Bincang Sore #4 Dies Natalis FEB UI: Partisipasi Ekonomi dan Kesejahteraan Wanita dalam Keluarga

Bincang Sore #4 Dies Natalis FEB UI: Partisipasi Ekonomi dan Kesejahteraan Wanita dalam Keluarga

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (21/10/2021) Dalam Rangkaian Acara Dies Natalis Ke-71, FEB UI menggelar Bincang Sore Seri 4 bersama Departemen Ilmu Ekonomi dan Lembaga Demografi FEB UI dengan tema “Partisipasi Ekonomi dan Kesejahteraan Wanita dalam Keluarga” pada Kamis (21/10).

Hadir sebagai  pemateri Prani Sastiono, Ph.D. (Dosen FEB UI) dan Diahhadi Setyonaluri, Ph.D. (Dosen dan Peneliti FEB UI). Hadir pula Turro Selrits Wongkaren, Ph.D. (Ketua Lembaga Demografi FEB UI) sebagai pemandu acara.

Pada sambutan, Sekretaris Pimpinan FEB UI Herda J. T. Pradsmadji, M.Pd. menuturkan, “Ilmu ekonomi tak sekadar berkaitan dengan aspek keuangan. Lebih luas, ilmu ekonomi mencakup berbagai perilaku manusia dan implikasinya. Oleh karena itu, segala keputusan manusia bisa dilihat melalui kacamata ekonomi, termasuk keputusan dalam suatu keluarga.”

Menurut Herda, keluarga adalah satuan unit ekonomi terkecil, dari sini awal mula keputusan penting yang berujung pada perilaku ekonomi. Kita mengenal area tersebut sebagai household economics atau ekonomi rumah tangga. Pembahasan tersebut mulai intensif sejak publikasi karya ilmiah Gary Becker’s pada awal 1960-an. Sejak lama pula, FEB UI telah menyadari peranan kuantitas, kualitas, dan komposisi penduduk dalam pembangunan suatu bangsa.

Ia menjelaskan, “Hari ini, Bincang Sore akan membahas topik yang sering dibahas dalam household economics, yaitu partisipasi ekonomi dan kesejahteraan wanita dalam keluarga. Tanpa kita sadari, peranan wanita dalam keputusan bernilai ekonomi secara agregat mampu menentukan pergerakan pasar.”

   

Kemudian, Prani memaparkan penelitiannya, “Menurut penelitian terdahulu dari luar negeri, pandemi dapat memperburuk ketidaksetaraan yang sudah ada sebelumnya, dan ketimpangan pada wanita secara tidak proporsional. Sementara Studi Komnas Perempuan (2020),menemukan adanya peningkatan ketegangan dalam rumah tangga, dan wanita menanggung beban pekerjaan rumah tangga tak berbayar lebih banyak daripada laki-laki.”

Hal tersebut mendorong Prani bersama rekan LPEM FEB UI untuk menelitinya. Mereka mengumpulkan 1.000 responden melalui survei daring, dengan memperhatikan keseimbangan usia, daerah, dan gender. Lalu, 203 responden melalui wawancara telepon, terbagi atas 168 responden survei publik dan 35 responden wanita penyintas kekerasan berbasis gender.

Ia membagikan temuannya, “Bagi 25 hingga 30 persen responden, COVID-19 memberikan dampak positif dalam bentuk kedekatan keluarga. Frekuensi perselisihan dengan pasangan atau anak berkurang. Tak hanya itu, responden pun melaporkan peningkatan aktivitas rekreasi atau relaksasi,”

“Bagi responden lainnya, COVID-19 menimbulkan konflik dan kecurigaan akibat keterbatasan bergerak. Ada tantangan tersendiri bagi kondisi ekonomi, pekerjaan dan pendapatan menurun tajam sehingga kerap menimbulkan pertengkaran,” lanjutnya.

Sekitar 42 persen responden mengatakan bahwa mereka mengalami peningkatan kekerasan selama pandemi, baik pada wanita maupun laki-laki. Pasangan hidup merupakan pelaku utama kekerasan tersebut. Setelah menelitinya, Prani menemukan faktor utama pendorong kekerasan, di antaranya tidak dapat memenuhi kebutuhan, tidak memiliki pekerjaan, dan tidak mampu mengemban beban ganda.

Ternyata, masih ada norma terkait gender yang berkaitan dengan terjadinya kekerasan.  Dalam pencegahan dan penanganan kekerasan tersebut, perlu adanya penerapan kesetaraan gender pada semua tingkatan, perluasan sosialisasi tentang program dukungan pandemi, pemberian akses dan informasi dukungan psikososial, serta pemberdayaan wanita pra, selama, dan pasca bencana.

   

Lebih lanjut, Diahhadi menerangkan penelitian tentang norma sosial dan partisipasi ekonomi wanita di perkotaan Indonesia. “Kita telah mengetahui bahwa Indonesia punya kesenjangan gender pada partisipasi kerja yang cukup stagnan, laki-laki sekitar 85 persen dan wanita sekitar 53,4 persen. Bahkan, kesenjangan itu tak berubah selama hampir 2 dekade.”

Cameran et al (2019) menganggap adanya indikasi pergeseran norma, wanita yang lebih berusia muda dan berpendidikan di daerah perkotaan lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja. Peningkatan pendidikan, urbanisasi, dan transformasi struktural membantu menegosiasikan pembatasan gender tersebut.

Terlebih, pandemi COVID-19 meningkatkan pekerjaan perawatan tak berbayar pada wanita serta  memungkinkan masih berlakunya norma tradisional. Namun pada saat bersamaan, tingkat partisipasi angkatan kerja wanita meningkat sebesar 1,2 persen antara 2019 dan 2020.

“Di rumah, pria melakukan lebih banyak pekerjaan rumah, tetapi wanita lebih banyak memikul pekerjaan perawatan yang tak berbayar. Banyak responden menyebut ‘kodrat’ untuk peran wanita sebagai seseorang yang mengasuh anak dan suaminya. Norma sosial memandang wanita ideal sebagai wanita yang tangguh, bisa menjaga keseimbangan keluarga dan rumah tangganya. Ada pula pandangan bahwa seorang ibu merupakan ‘madrasah’ atau sekolah’ bagi anak-anaknya,” ungkapnya.

Norma di tempat kerja berkisar pada norma yang mengidealkan stereotip gender. Perusahaan menganggap wanita lebih cocok untuk pekerjaan administratif dan laki-laki lebih cocok pekerjaan fisik atau teknis. Preferensi bias ini menciptakan ‘penerimaan’ atas idealnya laki-laki menerima upah lebih tinggi daripada wanita. Di sisi lain, ada dukungan positif tentang wanita mampu menjadi pemimpin di tempat kerja karena terlihat lebih peduli.

Akhir kata, Diahhadi memberikan saran, “Kebijakan harus berfokus dalam mengurangi beban wanita di salah satu atau kedua domain—rumah dan tempat kerja—sehingga memungkinkan wanita lebih banyak pilihan untuk memilih dan menjalankan peran mereka. Selain itu, perlu adanya perubahan norma dan budaya yang berlaku terhadap gender.” (hjtp)