Catatan Ekonomi Internasional Menyambut Tahun 2022
Oleh: Kiki Verico, Wakil Kepala LPEM FEB UI dan Tenaga Ahli Menkeu Bidang Industri dan Perdagangan Internasional
KONTAN – (31/12/2021) SEJAK Q2 2021 hingga Q3 2021, ekonomi Indonesia mampu tumbuh tinggi namun laju inflasinya tak naik besar. Pertumbuhan ekonomi tahunan naik 7,07% (Q2-2021) dan 3,51% (Q3-2021), sementara laju inflasi 1,5% (Q2-2021) dan 1,0% (Q3-2021). Pola pertumbuhan dan laju inflasi ini menunjukkan, mesin ekonomi Indonesia tak mudah panas. Ini relevan sebagai pendukung tercapainya pemulihan ekonomi, walaupun syarat utama tetap bergantung pada penanganan pandemi dan penekanan angka penularan.
Pemulihan ekonomi yang terjadi Q3 2021 didorong perbaikan aktivitas formal. Data BPS menunjukkan, terdapat peningkatan aktivitas formal pada Agustus 2021 sebesar 1,02% lebih besar dibandingkan Agustus 2020. Hal ini didukung perbaikan pada indikator sosio ekonomi lainnya. TPT turun 0,58% dan berdasarkan tingkat pendidikan, pekerja berlatar belakang pendidikan SD ke bawah turun 1,2% dan TPT di perkotaan (0,66%) turun lebih cepat dari TPT perdesaan (0,5%). Di periode ini, sektor manufaktur menunjukkan capaian pertumbuhan ekonomi sangat baik. Sektor manufaktur tumbuh 3,68%, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional Investasi pada mesin dan perlengkapan tumbuh 11,54% dan indikator Purchasing Manager Index Indonesia 57,2 pada Oktober 2021, lebih tinggi dari angka sebelum pandemi sebesar 51,9 di Februari 2020. Capaian-capaian tersebut semakin menunjukkan optimisme di sektor manufaktur.
Fakta bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia didorong aktivitas formal, terutama sektor manufaktur, menjadi penting, Studi Verico dan Nat-nael (2018) menunjukkan, di Indonesia manufaktur adalah pengikat daya saing perdagangan dan investasi jangka panjang internasional. Ilmu ekonomi selama 100 tahun terakhir menunjukkan, pertumbuhan ekonomi tinggi dan sumber devisa, ditentukan daya saing perdagangan dan investasi internasional. Oleh karena itu, peran sektor manufaktur jadi sangat strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama Indonesia.
Sektor manufaktur butuh jaringan produksi dan logistik global. Namun, jaringan ekonomi global sedang terganggu akibat pandemi. Lembaga-lembaga ekonomi internasional memperkirakan, gangguan ini bisa berlangsung hingga semester I 2022. Gangguan sudah terlihat sejak awal 2021 di mana IC (integrated circuit) atau microchip—otak dari peralatan elektronik—mulai langka, sementara penjualan industri otomotif juga menurun setelah 10 tahun terakhir tumbuh cukup tinggi. Tak hanya jaringan produksi, pandemi global juga menurunkan volume perdagangan manufaktur, hingga membuat turunnya frekuensi lalu lintas kapal barang dan kontainer. Penurunan frekuensi mendorong kenaikan bíaya logistik global dan mempengaruhi harga ekspor-impor. Serangkaian gangguan jaringan ekonomi global jadi indikasi bahwa scarring effect atau efek jangka panjang perekonomian akibat pandemi global, memang bisa terjadi.
Ketika perdagangan global berkontraksi, maka alternatif penjualan adalah pasar domestik. Kenaikan indeks IKK dan RSI sejak Oktober 2021 menunjukkan, pasar domestik Indonesía berpotensi menyerap barang manufaktur nasional. Kunci keberhasilan ‘pengalihan sementara’ orientasi pasar dari global ke lokal tergantung pada laju inflasi domestik dan daya beli konsumen lokal. Peluang usaha dan lapangan kerja meningkat, mendukung peningkatan daya beli.
Di sisi ekonomi internasional, Indonesia bisa mengoptimalkan peran kerja sama ekonomi dengan mitra yang sudah punya perjanjian dagang dan investasi. Beberapa studi LPEM FEB UI telah mendukung hal ini. Simulasi instrumental variables GMM menunjukkan, perjanjian kerjasama bisa mengurangi tingkat pengangguran dan meredam dampak kenaikan inflasi global pada penurunan daya beli. Lebih lanjut, simulasi logil model juga menunjukkan, peluang mengoptimalkan peran perjanjian kerjasama untuk menurunkan TPT, relatif besar. Simulasi difference in difference menunjukkan, negara mitra dagang Indonesia bisa menjadi andalan di tengah lesunya perekonomian global, di mana simulasi random effect GLS menunjukkan, negara-negara dengan perekonomian Lebih maju memberi dampak yang lebih besar. Saat ini Indonesia dapat mengoptimalkan perjanjian perdagangan yang ada seperti negara ASEAN, Regional Comprehensive Economic Partnership dan bilateral dengan Jepang, Pakistan, Palestina, Chili, Australia, The European FTA, Mozambik, dan Korea Selatan.
Pemerataan pemulihan ekonomi adalah kunci untuk memperbaiki jaringan produksi dan logistik global. Optimalisasi perjanjian kerja-sama ekonomi adalah prasyarat pendukungnya. Di sisi sektor manufaktur, industri padat karya seperti pakaian dan alas kaki, industri dominan seperti makanan, minuman, furnitur dan kerajinan, dan industri ramah lingkungan, adalah beberapa contoh industri yang dapat menjadi penguat kerja sama ekonomi Indonesia dalam menghadapi disrupsi jaringan ekonomi global.
Artikel ini adalah pendapat pribadi.
Sumber: Koran Kontan. Edisi: 31 Desember 2021.