Webinar Rangkaian Dies Natalis FEB UI: FEB UI dan Oxford University, Economics and Business Solutions for Sustainable Fashion

0

Webinar Rangkaian Dies Natalis FEB UI: FEB UI dan Oxford University, Economics and Business Solutions for Sustainable Fashion

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (1/12/2021) Dalam Rangkaian Acara Dies Natalis Ke-71, FEB UI bersama Oxford University menggelar webinar bertema “Economics and Business Solutions for Sustainable Fashion” secara daring, pada Rabu (1/12). 

Menghadirkan para panelis, Dr. Rima Prama Artha (Departemen Ekonomi FEB UI dan Danareksa Research Institute), Charmian Love (Residence B Lab dan The Skoll Centre for Social Entrepreneurship Said Business School Oxford University), serta Sara Arnold (Extinction Rebellion dan Fashion Act Now). Hadir pula pemandu acara Lydia Napitupulu (Departemen Ekonomi FEB UI).

Dekan FEB UI Teguh Dartanto, Ph.D. dalam opening speech mengutarakan, webinar ini mempertemukan para ahli dari Universitas Indonesia dan Oxford University untuk membagikan pengetahuan lintas batas dan menemukan solusi berkelanjutan dalam bisnis—terutama industri mode ritel—terhadap lingkungan.

Ia menuturkan, “Kami berharap, diskusi ini mampu menyoroti tantangan yang kita hadapi bersama sehubungan dengan konsumsi yang terlalu tinggi dan industri mode yang terlalu cepat berganti sehingga merugikan lingkungan.”

“Belum lama, Kementerian Pembangunan Nasional RI berkolaborasi dengan United Nations Development Programme (UNDP) dan Duta Besar Denmark telah menerbitkan Laporan 2021 tentang dampak sosial dan ekonomi pada ekonomi sirkular di Indonesia. Laporan tersebut membahas pentingnya menerapkan kebijakan sadar lingkungan, khususnya saat pandemi. Kebijakan ini seharusnya menyatukan manusia, lingkungan, dan negara sebagai pusat saat merumuskan dan mengimplementasikannya,” ungkap Teguh.

Lalu, Lydia mengajukan pertanyaan kepada panelis untuk memulai dialog. Rima menjelaskan,Emisi masyarakat Indonesia memang relatif lebih rendah daripada emisi masyarakat di negara maju. Namun, Indonesia harus memiliki tanggung jawab yang sama karena emisi memengaruhi perubahan iklim dan seluruh masyarakat di manapun berada, tak terkecuali di Indonesia.”

Mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia masih berada tidak jauh di atas garis kemiskinan, mereka tidak menganggap mode sebagai pilihan, tetapi lebih pada kemampuan mereka membeli produk tersebut.

“Permasalahan utamanya bukan membuat masyarakat lebih sadar akan pentingnya pilihan mode berkelanjutan, tetapi mengamankan kebijakan dan membuat produk mode berkelanjutan lebih terjangkau bagi siapapun,” ujarnya.

Menurut perkiraan, limbah industri tekstil akan meningkat sekitar 70 persen pada 2030. Saat ini, limbah mode di Indonesia lebih banyak berakhir di tempat pembuangan dan pembakaran limbah, hanya sekitar 5 persen limbah mode yang melalui proses daur ulang. Akhirnya, banyak sumber daya untuk pengembangan produk terbuang sia-sia, seperti air, energi, dan semuanya.

“Indonesia termasuk negara penghasil produk tekstil teratas. Tak hanya limbah pasca produksi atau limbah konsumen, ada pula limbah selama proses pengembangan produk. Terbukti, faktor utama tercemarnya beberapa sungai di Indonesia, seperti Citarum, adalah keberadaan industri tekstil di sekitarnya. Jika kita tidak menjaga bisnis ini dalam jangka panjang, maka akan lebih banyak merugikan daripada memberi manfaat,” tandasnya.

Charmian melanjutkan, “Seluruh industri, tak terkecuali industri mode, seharusnya tak hanya menciptakan produk, tetapi menciptakan produk dengan eksternalitas positif bagi dunia dan siapapun yang hidup di dalamnya.”

Saat ini, ada beberapa inovasi sangat menarik di tingkat model bisnis industri mode.  Pertama, memperpanjang masa pakai dengan memperbaiki atau menjual kembali. Ada perusahaan, misalnya Patagonia, yang menerapkan pendekatan untuk mencegah bahan limbah masuk ke tempat pembuangan sampah dengan menciptakan daya tahan produk sebaik mungkin dan memastikan bahan produk seaman mungkin.

Kedua, menggunakan bahan yang mudah untuk didaur ulang, jadi dapat digunakan dan diterapkan pada berbagai jenis mode lainnya. Charmian menunjukkan bahwa ia mengenakan karya seorang mahasiswanya yang berhasil mendaur ulang sari—pakaian tradisional India—menjadi blazer.

Ketiga, menyewakan pakaian, terlebih pakaian mewah. Ada perubahan persepsi dalam budaya di Inggris sehingga seseorang tidak harus memiliki sesuatu karena bisa menyewanya untuk acara tertentu. Dengan begitu, penyedia jasa sewa pakaian pun meningkat.

Terakhir, Sara membahas pengalamannya bekerja dengan berbagai pemangku kepentingan untuk melibatkan dan mengadvokasi industri mode yang lebih berkelanjutan. “Saya menyadari betapa daruratnya situasi di dunia saat membaca Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2018, dan  bahwa pada dasarnya kita memiliki satu dekade untuk memperbaiki keadaan atau melarikan diri dari perubahan iklim.”

“Dalam usaha mencapai sirkularitas pada skala tersebut, kita butuh intervensi dari pemerintah dan insentif dari setiap masyarakat secara serius. Saya memutuskan untuk bergabung dengan Extinction Rebellion atas dasar minat melindungi planet,” ujarnya.

Selama di Extinction Rebellion, ia menjalankan berbagai gerakan kampanye. Ia bercerita, “Pada kampanye Boycott Fashion, kami mengajak orang untuk tidak membeli pakaian baru selama setahun penuh, hal ini mudah saja bagi sebagian orang, tetapi sangat sulit bagi sebagian lainnya. Meski terlihat hanya berfokus ke konsumen, sebenarnya gerakan ini merupakan bentuk provokasi kepada industri untuk mengatakan kalau kita tidak butuh produksi mode yang berlebihan.”

“Lalu, pada kampanye Cancel Fashion Week, kami mengadakan pertemuan dengan Dewan Mode Inggris untuk mendiskusikan tentang perubahan iklim dan meminta mereka membatalkan London Fashion Week sebagai tanggapan krisis tersebut,” tambahnya.

Sejak itu, ia mendirikan Fashion Act sebagai tindak lanjut untuk tegas mendukung tuntutan dan taktik Extinction Rebellion khusus pada industri mode. Prinsipnya, menyerukan keadilan iklim dan meminta tanggung jawab dari industri mode.

Pada webinar ini, sebanyak 78 partisipan bergabung secara daring melalui Zoom dan siaran langsung YouTube. (hjtp)