HR Excellence Webinar Series: “Embracing Self- Disruptive Leadership: A Strategy to Foster Organizational Agility.”
Rifdah Khalisha – Humas FEB UI
DEPOK-(15/01/2021) Lembaga Manajemen (LM) FEB UI bersama SWA menggelar HR Excellence Webinar Series, Presenting Best and Future Practices, Seri-8 dengan topik “Embracing Self- Disruptive Leadership: A Strategy to Foster Organizational Agility” pada Jumat (15/01/2021).
Webinar menyajikan materi dari pemimpin dan pakar Human Resource (HR), terutama dari kalangan perusahaan pemenang ajang HR Excellence Award. Pemateri yang tampil, Ihsanuddin Usman, Direktur Human Capital PT Pelabuhan Indonesia II, dan pembahas Riani Rachmawati, Ph.D., staff pengajar FEB UI dan Senior Consultant LM FEB UI. Acara dipandu oleh Kusnan M. Djawahir, Pemimpin Redaksi Online swa.co.id.
Dalam pemaparannya, Ihsanuddin membahas tentang, Embracing Self-disruptive Leadership and Fostering Organizational Agility. Ia mengutip kalimat dari Pearl Zhu, “Melakukan agile (“Doing agile”) adalah sekumpulan aktivitas, tetapi menjadi agile (“Being agile’)adalah kondisi pikiran, kemampuan berkelanjutan, dan kemampuan beradaptasi pada situasi tertentu.”
Ada perbedaan jelas antara disruptive dan disturbed. Dalam hidup, bisa saja mendapat disturbance atau menjadi disturbed, tetapi setelahnya, hidup akan terus berlanjut sebagaimana mestinya dan dengan pola yang sama. Berbeda dengan disruptive atau disruption, saat hal itu terjadi dalam hidup, meski sudah terlewati, akan sulit berjalan kembali seperti semula sebelum terjadi disruption.
Contoh yang mewakili kondisi itu dapat dilihat seperti saat ini. Dahulu, situasi berjalan normal, lalu hadir pandemi dan banyak perubahan terjadi. Kelak, saat memasuki fase new normal atau pasca pandemi, akan sulit dan butuh waktu untuk kembali ke situasi normal sebelum hadirnya pandemi.
Tanpa disadari, ada banyak pembelajaran saat pandemi yang dapat diterapkan meskipun masanya telah usai. Misalnya saja, banyak masyarakat yang sudah mulai terbiasa dan akrab dengan acara atau pertemuan virtual. Ternyata, acara virtual mampu memudahkan serta menjadi solusi dari keterbatasan waktu, jarak, dan ruang.
“Hadirnya disruption memang tidak pernah terduga dan bisa memberhentikan sesuatu, tetapi kita tidak boleh sekadar menjadi korban dari disruption tersebut. Melainkan, harus membangun perubahan dalam diri dan lebih cerdas memanfaatkannya,” tutur Ihsanuddin.
Seseorang dapat melakukan beberapa hal untuk mendapat keuntungan dari disruption. Pertama, harus memahami bahwa disruption adalah hal biasa (disruption is a common thing), dan harus mampu menyesuaikan pola pikir pada situasi baru. Kedua, harus mampu bersaing (competition is a must). Sejatinya, bersaing merupakan keharusan, meski masih banyak orang tidak bisa menerima persaingan karena prosesnya tidak sehat serta standarnya tidak jelas.
Ketiga, terkadang kita menang, terkadang kita belajar (sometimes we win, sometimes we learn). Kalau tidak menang, berarti belajar. Karena pada situasi seburuk apapun, kita akan tetap mendapat sesuatu. Keempat, belajar, melupakan, dan belajar kembali (learn, unlearn, and re-learn). Nyatanya, ini tak mudah, terutama saat un-learn. Akan sulit untuk melupakan sesuatu yang sudah tidak sesuai dengan konteks saat ini.
Ihsanuddin menjelaskan beberapa karakteristik dari self-disruptive leadership, “Menurut penelitian dari Korn Ferry, self-disruptive leadership adalah sekumpulan kompetensi, terbiasa mengelola sesuatu yang membingungkan, memiliki visi strategis dalam jangka panjang, mampu terlibat dan menginspirasi, serta mendorong hasil.”
Self-disruptive leader harus menanamkan sifat penuh keingintahuan, berani mengambil risiko, terbiasa dengan sesuatu yang membingungkan, serta memiliki kepercayaan yang tinggi. Faktor pendorong self-disruptive leadership adalah kebebasan, struktur, dan tantangan
Konsep self-disruptive leadership terdiri dari ADAPT, yakni anticipate (antisipasi gangguan, karena memiliki pandangan jangka panjang), drive (dorongan untuk menciptakan perubahan), accelerate (mempercepat arus informasi dan hasil bisnis), partner (butuh orang lain karena merasa tidak bisa sendirian), serta trust (memperoleh kepercayaan).
Mengembangkan self-disruptive leader bisa melalui delapan cara, di antaranya, memberi kesempatan untuk membuat pilihan dan fokus, membidik orang terbaik sesuai konteks, memikirkan atau memerhatikan orang bukan hanya proses administratif, mampu berkontribusi bukan hanya sebatas peran atau jabatan, berbicara karir bukan pengembangan, menyederhanakan masalah, serta mengembangkan struktur transformasi bukan tradisi.
Dalam pemaparannya, Riani menjelaskan, “Menurut penelitian Korn Ferry, berbicara mengenai self-disruptive leadership tidak terlepas dari beberapa karakteristik, seperti agile, digital, inklusif, penciptaan kesempatan, dan kapitalisasi pengetahuan.”
Berdasarkan Harvard Business Review (HBR) pada edisi July-Agustus 2012, Whitney Johnson menyatakan empat prinsip dari self disruption, yakni targetkan kebutuhan atau kontribusi yang dapat dipenuhi secara lebih efektif, kenali kekuatan disruptive, mundur atau menyingkir sedikit untuk tumbuh, serta dorong percepatan strategi.
Melakukan agile (do agile) adalah metodologi, sementara menjadi agile (be agile) adalah pola pikir. Agile melibatkan perubahan dalam sikap, nilai, dan kebiasaan hierarki birokrasi yang mengakar. Pendekatannya menciptakan generasi baru manajer umum yang terampil, tidak hanya lebih baik tetapi berbeda.
“Memimpin secara ambidextrous berarti merangkul ketegangan antara lama dan baru serta menumbuhkan keadaan konflik kreatif yang konstan di atas. Pada top management dapat terlihat saat memberikan otonomi sambil tetap terlibat. Pada middle management dapat terlihat saat memberikan visi sambil memastikan eksekusi. Pada line management dapat terlihat saat merangkul keberagaman sambil bertindak bersama. Terakhir, pada HR management dapat terlihat saat mempromosikan dan memungkinkan kepemimpinan ambidextrous,” tutup Riani. (hjtp)