Edy Priyono: Sinyal Pemulihan Ekonomi
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – (28/8/2020) Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dan Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden, Dr. Ir. Edy Priyono, M.E., merilis tulisannya yang dimuat Harian Kompas, rubrik Opini, halaman 6, yang berjudul “Sinyal Pemulihan Ekonomi”, Jumat (28/8/2020). Berikut artikelnya.
“Sinyal Pemulihan Ekonomi”
Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2020 adalah minus 5,32 persen (year on year/yoy). Angka ini tentu lebih buruk dibandingkan triwulan sebelumnya yang masih positif 2,97 persen, dan lebih buruk daripada prediksi banyak pihak.
Meski bukan kabar baik, ini sesungguhnya bukan merupakan kejutan. Berbagai pihak (pemerintah, pengamat, lembaga internasional) sudah memperkirakan triwulan II kondisi terberat bagi perekonomian.
Pemerintah sendiri juga bukannya tak mengantisipasi kondisi ini. Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) telah disiapkan sejak awal Mei melalui Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2020 dan melibatkan anggaran sekitar Rp 695 triliun. Untuk bidang ekonomi, esensi program PEN adalah melakukan dorongan di sisi permintaan dan di sisi penawaran (produksi) sebagai satu kesatuan.
Di sisi permintaan, daya beli masyarakat didorong melalui berbagai program perlindungan sosial, baik berupa bantuan sosial maupun berbagai keringanan seperti diskon pembayaran listrik. Di sisi penawaran pemerintah memberikan berbagai insentif bagi UMKM maupun korporasi agar dunia usaha kembali bergerak melalui bantuan permodalan, penempatan dana pemerintah (untuk mendorong kredit), subsidi bunga, keringanan pajak, penjaminan kredit dan sebagainya.
Sinyal pemulihan
Pertumbuhan di triwulan II yang sangat buruk bukan berarti tak ada harapan bagi perekonomian untuk bangkit. Berbagai indikasi ke arah pemulihan ekonomi bahkan sudah mulai terlihat sejak Juni 2020.
Meskipun masih dalam area pesimistis (kurang dari 100), Indeks Keyakinan Konsumen telah mengalami perbaikan. IKK pada Mei adalah 77,8. Angka ini naik menjadi 83,8 pada Juni dan naik lagi menjadi 86,2 pada bulan berikutnya. Hal itu menunjukkan konsumen mulai bersikap lebih positif.
Purchasing Managers Index (PMI) juga mengalami kenaikan, yaitu dari 28,62 pada Mei menjadi 39,07 pada Juni, serta kembali naik pada Juli menjadi 46,9. Meskipun nilainya masih kurang dari 50 (menunjukkan adanya kontraksi), tetapi kenaikan ini indikasi menuju pemulihan permintaan terhadap produk-produk manufaktur.
Indikasi membaiknya permintaan juga dapat dilihat dari penjualan sepeda motor yang sering dianggap sebagai salah satu indikator konsumsi kelas menengah. Pada Mei penjualan sepeda motor mencapai titik terendah, hanya 3.551 unit, tapi kemudian naik secara signifikan menjadi 12.623 pada Juni. Meski masih jauh di bawah angka penjualan sebelum pandemi Covid-19, gambaran tersebut menumbuhkan optimisme.
Secara keseluruhan, penjualan ritel mengalami perbaikan. Indeks penjualan ritel pada Juni 2020 adalah minus 14,41 persen (year on year). Artinya, dibandingkan dengan kondisi pada bulan yang sama tahun 2019, penjualan ritel mengalami penurunan (kontraksi) sekitar 14 persen. Angka kontraksi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kontraksi yang terjadi pada bulan Mei 2020 yaitu sebesar 20,61 persen.
Neraca perdagangan Indonesia juga terus membaik. Ekspor non migas pada Juni 2020 mencapai 11,45 miliar dollar AS, lebih tinggi dibandingkan angka bulan Juni 2019 (11,05 miliar dollar AS). Impor (yang didominasi bahan baku dan bahan penolong untuk kebutuhan industri dalam negeri) pada Juni 2020 memang masih jauh lebih rendah dibandingkan kondisi sebelum Covid-19, tetapi telah membaik dibandingkan bulan sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa industri dalam negeri mulai menggeliat untuk kembali bangkit.
Selain itu, sektor keuangan juga secara umum menunjukkan adanya perbaikan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus membaik ke angka 5.150 pada awal Agustus, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) menurun menjadi 6,83 persen pada waktu yang sama, sedangkan nilai tukar rupiah cenderung stabil.
Berbagai indikator di atas merupakan sinyal bagi pemulihan kegiatan ekonomi, dengan beberapa catatan. Catatan yang dimaksud antara lain: masih lemahnya daya beli masyarakat (khususnya masyarakat menengah ke bawah), serta konsumsi semen yang belum mengalami perbaikan (menunjukkan bahwa kegiatan konstruksi belum berjalan dengan baik).
Integrasi
Terlepas dari sinyal menuju pemulihan ekonomi yang terdeteksi, setidaknya ada dua hal yang penting untuk dijadikan perhatian semua pihak. Pertama, terminologi “pemulihan ekonomi” perlu diletakkan dalam konteks kenormalan baru (new normal). Pandemi Covid-19 telah memicu percepatan perubahan di berbagai aspek.
Beberapa di antaranya bahkan bersifat struktural dalam arti sulit atau bahkan tidak bisa kembali ke kondisi sebelum Covid-19. Oleh karena itu, harapan tentang pemulihan ekonomi juga mesti disematkan secara proporsional. Secara realistis Menko Perekonomian pernah menyampaikan bahwa perekonomian Indonesia mungkin baru akan benar-benar pulih pada tahun 2022.
Kedua, proses pemulihan ekonomi sangat tergantung pada pengendalian penyebaran Covid-19. Jika pengendalian Covid-19 dilakukan dapat secara efektif, maka pemulihan ekonomi akan berjalan lebih cepat. Sebaliknya, jika Covid-19 tak kunjung dapat dikendalikan penyebarannya, apalagi kalau sampai memburuk, maka pemulihan ekonomi akan semakin lambat dan lama.
Itulah yang melatarbelakangi keputusan pemerintah membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi yang pada intinya merupakan pengintegrasian antara pengendalian penyebaran Covid-19 dengan upaya pemulihan ekonomi nasional. Analogi untuk langkah tersebut adalah meletakkan rem dan gas di dalam satu kendaraan. Dengan demikian “kendaraan” pemulihan ekonomi diharapkan berjalan dengan kecepatan tepat.
Hal lain yang tak boleh dilupakan adalah tuntutan perubahan yang harus dipenuhi oleh pemerintah, masyarakat dan dunia usaha jika ingin perekonomian lekas bangkit. Pemerintah perlu meningkatkan efektivitas program dan anggarannya. Program pengendalian korona harus benar-benar efektif dan didukung pertimbangan saintifik (teknokratis).
Dari sisi belanja, anggaran pemerintah harus benar-benar mampu memerankan peran “kontra-siklikal”: mendorong pertumbuhan di saat sektor swasta dan rumah tangga mengalami kelesuan. Koordinasi antar kementerian/lembaga, antara pusat-daerah dan antara pemerintah dengan lembaga non pemerintah perlu terus ditingkatkan.
Sementara, masyarakat diharapkan benar-benar paham dan menjalani adaptasi kebiasaan baru di era new normal. Ketaatan pada protokol kesehatan akan sangat memengaruhi keberhasilan upaya pengendalian Covid-19 dan pada gilirannya sangat menentukan kecepatan pemulihan ekonomi.
Dunia usaha juga perlu menyesuaikan diri. Menjalankan usaha di era new normal jelas berbeda dengan di masa normal (sebelum Covid-19). Sekadar contoh, terbatasnya mobilitas masyarakat menyebabkan penjual harus lebih mendekatkan diri pada pelanggan ketimbang menunggu mereka datang ke lokasi penjualan. Tuntutan protokol kesehatan di lokasi usaha juga menjadi tantangan tersendiri, karena berimplikasi pada perubahan sistem kerja dan juga biaya operasional.
Dengan kata lain, integrasi dan sinergi tak hanya perlu dilakukan secara internal di dalam pemerintahan, tetapi juga dalam kaitannya dengan institusi lain di luar pemerintah. Semua pihak harus memiliki “rasa” yang sama dan dalam satu kesatuan langkah menuju pengendalian Covid-19 dan pemulihan ekonomi. (hjtp)
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Jumat, 28 Agustus 2020. Rubrik Opini. Halaman 6