Budi Frensidy di Investime, CNBC Indonesia: Saham Vs Aset Kripto, Mana Yang Lebih Cuan?
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – (25/5/2021) Tertekannya kinerja pasar saham di tengah naiknya investasi aset kripto, sempat menimbulkan spekulasi larinya investor saham yang beralih ke aset kripto. Saat ini, Cryptocurrency alias mata uang digital lagi booming di pasar global termasuk Indonesia. Bermunculan mata uang kripto dari Bitcoin yang paling populer hingga Ripple, Litecoin, Dogecoin, dan Polygon.
Di Indonesia legalitas uang kripto sebagai alat tukar belum bisa karena Bank Indonesia menegaskan alat tukar masih wajib memakai rupiah. Sementara itu, posisinya sebagai alat investasi, tepatnya spekulasi, sudah diatur lewat Kementerian Perdagangan, via Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Kita ketahui bersama, saham sepanjang tahun ini kondisinya memang masih terjerembab. Ada yang bilang gegara investor beralih ke Bitcoin.
Pengamat sekaligus Guru Besar Pasar Modal FEB UI, Budi Frensidy dalam acara Investime, CNBC Indonesia dengan tema “Saham Vs Aset Kripto, Mana Yang Lebih Cuan?” yang juga dihadiri Kepala Bappebti pada Selasa (25/5/2021), mengatakan bahwa nilai fundamental atau nilai intrinsik atau singkatnya nilai aset kripto tidak bisa dilihat dari market cap. Ini karena kapitalisasi pasar adalah harga dikalikan dengan jumlah saham outstanding. Harga yang terjadi ini yang justru harus dibandingkan dengan nilai. Prinsip dasar investasi adalah membandingkan nilai dan harga. Kita mencari aset apa pun, kapan pun, dan di mana pun yang nilainya di atas harganya. Istilah populernya ialah investor mencari aset yang underpriced atau undervalued. Nilai adalah what we get atau worth, sementara harga adalah what we pay atau cost. Sulitnya, tidak seperti harga yang ada di depan kita, nilai bersifat unobservable dan kita hanya bisa estimasi.
Contohnya, nilai obligasi merupakan present value dari kupon yang dibayarkan secara periodik dan nilai nominalnya saat jatuh tempo. Untuk saham, nilainya merupakan present value dari arus kas yang dapat diberikannya apakah dalam bentuk dividen, free cash flow to the firm, atau free cash flow to equity.
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), seperti lembaga resmi dan bank sentral banyak negara lainnya, memandang kripto sebagai spekulasi. Mata uang digital ini tak bisa digunakan sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga tidak diakui sebagai aset. Sebagai currency, kripto jelas tidak punya nilai fundamental dan tidak dapat diterima sebagai alat tukar resmi. Sebagai instrumen spekulasi, harganya bisa melesat tinggi tanpa batas, tetapi dapat juga terjun bebas. Ini terjadi karena harga sepenuhnya tergantung supply dan demand di pasar.
Kehadiran aset kripto bisa membuka peluang besar terhadap money laundry. Hal ini merupakan salah satu risiko besar yang dihadapi dengan diperdagangkannya aset kripto. Saya pikir Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah mengantisipasi dengan langkah kebijakan pengawasan terhadap money laundry.