Mirza Adityaswara: Bank Digital dan Arah ke Depan

0

Bank Digital dan Arah ke Depan

Mirza Adityaswara, Ekonom dan Ketua Indonesia Fintech Society (IFSOC)

 

KOMPAS – (12/10/2021) Pandemi Covid-19 telah mengubah cara masyarakat beraktivitas. ”WFH” atau bekerja dari rumah kini menjadi istilah sehari-hari. Selain bekerja dan belajar dari rumah, masyarakat juga melakukan berbagai aktivitas dari rumah, seperti menonton film, bermain game online, berbelanja, belajar memasak, juga konsultasi kesehatan.

Di pasar keuangan, peningkatan aktivitas ekonomi digital tecermin dari naiknya harga saham berbagai perusahaan yang menawarkan layanan digital. Harga saham perusahaan e-dagang Amazon pada masa pandemi naik 74 persen dari Januari 2020 ke awal Oktober 2021. Harga saham perusahaan layanan film Netflix naik 89 persen. Saham penyedia layanan konferensi video Zoom, bahkan, sempat naik 800 persen tahun 2020.

Pada masa pandemi, aktivitas pembayaran dan investasi keuangan juga dilakukan dari rumah. Belanja dari rumah membutuhkan fasilitas pembayaran online. Harga saham perusahaan teknologi finansial (tekfin) pembayaran Paypal meningkat 175 persen, kapitalisasi pasarnya mencapai 305 miliar dollar AS atau sekitar seperempat dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Stripe, perusahaan aplikasi proses pembayaran yang didirikan 11 tahun lalu, nilai kapitalisasinya kini 95 miliar dollar AS, naik tiga kali lipat selama pandemi.

Melejitnya harga saham perusahaan ekonomi digital tersebut juga menular ke Indonesia. Namun, perusahaan ekonomi digital Indonesia sebagian besar masih pada tahap pendanaan oleh investor privat, belum masuk ke bursa efek. Para investor pun mencari-cari emiten perusahaan atau bank yang bisa masuk kategori ekonomi digital. Investor ritel tergoda membeli saham-saham perusahaan dan beberapa bank yang mengaku menjadi perusahaan dan bank digital.

Kenaikan harga saham bank-bank kecil di Indonesia yang mengaku bank digital memang luar biasa. Ini karena ada ekspektasi bahwa bank digital akan berjaya pada masa depan. Kapitalisasi pasar Bank Jago sudah mencapai Rp209 triliun, melewati kapitalisasi pasar Bank BNI digabung dengan Bank BTN, Bank CIMB Niaga, Bank Danamon dan Bank Panin walaupun secara total aset Bank Jago jauh di bawah bank-bank tersebut. Contoh lain, kapitalisasi pasar bank digital BRI Agro sudah mencapai Rp50 triliun. Sementara itu, kapitalisasi pasar Bank Aladin Rp39 triliun, sudah melewati kapitalisasi pasar Bank BTN, ataupun CIMB Niaga, Danamon, dan Bank Panin.

Ekspektasi laba

Menurut teori keuangan, harga saham adalah cerminan dari ekspektasi terhadap kinerja laba perusahaan. Apakah laba bank digital dalam 10 tahun ke depan akan bisa menyalip bank konvensional?

Bank Digital menyasar generasi yang terbiasa dengan perkembangan teknologi, yaitu generasi milenial. Karena masih berusia muda, biasanya mereka belum punya uang banyak sebagai sumber deposit bank. Namun, dua puluh tahun ke depan, generasi milenial ini sudah jadi profesional bergaji tinggi atau pengusaha mapan.

Apakah bank konvensional akan tinggal diam melihat nasabah generasi milenial diambil oleh bank digital? Itulah sebabnya bank-bank besar, seperti Bank Mandiri, BCA, CIMB Niaga, OCBC NISP, meningkatkan kemampuan digital. Jika nasabah bank besar bisa bertransaksi deposito, jual beli saham, beli asuransi, beli reksa dana, ambil kredit kendaraan bermotor, kredit pemilikan rumah, melalui genggaman di telepon seluler, mereka tidak akan pindah ke bank lain.

Di lain pihak, bank kecil yang menyatakan diri menjadi bank digital sebenarnya tidak mudah menggaet nasabah dalam waktu singkat. Laba bank diperoleh dari menjaring deposit dan menyalurkannya sebagai kredit. Laba bank juga diperoleh dari pendapatan nonbunga, misalnya menyediakan jasa transfer, konversi valuta asing, dan layanan investasi. Karena itu, bank digital berusaha bekerja sama dengan pihak lain dalam rangka membentuk ekosistem, misalnya ekosistem e-dagang, layanan transportasi, ekosistem petani, dan pengusaha mikro.

Dengan terbentuknya ekosistem, diharapkan nasabah akan membuka rekening bank dan melakukan berbagai transaksi di rekening itu. Dua bank besar, BCA dan BRI, agar bisa fokus, memilih strategi membangun anak usaha bank digital, dengan harapan terjadi diversifikasi nasabah: daripada potensi nasabah pindah ke bank lain, lebih baik dijaring anak usaha sendiri.

Pada prinsipnya bank digital adalah bank tanpa layanan kantor cabang, tanpa layanan ATM. Semua transaksi dilakukan secara online melalui telepon seluler. Karena bank digital berusaha membentuk ekosistem, penting sekali mempunyai sistem teknologi yang terkoneksi dengan sejumlah pihak agar terjadi interkoneksi dan interoperabilitas.

Misalnya, untuk menyalurkan kredit personal, perlu informasi terkait kemampuan bayar, seperti data transaksi belanja dan data utang di tempat lain. Di sini muncul istilah open banking melalui standardisasi API (application programming interface). Bank Indonesia sudah mengatur standardisasi API. Yang harus dijaga dari open banking adalah proteksi data pribadi agar tak terjadi penyalahgunaan data nasabah.

Demi mempertahankan nasabah, bank konvensional juga mulai menyadari pentingnya kerja sama dengan pelaku ekonomi digital. Misalnya, jika nasabah milenial ingin membeli reksa dana, lebih baik dihubungkan dengan perusahaan tekfin yang spesialisasinya melayani reksa dana jumlah kecil.

Bank konvensional juga membuka pintu kepada perusahaan tekfin uang elektronik karena nasabah bank sekarang nyaman melakukan pembayaran berbagai transaksi ritel dengan uang elektronik (e-money). Bank konvensional juga membuka pintu kepada perusahaan tekfin kredit dalam rangka membesarkan portofolio kredit mikro dan konsumer.

Kemajuan teknologi zaman ini membuat berbagai transaksi dan penyimpanan data dilakukan dalam jaringan internet sehingga cyber risk menjadi risiko sangat penting untuk dimonitor dan dicegah agar tidak terjadi. Jika pun risiko itu terjadi, harus diketahui bagaimana upaya pemulihannya.

Dua regulator, Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia, sudah mengatur bahwa standar keamanan sistem informasi, tata kelola dan manajemen risiko, adalah faktor sangat penting dalam pelayanan digital perbankan. Bank dan pelaku digital ekonomi harus siap dengan cyber risk, tetapi regulator pun harus siap dengan keahlian baru: mampu melakukan pengawasan dan pemeriksaan dengan memanfaatkan teknologi.

Selamat datang era baru, era ekonomi digital.

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 12 Oktober 2021. Rubrik Umum. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.