain, normal baru akan menganut prinsip buka tutup sesuai perkembangan indikator kesehatan dan indikator ekonomi hajat hidup masyarakat demi menyeimbangkan keduanya. (hjtp)

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 16 Juni 2020. Kolom Analisis Ekonomi. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.