Normalisasi Kebijakan dan Presidensi G-20
Oleh: Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., Rektor Universitas Indonesia
KOMPAS – (7/12/2021) Pada tahun 1977 Kydland dan Prescott, pemenang Nobel Ekonomi 2004, memperkenalkan konsep Time Inconsistency. Suatu kebijakan yang dianggap optimal pada masa lalu belum tentu optimal saat ini, danyang optimal saat ini belum tentu demikian untuk masa yang akan datang.
Kebijakan fiskal dan moneter di AS, misalnya, digunakan untuk menopang sisi permintaan yang runtuh akibat penurunan mobilitas dengan memberi bantuan transfer kas ke rumah tangga. Bank Sentral AS, The Fed, menggelontorkan likuiditas ke perekonomian lewat pembelian aset finansial. Hal ini berdampak menurunkan biaya kredit untuk sektor perumahan yang berdaya ungkit besar.
Efeknya, meningkatkan pertumbuhan ekonomi AS secara drastis dari minus 31,4 persen pada triwulan II-2020 ke zona positif pada triwulan-triwulan berikutnya sehingga mencapai 6,7 persen pada triwulan II-2021. Harga yang harus dibayar adalah meningkatnya laju inflasi di atas tren rata-rata jangka panjang karena rantai pasokan belum siap. Inflasi tahunan AS pada Oktober 2021 tercatat 6,7 persen, jauh di atas rata-rata jangka panjangnya sekitar 2 persen. The Fed tampaknya akan melakukan normalisasi kebijakan dengan mempercepat program pengurangan pembelian aset-aset finansial (tapering).
Kebijakan ini ditujukan untuk mengurangi ekspektasi inflasi sehingga pada 2022 dan sesudahnya diharapkan kembali ketingkat normal. Namun, inflasi juga berasal dari kurangnya tenaga kerja. Pandemi membuat masyarakat di sana memilih hidup lebih sederhana dengan kualitas hidup ketimbang stres karena terlalu lama bekerja (the Great Resignation).
Kebijakan tapering ini juga dihadapkan pada deklarasi WHO tentang varian Covid-19 dengan potensi penularan yang diklaim lebih tinggi daripada varian sebelumnya. Deklarasi ini menimbulkan announcement effect, mendorong gelombang penutupan perbatasan negara. Pasar minyak dunia mengantisipasi skenario terburuk penurunan mobilitas internasional.
Dalam hitungan hari, harga minyak internasional West Texas Intermediate (WTI) turun drastis, sebelumnya sempat tembus 80 dollar AS ke sekitar 65 dollar AS per barel. Bagi AS dan negara-negara industri lain, hal ini menimbulkan dilema timing normalisasi kebijakan karena perekonomian masih dalam tahap pemulihan. Sementara itu, inflasi sebagian besar berasal dari permasalahan di rantai pasokan. Dikhawatirkan kebijakan normalisasi terburu-buru justru memperparah sektor produksi, baik secara langsung maupun melalui ekspektasi inflasi berlebihan, sehingga menimbulkan masalah lain, seperti stagflasi.
Normalisasi
Untuk menjaga interaksi antara sisi permintaan dan produksi pada saat pandemi, Indonesia melakukan beberapa kebijakan extraordinary, di antaranya pelebaran defisit anggaran, burden sharing dengan BI, dan restrukturisasi kredit oleh OJK. Untuk menjaga pasar tenaga kerja dan sektor informal, ada Kartu Prakerja, bansos, dan bansos produktif.
Sebagai jangkar mewakili kondisi terminal (boundary condition), defisit ditargetkan kembali ke 3 persen dari PDB pada 2023. Sebagai sinyal, kondisi terminal ini cukup kredibel. Ini terlihat dari perkembangan kurs rupiah yang mengandung komponen ekspektasi ke depan karena arus modal portepel masih cukup besar dalam neraca pembayaran Indonesia.
Saat awal pandemi, kurs rupiah sempat mengalami over shooting ke sekitar Rp16.700 per dollar AS. Namun, sinyal dari kebijakan mitigasi pandemi dengan jangkar APBN membawa rupiah berangsur-angsur menguat, kini ada di kisaran Rp14.300 per dollar AS. Inflasi tahunan Oktober 1,66 persen meski ada imported inflation dari sistem pasokan dunia.
Kebijakan PPKM berhasil menggiring indikator kesehatan dan ekonomi ke jalur pemulihan. Indeks manajer pengadaan (PMI) dan indeks keyakinan konsumen (IKK) dari BI sudah memasuki zona ekspansi atau optimistis. PMI dan IKK tercatat masing-masing 57,2 dan 113,4 pada bulan Oktober.
Munculnya varian Omicron membuat segalanya jadi lebih kompleks. PPKM sebagai pengendali mobilitas mungkin akan diperketat berdasarkan diskresi tentang potensi penularan. Pertumbuhan PDB 3,51 persen pada triwulan III-2021 mengisyaratkan kebijakan normalisasi akan lebih bergeser kearah diskresi pilihan waktu yang optimal. Namun, kondisi terminal defisit anggaran kembali ke 3 persen dari PDB diperkirakan akan dipertahankan untuk menuntun variabel-variabel ekspektasi terpenting ke arah kestabilan.
Salah satu prospek penting bagi perekonomian adalah presidensi G-20. Selain efek daya ungkit langsungnya, kegiatan ini memperkenalkan kembali Indonesia ke rantai pasokan dunia yang saat ini sedang mati suri. Hal ini memberikan penyangga ekstra ketika program-program pendukung mitigasi pandemi secara bertahap akan dinormalisasi nantinya.
Peluangnya terlihat dari surplus neraca dagang yang sudah berlangsung 18 bulan berturut. Perkembangan permintaan dunia yang lebih cepat dari pulihnya rantai pasokan menimbulkan boom komoditas baru. Ekspor Indonesia naik tajam meski impor juga naik karena kegiatan ekonomi mulai pulih.
Dengan penanganannya atas pandemi, Indonesia merupakan salah satu alternatif produsen yang ada, sementara negara-negara lain dalam sistem rantai pasokan dunia masih berhibernasi.
Perubahan filosofi ke arah sufficient economy, seperti bekerja dari rumah, juga merupakan peluang bagi UMKM. Peluang meningkatkan daya ungkit jangka panjang dalam negeri dari presidensi G-20 adalah membuatnya sebagai ajang promosi dan networking bagi produk-produk Indonesia, kerja sama riset kesehatan inklusif, digitalisasi, dan transisi energi. Semuanya dapat mempermulus transisi menuju normalisasi kebijakan.
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 7 Desember 2021. Rubrik Analisis Ekonomi-Umum .Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.