Rantai Pasokan Dunia dan Inflasi
Oleh: Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., Rektor Universitas Indonesia
KOMPAS – (5/10/2021) Persepsi bahwa dampak varian Delta akhirnya akan dapat dikendalikan menjadi dasar untuk harga minyak WTI menembus 70 dollar AS per barel mendekati 76,5 dollar AS per barel. Selain itu, China berusaha untuk mengendalikan cost push inflation dengan menggunakan cadangan minyak strategisnya untuk mengendalikan kenaikan harga minyak. Usaha ini tidak membuahkan hasil, sentimen positif pemulihan ekonomi dunia tetap mendorong harga WTI bergerak naik. Namun, ada satu prediksi menarik dari Morgan Stanley (September 2021) yang menyatakan, jika harga minyak internasional mencapai kisaran 80 dollar AS per barel, hal itu akan berpotensi merusak pemulihan ekonomi dunia yang akan memukul balik harga minyak.
Rantai pasokan dunia
Ekspektasi pemulihan ekonomi dunia dibarengi dengan kenaikan harga-harga komoditas dan produk antara, mulai dari hasil tambang, bahan makanan, hasil pertanian, kayu, logam dasar, hingga cip. Permintaan energi yang melonjak di Uni Eropa dan China membalikkan tren sementara kembali ke penggunaan batubara sebagai sumber energi. Harga batubara di pasar berjangka China meningkat 4 persen pada awal September. Sementara di pasar India, harga batubara kualitas terbaik dari Amerika Serikat naik 30 persen. Dampak kelangkaan atau kenaikan harga ini pada sisi produksi dunia ditunjukkan oleh indeks manajer pengadaan di sektor manufaktur (PMI) di dua raksasa ekonomi dunia. Angka PMI China turun dari 50,1 pada Agustus ke 49,6 pada September, yang berarti sudah memasuki zona kontraksi. Di AS, angka tersebut masih ada di zona ekspansi, tetapi pergerakannya sudah mendatar. Angka PMI turun dari 61,1 pada Agustus ke 60,1 pada September.
Di beberapa negara industri, seperti AS, China, Inggris, Rusia, Jerman, dan Australia, tekanan inflasi dari sisi produksi tidak hanya dari harga komoditas, tetapi juga berasal dari pasar tenaga kerja. Di beberapa pelabuhan utama dunia, antrean panjang kapal peti kemas yang menunggu waktu bongkar menunjukkan bahwa ada masalah serius. Fenomena ini merupakan bagian dari kesulitan mencari tenaga kerja. Pertama, masalah pembatasan mobilitas pekerja sebagai konsekuensi pandemi. Kedua, secara umum pemberi kerja juga harus meningkatkan upah dan gaji untuk menarik kembali para pekerja sebagai premi kemungkinan terpapar Covid-19 dalam tugasnya.
Masalah rantai pasokan dunia ditunjukkan oleh inflasi indeks harga konsumen di AS yang, walaupun mulai mendatar, tetap tinggi di atas rerata jangka panjangnya. Inflasi AS bulan Agustus 2021 tercatat 5,3 persen, menurun tipis ketimbang 5,4 persen pada Juli dan Juni. Ini adalah harga yang harus dibayar AS mengingat angka PMI-nya masih sangat ekspansif sebagai akibat dari permintaan konsumen yang sangat kuat. Di China, inflasi tampaknya mendingin lebih cepat karena ledakan permintaan masyarakat terkonsentrasi pada sektor transportasi dan energi.
Inflasi tahunan China tercatat 0,8 persen pada Agustus. Sementara itu, sumber inflasi AS berasal dari lonjakan permintaan (demand pull) sekaligus kenaikan biaya produksi akibat terhambatnya rantai pasokan (cost push). Untuk meredam inflasi dari sisi permintaan, Bank Sentral AS dapat menggunakan kebijakan moneter kontraktif, mengurangi suntikan likuiditasnya sebesar 120 miliar dollar AS per bulan melalui pembelian aset finansial (tapering). Risikonya ialah penurunan kegiatan ekonomi di tengah potensi kebangkitan pandemi tanpa dapat meredakan cost push inflation sehingga bisa membawa AS ke stagflasi seperti awal tahun 1970-an.
Dampak dalam negeri
Masalah rantai pasokan dunia tampaknya belum berdampak signifikan terhadap inflasi Indonesia. Hal ini terjadi karena ledakan pola permintaan tertahan di Indonesia lebih dibelanjakan di dalam negeri. Hal ini terlihat dari indeks keyakinan konsumen (IKK) bulan Agustus yang diterbitkan oleh BI. Antara Juli dan Agustus 2021 terjadi kenaikan proporsi pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi dari 74,6 ke 75 persen. Sebagai akibatnya, terjadi penurunan rasio tabungan terhadap pendapatan dari 15,1 ke 14,6 persen.
Data Pertamina menunjukkan daya beli lebih mengarah ke mobilitas. Setelah sempat menurun pada Juli sebagai akibat implementasi PPKM level 4, konsumsi untuk semua jenis gasolin bulan Agustus naik 5,77 persen. Sementara bahan bakar diesel angkanya positif 4,22 persen. Berarti ada perbaikan mobilitas di sektor logistik ataupun produksi setelah relaksasi PPKM level 4. Momentum ini sebenarnya sudah terlihat dari pola pertumbuhan PDB sampai triwulan II-2021.
Dari pola pemulihan ala huruf V di sektor-sektor ini, pengeluaran konsumsi masyarakat tampaknya diarahkan ke mobilitas yang berorientasi relaksasi. Sisi positifnya, sektor transportasi-pergudangan dan akomodasi-makan dan minum mempunyai kapasitas yang tidak terpakai terbesar karena kontraksi yang dalam sebelumnya sehingga dampak inflasinya tidak terlalu signifikan. Inflasi tahunan bulan Agustus tercatat 1,59 persen, sedikit lebih tinggi daripada angka Juli sebesar 1,52 persen.
Hal lain yang membuat inflasi tetap terkendali adalah kurs rupiah yang relatif stabil pada kisaran Rp 14.200-Rp 14.300 per dollar AS sehingga imported inflation juga terkendali. Kestabilan ini ditopang oleh neraca dagang yang sudah 16 bulan berturut-turut surplus. Selain itu, dengan keberhasilannya menekan kasus baru harian, Indonesia oleh John Hopkins University CSSE dimasukkan sebagai salah satu negara dengan penanganan Covid-19 terbaik karena dapat menurunkan angka kasus baru harian hingga 58 persen dalam waktu dua minggu. Konsekuensinya, modal portepel tetap tertarik untuk ke Indonesia. Dengan tetap menjalankan protokol kesehatan, semuanya ini merupakan modal awal bagi kelanjutan pemulihan ekonomi pada triwulan-triwulan mendatang.
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 5 Oktober 2021. Rubrik Umum. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.