Ari Kuncoro: Arah APBN 2021
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – Selasa (18/8/2020), Profesor Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia, merilis tulisannya yang dimuat Harian Kompas, rubrik Analisis Ekonomi, berjudul “Arah APBN 2021”. Berikut tulisannya.
“Arah APBN 2021”
Pidato Presiden RI pengantar Nota Keuangan 2021 mencerminkan kondisi yang dialami Indonesia pada saat pandemi Covid-19, yaitu sisi permintaan dan penawaran dalam perekonomian yang tidak tersambung atau decoupling. Pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi 5,32 persen pada triwulan II-2020 lebih dalam dari yang diduga, tetapi sudah diantisipasi pelaku pasar. Hal ini terlihat dari Indeks Harga Saham Gabungan dan nilai tukar rupiah yang tetap bergerak dalam fluktuasi yang wajar.
Interaksi daya beli masyarakat dan sisi produksi nasional yang terhambat tecermin dari struktur kontraksi produk domestik bruto (PDB), baik dari sisi sektoral maupun pengeluaran. Sektor transportasi dan pergudangan merupakan penyumbang terbesar kontraksi dengan pertumbuhan tahunan negatif 30,84 persen, disusul sektor akomodasi dan makan-minum yang minus 22,02 persen. Beruntung keadaan tidak semakin parah karena beberapa sektor lain masih menghasilkan pertumbuhan yang positif, seperti pertanian (2,19 persen), jasa pendidikan (1,21 persen), real estat (2,3 persen), jasa kesehatan (3,71 persen), dan pengadaan air (4,56 persen).
Pertumbuhan tertinggi dicatat sektor informasi dan komunikasi dengan 10,88 persen yang mencerminkan usaha-usaha untuk menyambung agregat permintaan dan penawaran mulai dilakukan dengan cara alternatif menggunakan teknologi informasi. Meskipun demikian, disadari bahwa cara ini tetap tidak cukup mengakomodasi seluruh transaksi di perekonomian.
Dari sisi pengeluaran, sumber utama pertumbuhan negatif adalah konsumsi masyarakat. Dengan porsi sekitar 59 persen dari PDB, maka pertumbuhan tahunan minus 5,51 persen dampaknya akan terlihat langsung pada pertumbuhan PDB. Komponen konsumsi masyarakat yang pertumbuhannya paling parah mencerminkan ekonomi tinggal di rumah, yaitu pertumbuhan minus 16,53 persen untuk pengeluaran untuk akomodasi dan makan-minum. Beruntung masih ada kompensasi positif dari belanja perumahan dan perlengkapan rumah tangga serta kesehatan dan pendidikan, masing-masing 2,36 persen dan 2,02 persen. Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi tumbuh negatif 8,61 persen. Setelah krisis 1998, PMTB selalu tumbuh mengikuti permintaan konsumsi.
Konsumsi pemerintah yang semula diharapkan dapat memberikan kompensasi ternyata tumbuh negatif 8,61 persen. Hal ini terjadi karena kelambatan realisasi pengeluaran anggaran pemerintah. Sampai dengan Mei, realisasi anggaran kementerian dan lembaga 10,41 persen. Penyebabnya, birokrasi penyusunan anggaran yang perlu penyesuaian dari asumsi situasi normal ke penanganan pandemi. Dalam pidato pengantar Nota Keuangan 2021, pemerintah bertekad menggenjot pengeluaran triwulan III dan IV.
Mitigasi ketidakpastian
Pemerintah sebagai pengintegrasi sistem mencoba membalikkan situasi. Kenaikan pagu indikatif belanja APBN pada beberapa kementerian dan lembaga menunjukkan pemerintah berusaha menyambung kembali sisi penawaran atau kapasitas produksi perekonomian dengan sisi permintaan masyarakat sekaligus menyuntikkan daya beli baru ke dalam arus melingkar pendapatan nasional.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memperoleh alokasi Rp 149,8 triliun. Kementerian PUPR akan mencoba meningkatkan mobilitas masyarakat dengan memperbaiki prasarana infrastruktur untuk interaksi fisik serta meningkatkan ketahanan pangan melalui perbaikan dan pembangunan irigasi. Sebagai komplemen, Kementerian Perhubungan memperoleh Rp45,7 triliun untuk memperkuat mobilitas orang dan logistik.
Alokasi untuk Kementerian Sosial Rp 92,8 triliun. Namun, ada kompensasi berupa bantuan sosial produktif untuk rumah tangga usaha kecil dan mikro sebesar Rp 2,4 juta per unit usaha untuk mempertahankan rantai pasokan di sektor usaha kecil menengah (UKM). Sementara untuk pekerja/karyawan di sektor formal akan menerima pembayaran transfer Rp 600.000 per bulan untuk jangka waktu tertentu.
Rentang yang cukup lebar antara batas bawah (4,5 persen) dan batas atas (5,5 persen) proyeksi pertumbuhan ekonomi 2021 menunjukkan tingkat ketidakpastian yang tinggi. Rentang ini sangat tergantung dari daya ungkit pengeluaran pemerintah. Pemerintah dapat menggelontorkan uang, tetapi seberapa besar dampaknya terhadap perekonomian sangat tergantung dari besaran marginal propensity to consume (MPC) masyarakat. Jika pendapatan dari bansos pemerintah hanya ditabung, sementara kelas menengah menyimpan uang di atas kebutuhan normal untuk berjaga-jaga, maka MPC akan semakin kecil. Berarti besaran daya ungkit pengeluaran pemerintah, termasuk investasi pemerintah dan investasi swasta, juga akan semakin kecil dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Berlawanan dengan peribahasa hemat pangkal kaya, dalam situasi sekarang ini terlalu hemat adalah pangkal resesi. Kekhawatiran yang terlalu berlebihan terhadap pandemi akan memperkecil daya ungkit pengeluaran pemerintah sehingga bansos dapat saja menjadi mubazir tidak berputar dalam perekonomian. Penurunan tingkat kekhawatiran merupakan proses spiral (self perpetuating) yang sangat tergantung pada kepatuhan masyarakat menjalankan perilaku sehat dan bersih, menjaga jarak, menghindari kerumunan, memakai masker, dan sering mencuci tangan. Semakin tinggi kepatuhan dan semakin rendah penambahan kasus positif baru, maka masyarakat semakin percaya diri untuk beraktivitas. Fakta menunjukkan, vaksinasi massal pencegahan Covid-19 masih jauh di depan. Dengan demikian, langkah yang dapat dilakukan sementara adalah mendisiplinkan diri untuk berperilaku sehat dan bersih.
Pemerintah juga mengalokasikan anggaran Rp 14,4 triliun untuk menggeliatkan pariwisata guna mempercepat pemulihan ekonomi. Dengan cara itu, pemerintah ingin menggerakkan arus daya beli, terutama dari kelas menengah yang selama ini terkunci di kota-kota, melalui peningkatan mobilitas dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Ada satu ilustrasi praktik bisnis di Amerika Serikat. Kota Hamptons, Long Island, di Negara Bagian New York, yang mempunyai hotel dengan paket wisata yang sesuai keinginan dengan protokol kesehatan untuk pribadi, keluarga inti, atau keluarga besar yang ingin mencari suasana baru. Orang tua dapat terus bekerja sehingga singkatan bekerja dari rumah (work from home/WFH) berubah menjadi working from hotel, sementara anak-anak mereka berkegiatan SFH (schooling from hotel). Paket ini dapat ditawarkan untuk kategori lain tidak terbatas pada akomodasi kelas premium. Kreativitas inilah yang diperlukan untuk menyeimbangkan antara protokol kesehatan dan memulihkan perekonomian. (hjtp)
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 18 Agustus 2020. Rubrik Analisis Ekonomi. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.