Muhamad Chatib Basri: Jalan Panjang Pemulihan Ekonomi
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK ā Rabu (8/7/2020), Muhamad Chatib Basri, Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, merilis tulisannya yang dimuat di Kompas.id, kanal Opini ā Krisis Ekonomi, yang berjudul āJalan Panjang Pemulihan Ekonomiā. Berikut tulisannya.
āJalan Panjang Pemulihan Ekonomiā
Ekonomi tak akan pulih secara otomatis, kecuali jika pemerintah masuk untuk mendorong permintaan. Pemerintah harus mengambil semua langkah untuk keselamatan masyarakat dan memulihkan ekonomi, hingga vaksin ditemukan.
Ia membuka helmnya. Peluh membasahi wajahnya. Pengemudi ojek daringĀ (ojol) itu lalu menyerahkan bungkusan makanan yang saya pesan. āTerima kasih,ā ujar saya. Ia mengangguk. Saya tak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin cemas atau berharap agar aktivitas ekonomi segera dibuka, lalu pulih.
Mungkin ia salah seorang yang suaranya terwakili dari survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), 18-20 Juni lalu. Survei itu bicara: semakin banyak warga yang berpendapat bahwa situasi ekonomi akan lebih baik setahun ke depan. Ada harapan walau ancaman wabah masih menghantui. Benarkah demikian? Bagaimana jalur lintasan (trajectory-path) pemulihan ekonomi? Apa yang harus dilakukan?
Sumber pemulihan
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, dari mana sumber pemulihan ekonomi beberapa tahun ke depan? Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menulis dengan nada muram: dalam dua tahun ke depan, perekonomian global belum akan kembali pada situasi seperti akhir 2019.
Dalam kasus China, indikator produksi memang sudah mulai membaikāsetelah ekonomi dibuka. Namun, permintaan masih lemah. Ini mudah dimengerti. Sebagai pemain global, perekonomian China akan sangat bergantung pada pemulihan ekonomi dunia, khususnya Amerika Serikat.
Masih lemahnya ekonomi China dan juga India membuat harga barang tambang dan komoditas, khususnya batu bara dan kelapa sawit, tertekan. Padahal, ekspor kita masih banyak bergantung pada sumber daya alam. Implikasinya adalah Indonesia masih sulit untuk mengharapkan pada sumber pertumbuhan eksternal seperti ekspor.
Kedua, lalu apa alternatifnya? Fokus pada sumber pertumbuhan domestik. Idealnya, investasi swasta. Namun, kita perlu jernih, penutupan ekonomi, lesunya permintaan, amat menekan dunia usaha untuk sementara waktu. Selain itu, investasi baru akan meningkat jika ada permintaan, jika ada konsumsi.
Kebijakan membuka kembali ekonomi memang bisa menggerakkan produksi. Namun, jika permintaan lesu, untuk apa meningkatkan produksi jika tidak laku? Mungkin satu-satunya sektor yang masih mempunyai mesin untuk bergerak saat ini adalah pemerintah, bukan swasta. Di sinilah peran dari kebijakan fiskal amat penting untuk mendorong daya beli.
Pembatasan sosial jelas diperlukan untuk mengatasi pandemi, tetapi ia bisa bias untuk kelompok menengah atas, jika perlindungan sosial buat kelompok menengah bawah tak cukup. Kelompok menengah atas yang memiliki tabungan, punya kemewahan untuk memilih tetap tinggal dirumah, menghindari wabah, atau langsung beraktivitas. Sebaliknya, kelompok menengah bawah tidak memiliki pilihan banyak. Mereka harus kembali bekerja kecuali jika mereka mendapat cukup bantuan sosial.
Argumen saya ini konsisten dengan hasil survei SMRC yang menunjukkan kelompok yang menginginkan ekonomi segera dibuka kembali kebanyakan berasal dari latar pendidikan sekolah dasar, berlatar pekerjaan pedagang kaki lima, sopir ojol, dan berpendapatan kurang dari Rp2 juta per bulan.
Sebaliknya mereka yang menganggap bahwa kebijakan normal baru perlu ditunda, kebanyakan berasal dari kelompok dengan penghasilan Rp4 juta ke atas per bulan, dengan pendidikan perguruan tinggi dan berlatar pekerjaan profesional, berpendapatan tetap. Itu sebabnya, perlindungan sosial amat penting untuk membantu daya beli kelompok menengah bawah.
Jump start (kebijakan awal) harus dimulai dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) yang lebih luas, juga program padat karya tunai, Program Keluarga Harapan (PKH). Perlindungan sosial perlu diperluas pada kelompok aspiring middle class. Sebagai contoh Bank Dunia (2020) memperkirakan ada 115 juta orang yang masuk dalam kategori aspiring middle class (calon kelas menengah).
Jika kelompok ini yang ingin dituju, bantuan sosial perlu diberikan kepada sekitar 30 juta rumah tangga. Jika nilai manfaat adalah Rp 1 juta per bulan dan diberikan selama empat bulan, dibutuhkan Rp 120 triliun atau sekitar 0,75 persen dari produk domestik bruto (PDB) untuk program ini.
Sektor riil
Ketiga, pemerintah menyatakan ada risiko kontraksi pertumbuhan ekonomi di triwulan kedua. Harapannya, pemulihan akan terjadi di triwulan ketiga. Namun, jika permintaan tetap lesu dan kontraksi masih terjadi, kita akan masuk ke dalam resesi ekonomi. Kita tahu, kesulitan ekonomi ini membuat sektor riil mandek. Jika ini terjadi, kredit macet meningkat, dan dampaknya bisa merembet ke sektor perbankan.
Untuk menghindari itu, perbankan akan menjadi sangat hati-hati, bahkan akan mengurangi pemberian kredit atau menghentikannya. Saya jadi teringat pengalaman di G-20 tahun 2008-2009. Saat itu, akibat krisis keuangan global, perdagangan dunia lumpuh. Nyaris tak ada bank komersial yang mau memberikan kredit kepada eksportir.
Risiko kredit macet terlalu besar. Lalu dalam pertemuan G-20 di London, 2009, diputuskan untuk memberikan dana pembiayaan perdagangan (trade financing) sebesar 250 miliar dollar AS untuk dua tahun. Tak hanya itu, lembaga multilateral masuk untuk memberikan dukungan pembiayaan modal kerja dan penjaminan kredit, asuransi ekspor, agar ekspor bisa kembali berjalan. Dunia usaha membutuhkan kebijakan seperti ini.
Perbankan tentu khawatir memberikan pinjaman kepada sektor riil kecuali jika ada penjaminan dari pemerintah. Karena itu, program penjaminan kredit harus berjalan, begitu juga dengan restrukturisasi kredit. Di sisi lain, karena aktivitas ekonomi terhenti, praktis tak banyak permintaan kredit baru. Ini yang menjelaskan, bahwa secara umum masalah utama saat ini sebenarnya adalah credit crunch (keengganan bank memberikan kredit karena risiko pailit), bukan karena soal likuiditas.
Pemerintah telah menyiapkan skema ini. Ini adalah langkah yang tepat. Namun, perlu dipastikan: aturan penjaminan kredit dan juga subsidi bungaāharus dibuat sederhana, mudah diimplementasikan dan tak menimbulkan risiko besar di perbankan, baik risiko kredit, risiko hukum, maupun risiko operasional. Apabila terlalu rumit, ada risiko program ini tak akan efektif.
Likuiditas di perbankan secara umum cukup baik, tecermin dari menurunnya rasio kredit terhadap simpanan dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR).
Kita juga perlu mengapreasiasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk kebijakan relaksasi kredit sampai Maret 2021. Namun, jangan lupa, persoalan yang sesungguhnya mungkin baru akan muncul setelah Maret 2021, setelah relaksasi kredit berakhir.Ā Karena, pada saat itulah kita akan tahu berapa besar kredit yang benar-benar macet, kecuali jika OJK memperpanjang kebijakan relaksasinya. Di situlah masalah di sektor perbankan akan muncul. Di situlah perbankan mungkin akan menghadapi berbagai masalah mulai dari kredit macet, profitabilitas, modal, dan likuiditas.
Tapak jalan persoalan ini menjadi penting dipahami dan bagaimana mengantisipasinya. Di negara lain, bank sentral memainkan peranan penting dalam memberikan dukungan likuiditas kepada perbankan, lembaga keuangan non-bank, khususnya yang memberikan pinjaman kepada usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM). Tengok paket kebijakan yang dikeluarkan oleh Reserve Bank of Australia, Monetary Authority Singapore, Bank of Thailand, Bank of England, The Fed, dan berbagai bank sentral lainnya.
Kebijakan pemulihan ekonomi
Keempat, setelah aktivitas kembali normal dengan dibukanya ekonomi, maka kebijakan pemulihan bisa dimulai dengan ekspansi fiskal untuk mendorong daya beli, yang kemudian dikombinasikan dengan stimulus moneter, seperti penurunan bunga, giro wajib minimum (GWM), dan kebijakan kemudahan aturan di sektor riil.
Persoalannya, apakah ada ruang fiskal untuk melakukan ini? Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan bahwa defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus kembali berada di bawah 3 persen pada tahun 2023. Saya memahami dan mendukung sikap kehati-hatian ini. Namun, mungkin ada baiknya kita melihat kerangka fiskal kita sampai 2023.
Proyeksi pemerintah dalam kerangka ekonomi makro dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan perpajakan akan berada pada kisaran 8,4-9,1 persen terhadap PDB tahun 2023. Di sisi lain, rasio utang terhadap PDB akan berkisar 36,5-37,4 persen pada 2023. Dengan meningkatnya utang, rasio bunga utang terhadap total belanja APBN diperkirakan akan meningkat dari 12 persen pada 2019 menjadi 16-17 persen pada 2023.
Di sisi lain, kita tahu bahwa ada belanja wajib yang harus dilakukan pemerintah seperti dana pendidikan (20 persen) dari total belanja, dana transfer ke daerah (sekitar 30 persen), dana desa (10 persen) dari dana transfer ke daerah dan sebagainya. Di saat yang sama rasio pajak (tax ratio) hanya diproyeksikan 9,4-10,1 persen dari PDB.
Kombinasi dari penerimaan pajak yang masih rendah, beban belanja yang terus meningkat, target untuk mengembalikan defisit APBN menjadi 3 persen pada tahun 2023, membuat ruang ekspansi fiskal amat terbatas. Padahal, untuk sementara waktu kita butuh ekspansi fiskal agar ekonomi pulih. Karena itu mungkin baik jika pemerintah melakukan perhitungan dengan hati-hati dan membuat keputusannya berdasarkan kondisi ekonomi (data dependence) apakah exit dari ekspansi fiskal itu terlalu cepat atau tidak.
Alternatif lain adalah memperbaiki kualitas alokasi belanja sehingga untuk setiap rupiah yang dibelanjakan itu produktif dan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Stimulus fiskal yang diberikan juga perlu dievaluasi lagi. Misalnya, sampai sejauh mana efektivitas insentif pajak dalam situasi seperti ini, apakah banyak dimanfaatkan?
Apabila tidak efektif, apakah tidak sebaiknya digunakan untuk perluasan perlindungan sosial atau peningkatan penjaminan kredit atau subsidi bunga untuk membantu UMKM. Jika melihat data penyerapan anggaran, program bansos, khususnya BLT, dengan segala kelemahannya, tampaknya masih merupakan program yang paling efektif. Yang harus dilakukan adalah perbaikan data penerima dan mengatasi tumpang tindihnya skema bantuan agar ia optimal.
Ekonomi tak akan pulih secara otomatis, kecuali jika pemerintah masuk untuk mendorong permintaan. Dan ini memiliki implikasi meningkatnya defisit anggaran. Saya sangat memahami risiko defisit anggaran yang besar. Namun, tema dari kebijakan fiskal di seluruh dunia saat ini adalah whatever it takes.
Pemerintah harus mengambil semua langkah untuk keselamatan masyarakat dan memulihkan ekonomi. Dan jangan dilupakan bahwa ekonomi tak akan pulih 100 persen sebelum vaksin ditemukan. Karena itu, walau disiplin fiskal amat penting, mungkin ia bisa menunggu sampai krisis mereda.
Apabila pemulihan ekonomi berjalan lambat, rasio utang terhadap PDB tak akan menurun. Sebaliknya jika pertumbuhan ekonomi bisa dipacu, rasio utang terhadap PDB akan menurun. Exit yang terlalu cepat bisa membawa kita kepada situasi ekonomi yang lebih buruk. Kita harus cermat. Apabila tak ada gelombang kedua dari pandemi, mudah-mudahan benar, perekonomian kita akan menyentuh titik terendahnya pada triwulan II.
Persoalannya, apakah ia akan bertahan di bawah, seperti huruf L? Atau lama di bawah, seperti huruf U yang panjang? Kita ingin pemulihan cepat terjadi, seperti huruf V. Saya teringat sopir ojol yang menyerahkan bungkusan makanan kepada saya. Ia tentu tak bicara soal itu, tetapi saya kira ia punya harapan. Dan itu harapan kita juga. (hjtp)
Sumber: https://kompas.id/baca/opini/2020/07/08/jalan-panjang-pemulihan-ekonomi/