Dua Dosen FEB UI: Covid-19, Biaya Mahal Hilangnya Dokter

0

Dua Dosen FEB UI: Covid-19, Biaya Mahal Hilangnya Dokter

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – (26/8/2020) Dua dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dari Departemen Manajemen, Sri Rahayu Hijrah Hati, Ph.D., dan Departemen Ilmu Ekonomi, Ibrahim Rohman, Ph.D., merilis tulisannya yang dimuat Kontan.co.id, pada Rabu (26/8/2020). Berikut artikelnya.

“Covid-19: Biaya Mahal Hilangnya Dokter”

Tidak dapat dipungkiri bahwa penangan atas pandemi virus korona Covid-19 di negara berkembang seperti Indonesia memiliki tantangan tersendiri. Dua aspek yang menjadi pertimbangan utama penerapan lock down atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai upaya untuk menahan persebaran virus, umumnya berkaitan dengan pilihan dan tarik menarik antara besarnya dampak ekonomi dan kesehatan.

Di satu sisi pembukaan aktifitas ekonomi merupakan kunci utama untuk menyelamatkan kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang bergantung kepada pendapatan dan upah harian. Di sisi lain, pembukaan aktifitas ekonomi umumnya berasosiasi dengan penyebaran pandemi menjadi lebih sporadis yang juga akhirnya turut memakan korban para dokter dan tenaga perawat yang berjuang di garda terdepan.

Berdasarkan laporan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), per 16 Agustus 2020, ada 78 dokter yang meninggal dunia akibat Covid-19. Yang cukup memprihatinkan, tingkat kematian dokter di Indonesia adalah sekitar 2.4% atau 6 kali lipat dibandingkan dengan tingkat kematian dokter di Amerika Serikat, yang merupakan negara dengan peringkat pertama jumlah kasus Covid-19 di dunia.

Berita meninggalnya dokter karena virus Covid-19 terdengar biasa saja bagi kita, karena media nyaris memberitakan kasus ini setiap hari. Namun ketika jumlah kematian dokter ini telah melewati angka 70, terdapat beberapa fakta yang seharusnya menjadikan wake-up call bahwa kita kehilangan sumber daya yang sangat penting bagi bangsa Indonesia.

Membutuhkan waktu yang panjang bagi seorang mahasiswa fakultas kedokteran untuk bisa memperoleh izin praktik menjadi seorang dokter umum apalagi dokter spesialis. Mereka harus menghabiskan waktu 3,5 tahun- 4 tahun untuk menyandang gelar sarjana kedokteran.

Selanjutnya, sarjana kedokteran harus menghabiskan waktu dua tahun untuk menjalani program profesi dokter atau biasa di sebut koas. Selain itu, mereka pun harus menjalani program magang selama kurang lebih satu tahun untuk memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.

Untuk menjadi seorang dokter spesialis, mereka harus menghabiskan waktu lebih lama lagi selama satu tahun dalam pendidikan spesialis. Oleh karena itu, secara keseluruhan seorang mahasiswa harus menghabiskan waktu 12 tahun untuk menjadi dokter spesialis dengan asumsi mahasiswa tersebut terus menerus melanjutkan pendidikan tanpa terputus.

Dari sisi biaya, kuliah fakultas kedokteran terbilang mahal. Di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta, perkiraan biaya masuk adalah sekitar Rp 35 juta di samping biaya SPP sebesar Rp 10 juta – Rp 75 juta per semester.

Untuk pendidikan spesialis, biaya masuk bisa berkisar antara Rp 8,5 juta – Rp 25 juta di luar biaya SPP yang berkisar mulai dari Rp 18,5 hingga Rp 76 juta tergantung pada program dokter spesialis yang diambil oleh mahasiswa.

Di salah satu universitas swasta di Jakarta, biayanya bisa lebih mahal lagi: seseorang harus menyediakan setidaknya Rp. 300 juta pada semester pertama, Rp 250 juta untuk semester kedua, dan selebihnya biaya SPP selama sisa waktu pendidikan.

Secara keseluruhan, dengan perhitungan kasar mahasiswa harus mengeluarkan biaya sekitar Rp266 juta hingga Rp1,4 miliar untuk menjadi dokter spesialis di perguruan tinggi negeri dan biaya sekitar Rp 1,1 miliar-Rp 2,2 miliar di perguruan tinggi swasta. Saat ini pendidikan spesialis hanya bisa diambil di fakultas kedokteran universitas negeri.

Minim tenaga medis

Kekurangan tenaga medis. Fakta bahwa kita memiliki rasio kematian dokter salah satu tertinggi di dunia juga merupakan suatu kontradiksi mengingat Indonesia memiliki rasio dokter terhadap populasi cukup rendah di ASEAN. Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2019, Indonesia hanya memiliki 4 dokter per 10.000 penduduk, lebih rendah dari Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura yang masing-masing memiliki sejumlah 6, 8, 15 dan 23 dokter per 10.000 penduduk. Bahkan dibandingkan dengan anggota ASEAN yang lebih muda, rasio jumlah dokter di Indonesia hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja (2), setara dengan Laos (4) tapi masih di bawah Vietnam (6).

Selain itu, ada kecenderungan pembangunan sektor kesehatan yang sedikit tertinggal dibandingkan dengan pembangunan bidang ekonomi. Meskipun Indonesia telah naik status sebagai negara berpenghasilan menengah ke atas per 1 Juli 2010, namun rasio jumlah dokter per populasi di Indonesia ternyata masih lebih rendah dari rata-rata rasio di negara berpenghasilan menengah ke bawah yang mencapai 6 per 10.000.

Dari sisi demografi, rata-rata calon mahasiswa yang bersekolah di fakultas kedokteran adalah crme de la crme di antara teman sebaya. Separuh dari 20 program sarjana dengan nilai ujian tertinggi di bidang sains dan teknologi adalah fakultas kedokteran berdasarkan nilai ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri.

Sekadar gambaran betapa tingginya syarat masuk kuliah di fakultas kedokteran, jika seseorang memperoleh nilai skor SNMPTN sebesar 724, maka dia akan memiliki skor paling tinggi di sejumlah 496 program sarjana S1 di Indonesia. Namun nilai ini tidak cukup untuk menempatkan mereka di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia berdasarkan ambang batas minimal hasil ujian 2019.

Dengan demikian bisa dijelaskan bahwa secara kasar bahwa kehilangan sejumlah 78 dokter sebanding dengan hilangnya 936 tahun waktu produktif belajar dan sekitar Rp 21 miliar hingga Rp 110 miliar (jika mengasumsikan biaya kuliah di universitas negeri) hingga Rp 90 miliar – Rp 179 miliar (jika biaya kuliah di universitas swasta) investasi pendidikan. Tentu saja, bagi keluarga yang ditinggalkan, nyawa yang hilang tersebut tidak akan tergantikan dengan harta apapun.

Dengan begitu masifnya berita tentang Covid-19, orang mungkin beranggapan bahwa problem kesehatan kita hanya berkaitan dengan pandemi ini. Padahal masih ada waktu sangat panjang ke depan di mana hilangnya tenaga dokter akan berpengaruh pada keberlangsungan jasa kesehatan. Jangan dilupakan bahwa selain dokter, Indonesia juga memiliki jumlah rasio perawat yang rendah di ASEAN (2,4), dibandingkan Thailand (3) dan Malaysia (3,5).

Tingginya rasio kematian di kalangan tenaga medis juga berhubungan dengan kelangkaan alat pelindung diri (APD) terutama pada saat-saat awal pandemi. Andaikan saat itu, pemerintah membeli semua APD produksi dalam negeri dan digunakan untuk semua staf medis ketimbang ekspor, barangkali kematian dokter dan tenaga kesehatan bisa ditekan.

Masyarakat juga harus aktif mencegah penyebarluasan virus Covid-19 dengan patuh protokol kesehatan guna mencegah hilangnya tenaga medis yang lebih banyak. (hjtp)

 

Sumber: https://analisis.kontan.co.id/news/covid-19-biaya-mahal-hilangnya-dokter