Mengapa Harus Pulih Lebih Cepat?
Oleh: Muhamad Chatib Basri, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
KOMPAS | (10/2/2021) – ”When else fails, nasi Padang prevails”. Saya tahu, ini berlebihan. Stimulus ekonomi, mungkin mirip nasi Padang. Ia menjadi penyelamat ketika berbagai upaya kita gagal. Namun, seperti juga nasi Padang, ia bisa mengganggu kesehatan bila dikonsumsi berlebihan.
Stimulus, punya karakter yang sama, termasuk program Quantitative Easing (QE) dari bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed. Kita tahu, untuk menyelamatkan ekonomi AS, The Fed melakukan kebijakan QE. Caranya: membeli surat berharga jangka panjang dari pasar. Akibatnya: likuiditas meningkat, harga obligasi naik dan imbal hasil (yield)-nya turun.
Namun, karena permintaan masih lemah—seperti terjadi di Indonesia saat ini—orang memilih menyimpan uangnya di bank. Atau berinvestasi di pasar keuangan. Karena imbal hasil di emerging market (EM), termasuk Indonesia, lebih menarik dibandingkan dengan AS, likuiditas lalu mengalir ke EM. Itu sebabnya, pasar keuangan di Indonesia marak, dan rupiah menguat. Masalahnya: ini sementara.
Risiko krisis keuangan
Aizenman dan Ito (2020), dalam risalahnya di National Bureau of Economic Research (NBER), mengingatkan, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang agresif memang akan mendorong pertumbuhan ekonomi AS dalam jangka pendek, tetapi berisiko menimbulkan krisis keuangan ke depan. Ketika inflasi mulai naik, ekonomi AS pulih, The Fed harus keluar dari kebijakan ini.
Mantan Menkeu AS Larry Summers beberapa hari lalu memperingatkan, stimulus Presiden AS Joe Biden sebesar 1,9 triliun dollar AS akan memicu inflasi.
EM punya trauma dengan ini. Kita mengenalnya dengan istilah taper tantrum. The Fed sendiri belajar dari kesalahan ini dan berusaha untuk tak mengulanginya. Tengok pernyataan Ketua The Fed, Jerrome Powell, ”Salah satu pelajaran penting dari krisis keuangan global adalah untuk tak keluar dari stimulus terlalu cepat”.
Powell juga mengatakan bahwa The Fed harus berhati-hati dalam mengomunikasikan arah kebijakan pembelian aset, yang merupakan instrumen dari (QE). Kenneth Rogoff, Guru Besar Ekonomi dari Harvard University, dalam diskusi panel di Mandiri Investment Forum (MIF) 3 Februari 2021, juga menyampaikan bahwa ia tak melihat Taper Tantrum 2.0 akan terjadi.
Pernyataan Powell dan pandangan Rogoff melegakan kita. Setidaknya untuk sementara. Ia juga seperti menjawab kekhawatiran yang terjadi hampir delapan tahun lalu. Saya ingat, dalam pertemuan G-20 di Sydney tahun 2014, saya bersama Janet Yellen (saat itu menjabat Ketua The Fed; dan sekarang baru diangkat menjadi Menteri Keuangan AS) diminta untuk menjadi pembicara pembuka soal kondisi ekonomi makro.
Dan salah satu hal yang saya sampaikan adalah pentingnya kejelasan mengenai rencana tapering (pengakhiran pembelian aset yang dilakukan The Fed saat itu). Bila The Fed hanya fokus pada isu domestik di AS, seperti pengangguran dan inflasi, tanpa memasukkan dampak kebijakannya pada EM, pertumbuhan ekonomi global akan terganggu. Alasannya, kontribusi EM dalam pertumbuhan ekonomi global kian penting.
Kala itu, dalam waktu tujuh bulan, Indonesia dan India memang berhasil menstabilkan perekonomiannya. Kita keluar dari fragile five countries (lima negara paling rentan). Saya ingat majalah The Economist pada Februari 2014 menurunkan artikel berjudul: ”Indonesia: Fragile No More”. Namun, Brasil, Turki, dan Afrika Selatan terpukul cukup dalam. Ini menggoreskan karut di EM.
Cara komunikasi The Fed memang berubah setelah dipimpin Yellen. Saya kira Powell belajar dari sana. Itu sebabnya, ia menekankan pentingnya komunikasi dalam kebijakan pembelian aset. Rogoff, dalam acara MIF, menyampaikan bahwa The Fed memang belum akan melakukan tapering (pengurangan pembelian aset) sebelum inflasi di AS lebih dari 2 persen. Namun, jika inflasi berada di atas 2 persen, normalisasi kebijakan moneter bisa terjadi.
Respons kebijakan
Apa dampaknya buat kita, bila itu terjadi? Apa yang harus dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama, normalisasi tingkat bunga satu hari akan terjadi. Sayangnya, kita tak tahu kapan. Kita hanya bisa meraba. Dalam risalah pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC 27 Januari 2021, The Fed dengan jelas mengatakan bahwa arah perekonomian AS akan tergantung dari perkembangan situasi pandemi. Dengan kata lain, bila proses vaksinasi di AS berhasil dan pandemi bisa diatasi, inflasi mulai naik di atas 2 persen, The Fed akan melakukan normalisasi kebijakan moneternya.
Bila The Fed mulai mengurangi pembelian asetnya, imbal obligasi akan meningkat, tingkat bunga akan naik. Akibatnya, ada risiko arus modal keluar dari EM. Negara, yang pembiayaan defisit anggarannya didominasi oleh pinjaman eksternal, atau pembiayaan defisit transaksi berjalannya didominasi oleh investasi portofolio, seperti Indonesia, akan rentan. Bila terjadi kejutan di AS, investor akan keluar dari pasar obligasi dan pasar modal. Akibatnya, nilai tukar rupiah berisiko terguncang.
Untuk mengatasi ini, bank sentral biasanya melakukan kebijakan stabilisasi. Pilihannya, membiarkan rupiah mengikuti pasar (depresiasi rupiah) atau menaikkan bunga. Tentu ada kombinasi di mana tingkat bunga dinaikkan sedikit, nilai tukar melemah sedikit dan kebijakan pengaturan arus modal dilakukan secara terbatas melalui kebijakan makro prudensial.
Tahun 2013, untuk menghindarkan Indonesia dari krisis finansial akibat taper tantrum dan tekanan dalam defisit transaksi berjalan, pemerintah harus memotong subsidi BBM, dengan menaikkan harga BBM rata-rata 40 persen; Bank Indonesia (BI) menaikkan BI rate 175 basis poin (bps) dan membiarkan rupiah bergerak mengikuti pasar. Ini dikenal dengan istilah kebijakan expenditure reducing dan expenditure switching policy.
Tahun 2018, Indonesia kembali lagi mengalami masalah yang sama. Untungnya Indonesia sudah mulai mengetatkan fiskalnya tahun 2017, di mana defisit anggaran dipotong secara signifikan. Sementara kita mencatat tahun 2018 BI menaikkan tingkat bunga enam kali dari 4,5 persen menjadi 6 persen.
Kedua, sayangnya resep yang sama tak bijak diterapkan sekarang. Mengapa? Tahun 2013 kita punya kemewahan untuk pengetatan ekonomi. Mengapa? Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih 6,2 persen. Tahun 2018, kita cukup beruntung karena pada akhir 2018, The Fed memberikan sinyal untuk menahan kenaikan bunga, akibat risiko perang dagang. Hal ini sedikit banyak membantu stabilitas nilai tukar dan sektor keuangan kita. Bagaimana setelah tahun 2023?
Jika BI melakukan pengetatan moneter dan pemerintah melakukan pengetatan fiskal untuk stabilisasi pasar keuangan, ada risiko pertumbuhan ekonomi—yang baru pulih—kembali anjlok. Stabilisasi ekonomi, ketika pertumbuhan rendah, bukan pilihan yang baik.
Ketiga, apa yang harus dilakukan? Kita harus mendorong penanaman modal asing (PMA) di sektor ekspor. Jika pembiayaan defisit transaksi berjalan dalam bentuk PMA, modal tak mudah bergejolak. Sebaliknya, bila pembiayaan defisit transaksi berjalan dalam bentuk portofolio, defisit transaksi berjalan akan mengganggu kita karena modal dari luar akan begitu mudah meninggalkan Indonesia.
Untuk mengurangi volatilitas sumber pembiayaan portofolio, lakukan pendalaman pasar (financial deepening) dengan memberikan insentif agar lebih banyak sumber pembiayaan dari investor lokal supaya porsi pembiayaan eksternal menurun. Perluas obligasi ritel atau private placement (penempatan tertentu).
Hampir tiga tahun lalu, saya pernah menulis di harian ini (24/5/2018) tentang perlunya menerapkan apa yang saya sebut reverse Tobin Tax. Dalam Tobin Tax, arus modal masuk jangka pendek dikenakan pajak. Sementara dalam reverse Tobin Tax, pemerintah justru memberikan insentif pajak jika investor menginvestasikan keuntungannya kembali.
Ide yang saya usulkan beberapa tahun lalu tampaknya disambut baik seperti tecermin dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Lembaga Pembiayaan Investasi yang baru. Di sana, bila subyek pajak luar negeri tak melakukan repatriasi keuntungannya, tetapi melakukan investasi kembali di Indonesia, ia tidak menjadi obyek pajak.
Selain itu, ciptakan instrumen atau produk pasar keuangan, agar eksportir Indonesia memiliki opsi untuk menempatkan investasi portofolio dalam mata uang asingnya di Indonesia (onshore). Lebih baik eksportir atau investor Indonesia menempatkan investasi dalam mata uang asingnya onshore ketimbang di luar negeri (offshore).
Keempat, yang terpenting: Indonesia harus pulih lebih cepat, sebelum tapering terjadi. BPS baru mengumumkan, tahun 2020 ekonomi mengalami kontraksi 2,07 persen. Kontraksi ekonomi memang terus mengecil sejak triwulan II-2020. Jika tren ini berlanjut, pertumbuhan ekonomi bisa positif triwulan I-2021.
Pemulihan ekonomi bisa berbentuk swoosh shape (logo sepatu Nike). Syaratnya: pandemi bisa diatasi. Studi Office Chief Economist Bank Mandiri menunjukkan, tiap kali jumlah kasus Covid-19 meningkat tajam, dan mobilitas diperketat, aktivitas ekonomi melambat.
Bila ini terjadi terus, pemulihan ekonomi membutuhkan waktu yang lebih panjang. Atau bahkan berisiko mengikuti pola huruf W. Studi yang saya lakukan juga konsisten dengan ini: investasi swasta tak akan meningkat jika mobilitas masih terganggu. Ekonomi tak akan bisa beroperasi 100 persen jika masalah kesehatan tak bisa diatasi.
Dalam upaya mengatasi pandemi, penerapan protokol kesehatan dan vaksin menjadi kunci. Masalahnya, vaksinasi bisa memakan waktu. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan sejak 13 Januari hingga 8 Februari 2021, jumlah vaksinasi tahap pertama tercatat 814.585 orang. Artinya, rata-rata per hari sekitar 30.000. Padahal, kita tahu, dengan target vaksin 181,5 juta orang, per hari harus divaksinasi sekitar 497.000 orang.
Angka ini jelas jauh lebih rendah dibandingkan dengan target. Kita paham, vaksinasi baru mulai. Belum lagi satu bulan. Ke depan, pertumbuhan bisa eksponensial. Namun, satu hal perlu dicatat: harus ada akselerasi yang signifikan jika kita ingin mengejar target tersebut.
Belajar dari India
Economist Intelligence Unit dari majalah The Economist memperkirakan, vaksinasi di Indonesia baru akan mencapai 60 persen dari populasi pada triwulan III-2023. Mungkin terlalu pesimistis. Namun, data menunjukkan proses vaksinasi memang lebih lambat dari yang direncanakan. Ini terjadi hampir di seluruh dunia. The Economist memperkirakan AS mungkin mampu menyelesaikan vaksinasi ini akhir 2021.
Jika ini benar dan kita merujuk pernyataan Powell, ekonomi AS mungkin akan mulai pulih 2022. Artinya, bukan tak mungkin tapering akan terjadi setelah tahun 2023. Bila kita ingin menghindari pengetatan ekonomi global, pemulihan ekonomi dan penyelesaian vaksinasi harus terjadi pada 2022. Mampukah kita?
Ada baiknya kita belajar dari India. India pernah dianggap sebagai salah satu negara dengan kasus Covid-19 yang parah. Namun, beberapa waktu terakhir menunjukkan perbaikan. Kasus Covid-19 menurun. Saya tak cukup pandai untuk menjelaskan ini. Ahli epidemiologi yang punya otoritas soal ini. Namun, seperti yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan Budi Sadikin, saya percaya bahwa 3T (test, tracing, dan treatment) merupakan faktor penting.
Paul Romer, pemenang Nobel Ekonomi, menyarankan untuk melakukan pengujian bagi penduduk setiap dua minggu sekali untuk memisahkan mana yang bisa beraktivitas dan tidak sehingga aktivitas ekonomi tak terganggu.
Salah satu kendala dari tes PCR saat ini adalah akses dan harganya yang masih terlalu mahal. Padahal, amat dibutuhkan oleh masyarakat. Saya kira harus ada intervensi pemerintah di sini. Soal PCR ini mengingatkan saya pada gurauan seorang teman soal rumah makan Padang: namanya Sederhana, tetapi harganya belum tentu bersahaja.
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Rabu, 10 Februari 2021. Rubrik Opini. Halaman 6.