Bambang Brodjonegoro: Kejar Kemandirian Dalam Negeri

0

Bambang Brodjonegoro: Kejar Kemandirian Dalam Negeri

 

DEPOK (21/10/2020) Bukti-bukti terbaru menunjukkan, kekebalan terhadap infeksi Covid-19 bersifat sementara sehingga pemberian vaksin kemungkinan harus diulang. Hal ini berdampak pada besarnya kebutuhan vaksin sehingga penting bagi Indonesia untuk membuat sendiri dan tidak bergantung pada impor.

“Vaksin dari mana pun tak bisa menjaga imun seumur hidup. Kita tetap harus mempunyai kemampuan untuk menghadirkan atau menyediakan vaksin yang dibuat di dalam negeri,” kata Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro, Selasa (20/10/2020).

Menurut Bambang, upaya untuk membeli vaksin dari luar negeri menjadi opsi jangka pendek. “Kita memang beli (vaksin) langsung, tetapi diutamakan yang ada alih teknologi. Bukan hanya dengan China, melainkan dengan Korea Selatan dan Turki,” ujarnya.

Untuk menjawab kebutuhan jangka menengah dan panjang, menurut Bambang, tengah disiapkan calon vaksin Merah Putih oleh enam lembaga, yaitu Lembaga Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, dan Universitas Gadjah Mada.

“Semoga keenamnya berhak membuat vaksin dengan memenuhi kriteria keamanan dan efikasi,” ujarnya.

Di antara enam lembaga ini, menurut Bambang, calon vaksin dari Eijkman dan Universitas Indonesia akan segera diujikan pada hewan. “Dua vaksin ini nantinya akan diserahkan ke Bio Farma. Kalau semua lancar, Januari 2021 atau paling lambat Februari 2021, bibit vaksin akan diserahkan,” katanya.

Untuk mendukung pembuatan vaksin ini, Indonesia telah mengirim 114 whole genome sequencing (WGS) atau total genom dari virus SARS-CoV-2 yang dianalisis dari spesimen pasien positif Covid-19 di Indonesia ke GISAID atau bank data virus dunia.

540 juta dosis

Bambang mengatakan, untuk mencapai kekebalan komunitas, vaksin minimal harus diberikan kepada 75 persen populasi atau 180 juta penduduk. Jika pemberiannya diulang dua kali, minimal dibutuhkan 360 juta dosis. Jika harus diberikan ke seluruh penduduk, kebutuhan vaksin untuk dua kali pemberian mencapai 540 juta dosis.

Karena kebutuhan vaksin sangat besar, menurut Bambang, Bio Farma kemungkinan tidak bisa memenuhinya sendiri. Karena itu, akan diupayakan kerja sama dengan perusahaan lain, seperti Kalbe Farma, PT Sanbe Farma, PT Daewoong Pharmaceutical Company Indonesia, PT Biotis, dan Tempo Scan.

“Beberapa dari mereka sudah berinvestasi dan mengurus izin ke BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Sebagian lagi sedang mempersiapkan rencana investasi dan izin tersebut,” tutur Bambang.

Berdasarkan data di www.covid-19vaccinetracker.org, saat ini terdapat 213 vaksin yang tengah dikembangkan dan 36 di antaranya sedang menjalani uji klinis. Sebelas vaksin menjalani uji klinis fase ketiga dan belum satu pun yang selesai. Namun, enam di antaranya telah mendapatkan persetujuan untuk digunakan dalam kondisi darurat (emergency use authorization/EUA) di Rusia dan China.

Sejauh ini, vaksin dari Indonesia belum terdaftar. Kepala lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, pihaknya akan mendaftarkan vaksin yang dibuat setelah dilakukan uji pada hewan, yang diperkirakan akan dilakukan akhir bulan ini.

Sesuai ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), EUA bisa digunakan untuk produk medis guna mendiagnosis, mengobati, atau mencegah penyakit atau kondisi mengancam jiwa yang disebabkan oleh wabah, seperti Covid-19, ketika tak ada alternatif yang memadai, disetujui, dan tersedia.

Namun, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat menyatakan, untuk menjalankan EUA, harus dipastikan manfaat yang diketahui dan potensial dari suatu produk lebih besar daripada risiko. Penentuan manfaat dan risiko tak dapat diterapkan untuk vaksin yang hanya memiliki manfaat kecil atau yang tidak memiliki cukup data untuk dianalisis profil keamanannya.

Infeksi ulang

Studi yang diterbitkan di jurnal The Lancet Infectious Diseases, secara daring pada 12 Oktober 2020, menyebutkan, kasus infeksi ulang Covid-19 pertama yang dikonfirmasi terjadi di AS. Temuan ini menunjukkan paparan virus mungkin tak menjamin kekebalan pada masa depan.

Pasien yang mengalami infeksi ulang ini adalah pria Nevada berusia 25 tahun. Ia dipastikan terinfeksi dengan dua varian SARS-Cov-2 berbeda dalam jangka waktu 48 hari. Infeksi kedua lebih parah daripada yang pertama, mengakibatkan pasien dirawat di rumah sakit dengan bantuan oksigen.

Kajian yang ditulis Richard L Tillert dari Nevada Institute of Personalized Medicine, University of Nevada, dan tim ini menyebutkan empat kasus infeksi ulang lainnya yang dikonfirmasi secara global. (hjtp)

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Rabu, 21 Oktober 2020. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.