Kiki Verico: Merawat Transformasi Ekonomi

0

Kiki Verico: Merawat Transformasi Ekonomi

oleh: Kiki Verico, Ph.D., Tenaga Ahli Menteri Keuangan dan Dosen FEB UI

 

DEPOK – Senin (12/10/2020) Pada masa pandemi, semua negara berusaha mengatasi penyebaran virus dan menahan agar konsumsi tetap terjaga, sehingga produksi tetap berjalan. Untuk jangka menengah-panjang, kita harus menjaga optimisme, sehingga Indonesia tidak hanya mampu bertahan, tapi juga bertransformasi menuju negara maju.

Sejak 2019, ekonomi Indonesia masuk kategori negara berpendapatan menengah-atas dengan pendapatan per kapita per tahun sebesar US$ 4.136. Bank Dunia menetapkan skala antara US$ 4.046 dan US$ 12.535 untuk kategori ini.

Bila menggunakan tahapan Rostow (1959), Indonesia sudah masuk periode take off to maturity. Data menunjukkan banyak negara sulit keluar dari tahap ini karena, selain memiliki rentang pendapatan terpanjang, tidak mungkin terjadi tanpa terobosan yang berarti. Jebakan rentang ini dikenal dengan nama “perangkap pendapatan menengah” (middle income trap). Sebelum masa pandemi, untuk keluar dari kategori ini dan masuk ke klasifikasi negara berpendapatan tinggi pada 2030-an, dibutuhkan rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan 6,5 – 7 persen.

Pengalaman adalah guru terbaik. Untuk melewati jebakan ini, kita perlu belajar dari pengalaman negara lain yang berhasil lolos. Tidak perlu jauh-jauh, kita bisa melihat pengalaman negara-negara anggota ASEAN Plus SIX. Jepang dan Korea Selatan berhasil menjadi negara berpendapatan tinggi dengan mengandalkan sektor manufaktur, sementara Australia dan Selandia Baru mengandalkan sektor primer dan jasa. Kendati berbeda sektor andalan, keempat negara ini memiliki kesamaan, yaitu unggul dalam kualitas kebijakan (ease of doing business) dan sumber daya manusia (SDM) (human development index). Indonesia membutuhkan terobosan pada keduanya.

Mengingat banyaknya jumlah angkatan kerja, sektor ekonomi yang tepat sebagai game changer adalah manufaktur karena dapat berfungsi sebagai padat karya. Manufaktur juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 10 persen, seperti terlihat pada pengalaman Jepang pada 1960-an, Korea Selatan pada 1970-1980-an, dan China pada 2000-an.

Saat ini manufaktur Indonesia baru menyerap 14 persen angkatan kerja, sehingga belum menjadi sektor paling dominan dibandingkan dengan pertanian dan perdagangan, yang masing-masing menyerap 29 persen dan 19 persen. Data lain menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka terbesar kita adalah lulusan SMA/SMK (45 persen) dan jumlah pekerja terbesar adalah lulusan SMP ke bawah (59 persen). Indonesia membutuhkan transformasi ekonomi di sektor manufaktur formal, sehingga lulusan SMA/SMK dapat bekerja dan kebutuhan pendidikan minimal naik, dari SMP ke setidaknya SMA/SMK. Saat ini rata-rata lama sekolah di Indonesia masih 8 tahun atau SMP ke bawah.

Transformasi ekonomi akan mendorong kenaikan proporsi manufaktur dalam produk domestik bruto (PDB) yang sejak 2002 turun, dari 32 persen menjadi 20 persen saat ini. Peningkatan proporsi manufaktur juga akan meningkatkan status pekerja formal karena selama ini pekerja Indonesia didominasi oleh pekerja nonformal (57 persen). Peningkatan manufaktur akan mendorong kenaikan permintaan atas input produksi dan penjualan, sehingga sektor primer dan jasa bisa tumbuh bersama-sama. Saya menemukan pola hubungan positif antara tingkat keterbukaan sebagai proksi reformasi kebijakan dan daya saing ekonomi Indonesia pada periode 1987-1992 dan 1998-2006.

Penggabungan model ekonomi Solow, Harrod-Domar, dan Cobb-Douglas menunjukkan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi adalah investasi, ekspor impor, produktivitas SDM, infrastruktur, tingkat penguasaan teknologi, dan kualitas kebijakan. Dari pola hubungan dan model ekonomi terlihat bahwa faktor kunci transformasi ekonomi dan cara keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah adalah reformasi kebijakan dan SDM bermutu.

Dari sisi kebijakan, kita menghadapi persoalan prosedur perizinan yang panjang dan berbelit serta peraturan yang tumpeng-tindih dan kadang bertabrakan. Terobosan harmonisasi kebijakan perlu dilakukan. Dari sisi kualitas SDM, di tengah pandemi, kegiatan pendidikan dan pelatihan tetap bisa berjalan karena bisa dilakukan dengan bantuan teknologi. (hjtp)

 

Sumber: https://koran.tempo.co/read/opini/458725/merawat-transformasi-ekonomi?read=true