Sri Mulyani : Cara Menghidupkan Kembali Ekonomi Global Pada PBB

Sri Mulyani : Cara Menghidupkan Kembali Ekonomi Global Pada PBB

Delli Asterina ~ Humas FEB UI

Jakarta, 01/07/2020 Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Ph.D, menjadi salah satu pembicara dalam acara yang diselenggarakan oleh PBB mengenai Menghidupkan Kembali Ekonomi Global untuk Perkembangan yang Berkesinambungan atau Rebirthing the Global Economy to Deliver Sustainable Development,  Rabu, (01/07) di Youtube PBB.

Ia mengawali dengan pandemi Covid-19  telah merubah hidup banyak orang. Ekonomi global telah mengalami resesi atau potensi depresi. Ekonomis khawatir segala upaya, kemajuan yang telah dilakukan 20-30 tahun terakhir dalam pengentasan kemiskinan dan berbagi kesejahteraan menjadi percuma. Contohnya Indonesia, mengalami kemunduran sekitar 5 tahun dalam pengentasan kemiskinan karena pandemi yang baru terjadi 6 bulan belakangan ini.

Dari pandangan Sustainable Development Goals (SDGs), pandemi ini merenggut people (orang), prosperity(kesejahteraan) dan partnership (kerjasama). Bagaimana cara kita membangun kembali (rebirthing).  “Pertama, pandemi ini mempengaruhi ekonomi negara secara signifikan. Ini  membuat sumber pembiayaan menjadi terbatas, penerimaan perpajakan turun karena semua kegiatan ekonomi terkontraksi, dan pada waktu yang sama, perlu belanja untuk kesehatan dan Jaring Pengaman Sosial (JPS), dan stimulus pemulihan ekonomi meningkat tajam,” jelasnya.

Bagaimana mencari solusi pembiayaan? “Anggaran kita tahun ini awalnya dirancang defisit 1,7% dari GDP, sangat kecil apabila dibandingkan dengan negara lain. Namun karena pandemi Covid-19, kita harus merevisi defisit sebesar 6,3%, meningkat tajam. Bagaimana caranya untuk membiayai itu? Jika sebuah negara punya space fiskal, bisa dari tabungan masa lalunya (past saving), juga pembiayaan dari institusi multilateral,” paparnya.

Menkeu mengapresiasi berbagai lembaga multilateral itu. Namun, menurutnya, itu saja tidak cukup. Jadi, negara berkembang perlu pinjaman lainnya seperti dari pasar uang lokal, bond atau global bond. Namun, akses pinjaman dari lembaga keuangan global untuk negara berkembang atau negara miskin bunganya terlalu tinggi. Menurutnya, itu adalah diskriminasi yang tidak menciptakan kesempatan yang sama untuk mengejar (catch up) atau mengatasi isu pandemi ini. Jadi, akses dan harga adalah penting.

Ia melanjutkan, dinamika utang akan sangat sulit untuk mayoritas negara di dunia. Oleh karena itu, pertama yang harus dilakukan oleh negara-negara berkembang dan miskin ini adalah menggunakan pandemi ini untuk momentum reformasi besar-besaran dalam hal pendidikan, perumahan, jaring pengaman sosial atau kualitas belanja.

“Di negara saya, saat meningkatkan belanja, apakah belanja itu bisa dijustifikasi? Apakah belanja itu di arah yang benar? Apakah delivered (sampai atau tepat sasaran) dan berdampak positif pada masyarakat dan ekonomi? Itu adalah kualitas belanja. Desain kebijakan saat keadaan darurat sangat sulit dan menantang tapi Anda harus memberikan yang terbaik,” tegasnya.

Kedua, keadaan pandemi memaksa orang untuk bekerja dari rumah (WFH), sekolah dari rumah (SFH). Kegiatan tersebut bisa dilakukan secara virtual dan berhasil. Namun yang terpenting, apakah sebuah negara punya infrastruktur digital untuk berubah dan menerapkan proses bisnis virtual. Jadi, berinvestasi pada Teknologi Informasi (IT) dan infrastruktur digital sangat penting di masa sekarang dan masa depan.

Terakhir apakah arsitektur keuangan global dapat merespons dengan baik situasi ini. Banyak negara menghadapi defisit fiskal, belum lagi keseimbangan pembayaran. Tapi bila tidak segera diatasi, maka situasi fiskal ini akan mempengaruhi sektor keuangan apakah berbentuk kredit macet (NPL) yang bisa membahayakan ekonomi dan keuangan di banyak negara. Respons kebijakan, salah satunya yang dilakukan Indonesia adalah memberi relaksasi untuk restrukturisasi perbankan menyesuaikan guncangan.

Menkeu mengatakan bahwa pemerintah memberikan relaksasi, subsidi, restrukturisasi utang, yang difokuskan untuk sektor akar rumput, sektor informal, UMKM dan orang miskin. Wanita sebagai gender yang banyak memiliki bisnis UMKM dan Ultra Mikro juga turut diperhatikan.

“Pandemi ini menyerang sektor akar rumput, sektor informal, UMKM, orang miskin dan khususnya gender wanita. Oleh karena itu, dalam mendesain rebirthing economy, kita harus memperhatikan keempat ini. Banyak kebijakan kami berpihak kepada mereka dalam bentuk subsidi, dan restrukturisasi utang mereka agar mereka mampu bertahan dalam masa sulit ini,” harapnya.

Menkeu juga berharap akan lebih banyak lagi kebijakan yang pro dengan perspektif wanita seperti dalam kepemilikan properti, tanah, dan akses pendidikan.

“Saya berharap akan makin banyak lagi kebijakan apakah reformasi perumahan, reformasi pendidikan, pemilikan tanah, dan kita dapat menempatkan persepektif gender wanita yang lebih baik,” pungkasnya. (hjtp)

Sumber : Kemenkeu.go.id