Muhamad Chatib Basri: Prioritas Fiskal, antara Harus dan Ingin

0

Prioritas Fiskal: antara Harus dan Ingin

Oleh: Dr. Muhamad Chatib Basri, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

 

Thomas Sowell, ekonom dari Stanford University, mungkin punya lidah yang tajam.

KOMPAS ā€“ (3/2/2022) Ia menyindir: ā€œPelajaran pertama dalam ekonomi adalah kelangkaan. Tak semua keinginan dapat dipenuhi karena sumber daya terbatas. Sedangkan pelajaran pertama dalam politik adalah bagaimana mengabaikan pelajaran pertama dalam ekonomi.ā€ Sowell mungkin terlalu sinis, tapi kebijakan ekonomi pada akhirnya memang soal pilihan.

Soal prioritas. Tema ini penting ketika membahas tantangan fiskal Indonesia ke depan, ketika begitu banyak rencana dibuat. Kita mencatat dengan sedih, pandemi meninggalkan parut yang dalam untuk kelompok rentan. Titik terang memang mulai tampak: ekonomi berangsur membaik. Tentu terlalu pagi untuk berpuas diri. Ada risiko pemulihan ekonomi yang timpang di depan.

Data Survei Konsumen BI menunjukkan, porsi tabungan terhadap total pendapatan kelompok pengeluaran Rp5 juta ke bawah menurun. Sebaliknya, tabungan kelompok pengeluaran Rp5 juta ke atas justru meningkat (periode September 2020-Desember 2021).

Bisa dipahami, porsi yang besar konsumsi kelas atas adalah barang sekunder atau tersier, seperti liburan, perjalanan, perhiasan mahal, makan di restoran mewah dan sebagainya. Pembatasan mobilitas, memukul aktivitas itu, akibatnya tabungan mereka meningkat. Selain itu, kelompok ini juga memiliki akses digital yang baik sehingga tetap bisa beraktivitas. Sebaliknya kelas menengah bawah harus bertahan hidup, akses digital terbatas, akibatnya tabungan terkuras.

Kapasitas fiskal 2022

Pandemi juga membawa risiko penurunan kualitas modal manusia. Bank Pembangunan Asia (ADB) mencatat: sekitar 27 persen anak-anak di beberapa negara ASEAN tak bisa mengikuti sekolah secara daring karena infrastruktur internet tak memadai. Pandemi Covid- 19, juga datang dengan pesan: kesehatan adalah investasi, ia bukan biaya.

Implikasinya, kebijakan fiskal harus bersifat inklusif: fokus pada penyediaan akses kesehatan, pendidikan, perlindungan kelompok miskin dan rentan, juga mengatasi ketimpangan. Ini semua membutuhkan dana. Mampukah fiskal kita? Untuk menjawab ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, saya kira, kita perlu mengapresiasi kinerja pemerintah untuk penerimaan negara di 2021 yang melampaui target. Namun kita juga harus adil: kita cukup beruntung karena perbaikan harga komoditas dan energi. Lihat angka ini: penerimaan negara tumbuh 21,6 persen tahun 2021, di mana pertumbuhan pajak penghasilan non migas tumbuh 14,73 persen, sedangkan migas tumbuh 60 persen, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (BNBP) naik 31,5 persen.

Kita melihat, kenaikan harga komoditas dan energi membantu kenaikan penerimaan negara secara signifikan. Pertanyaannya, sampai kapan? Masa depan penerimaan negara tak bisa digantungkan pada nasib baik. Saya tak cukup pandai menjawabnya. Namun ada beberapa hal yang bisa jadi indikasi.

Kedua, Jeffrey Frankel dari Harvard Kennedy School (2018) menunjukkan, kenaikan tingkat bunga di AS dapat menurunkan harga energi dan komoditas. Alasannya, kenaikan Fed Rate dapat mendorong orang mengalihkan investasinya dari spot commodity contract kepada investasi keuangan. Akibatnya, permintaan terhadap energi dan komoditas menurun. Implikasi lainnya, menguatnya nilai tukar dollar AS. Akibatnya, harga komoditas dan energiā€”dalam mata uang non dollar ASā€”menjadi semakin mahal. Permintaan terhadap komoditas atau energi global akan menurun. Harga akan turun.

Faktor lain yang penting diperhatikan adalah pertumbuhan ekonomi China. Proyeksi pertumbuhan China menunjukkan perlambatan. Semua faktor ini akhirnya bermuara kepada satu hal: penurunan harga komoditas dan energi.

Studi kuantitatif awal yang saya lakukan bersama Namira Fitrania dari CReco Research menunjukkan kenaikan tingkat bunga The Fed berpotensi menurunkan harga minyak di masa depan. Dampaknya akan terlihat sekitar 8-9 bulan. Jika The Fed mulai menaikkan bunga pada triwulan pertama atau kedua 2022, maka ada kemungkinan harga energi akan mulai turun tahun 2023.

Konsisten dengan ini, Bank Dunia memprediksikan harga batubara akan menurun di 2023. Jika prediksi ini benar, ada risiko penerimaan pajak 2023 melambat. Saya sadar, amat sulit memprediksi harga energi dan komoditas, karena begitu banyak faktor yang berpengaruh. Ekonomi hijau, misalnya, membuat suplai energi tak terbarukan juga turun, sehingga penurunan harga yang terjadi mungkin tak sedalam yang diperkirakan. Apapun itu, harga batubara tampaknya tak akan setinggi 2021.

Ketiga, UU mengamanatkan defisit anggaran harus kembali di bawah 3 persen tahun 2023. Untuk mencapai itu, jika penerimaan melambat, maka belanja harus ditekan. Bagaimana postur belanja kita? Tengok angka-angka ini: rasio bunga utang terhadap penerimaan negara sudah mencapai sekitar 21-22 persen pada 2021; anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, transfer ke daerah dan dana desa mendekati 30 persen dari APBN; alokasi dana untuk penangangan Covid-19 juga relatif besar. Ruang fiskal yang bisa digunakan relatif terbatas.

Belum lagi kebutuhan dana untuk Ibu Kota Negara (IKN). Pemindahan IKN membutuhkan belanja cukup signifikan dari APBN. Mengapa? Pada tahap awal, pembangunan IKN jelas membutuhkan pembiayaan APBN, karena sulit mengharapkan swasta langsung masuk sebagai investor garda depan, bila infrastruktur belum tersedia. Setelah infrastruktur dasar tersedia, mungkin swasta akan masuk. Namun, perlu diingat: dukungan APBN tetap dibutuhkan.

Mengapa? IKN bukan hanya proyek jangka panjang, ia juga lintas periode pemerintahan. Walau kita sudah memiliki UU IKN, tetap ada risiko politik di sana. Investor hanya akan bersedia melakukan investasi jika ada jaminan bahwa proyek IKN ini akan terus berlangsung. Mudahnya, investor akan meminta pemerintah mengembalikan investasinya jika proyek ini terhenti.

Jaminan pemerintah ini akan jadi beban APBN. Ia menjadi utang implisit (contingent liabilities). Kerja sama pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) pun perlu dukungan APBN, karena mungkin memerlukanĀ viability gap fundĀ atauĀ project developmentĀ agar proyek itu menjadi layak dikerjakan secara komersial.

Bagaimana jika yang berinvestasi BUMN? BUMN juga perlu Penyertaan Modal Negara. Selain itu risiko dari investasi BUMN juga bisa jadiĀ contingent liabilitiesĀ pemerintah. Ujungnya: kembali jadi beban APBN. Itu sebabnya, peran APBN secara eksplisit maupun implisit dalam pembiayaan IKN akan relatif besar. Padahal, prioritas APBN perlu difokuskan untuk pengurangan kemiskinan, perlindungan kelompok rentan, mengatasi risiko ketimpangan pendapatan, memberikan akses pendidikan dan investasi dalam kesehatan.

Kita tahu, tujuan utama pembangunan adalah kesejahteraan rakyat. Tak hanya itu, bila pembangunan inklusif atau masalah ketimpangan diabaikan, akan ada risiko politik yang akan muncul, termasuk untuk pemerintahan berikutnya. Sejauh ini strategi pembangunan inklusifā€”walau belum sempurnaā€”mampu meminimalkan dampak pandemi. Ke depan ia harus menjadi prioritas utama, terutama pasca pandemi.

Saat yang sama, kita juga memiliki komitmen untuk ekonomi hijau. Transisi menujuĀ green economyĀ membutuhkan waktu dan juga dukungan APBN yang tak kecil di tahap awalnya. Padahal kita tahu, ada senjang yang besar antara kebutuhan anggaran untukĀ green economyĀ dengan yang tersedia di APBN.

Reformasi pajak

Keempat, apa yang bisa dilakukan? Penerimaan pajak harus ditingkatkan, dan pada saat yang sama, prioritas belanja harus dilakukan. Bagaimana caranya? Penerapan UU Pajak yang baru diharapkan bisa meningkatkan penerimaan. Tapi itu tak cukup. Alternatif lain, menaikkan tarif pajak. Namun ini akan menimbulkan beban bagi perekonomian. Risalah Felix, Hanna, Olken dan saya di American Economic Review (2021) menunjukkan untuk setiap rupiah kenaikan penerimaan pajak, ada tambahan beban bagi wajib pajak/WP (marginal excess burden) Rp0,51.

IniĀ dead weight loss atau biaya yang harus ditanggung perekonomian sebagai akibat kebijakan ini. Itu sebabnya kami mengusulkan melakukan reformasi dalam administrasi perpajakan ketimbang menaikkan tarif. Misalnya, memindahkan pelayanan badan usaha dari Kantor Pajak Pratama ke Kantor Pajak Madya, seperti mulai diterapkan Ditjen Pajak sejak 2021. Studi kami menunjukkan, keterbatasan sumber daya di KPP Pratama membuat mereka cenderung memfokuskan diri pada beberapa WP dengan potensi pendapatan yang tinggi.

Akibatnya, badan usaha yang besar jadi sasaran. Ada kemungkinan mereka akan kian menghindar membayar pajak ketika skala perusahaannya membesar. Bila dipindahkan ke KPP Madya, dengan jumlah staf yang lebih banyak, perlakuan terhadap badan usaha menjadi lebih seragam. Beban pajak tak hanya ā€œditanggungā€ beberapa perusahaan yang besar. Akibatnya mereka tetap bisa bertumbuh dan membayar pajak.

Selain itu, kaji ulang insentif pajak yang diberikan selama ini. Rasio tax expenditure terhadap PDB (insentif pajak) sudah relatif besar, (1,52 persen dari PDB) pada 2020. Mengapa begitu banyak insentif pajak diberikan, namun dampaknya pada pertumbuhan ekonomi relatif terbatas? Hentikan insentif yang tak efektif. Alternatif lain, mengurangi pengecualian dalam pajak, misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Langkah pemerintah memperluas cakupan cukai ke minuman berpemanis, tepat. Dengan langkah-langkah ini, rasio penerimaan pajak akan meningkat, bahkan mungkin tanpa perlu menaikkan tarifnya, karena basis pajak membesar. Instrumen lain yang perlu dijajaki adalah pajak untuk energi tak terbarukan, menaikkan pajak karbon, diimbangi membangun pasar karbon agar pemulihan bisa lebih hijau. Tentu ini harus dilakukan bertahap sehingga perusahaan mampu melakukan penyesuaian. Jika penerimaan pajak bisa dinaikkan, maka ruang fiskal akan bisa diperluas.

Kaji ulang Prioritas

Di sisi belanja, kaji lagi prioritas dan kualitas belanja. Alokasi APBN harus difokuskan untuk pembangunan inklusif dan hijau. Anggaran lain bisa menunggu, dan diberikan bertahap setelah ruang fiskal tersedia. Kita perlu membedakan mana ā€œyang harusā€ (must have) dan mana ā€œyang inginā€ (nice to have).

UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah juga bisa dimanfaatkan untuk memastikan bahwa belanja ke daerah benar-benar efektif dan efisien. Upaya perbaikan dalam kualitas belanja harus diiringi oleh reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas. Saya pernah menulis di harian ini (2/9/2021), Incremental Capital Output Ratio (ICOR) relatif tinggi, yakni 8,16 di 2021. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan 5,6 periode 2010-2014 (Verico, 2018).

Artinya, untuk menghasilkan satu unit output di 2021, dibutuhkan investasi yang jauh lebih besar dibanding beberapa tahun lalu. Penyebabnya, produktivitas atau efisiensi yang rendah. Indonesia harus meningkatkan produktivitas. Caranya, reformasi struktural.

Tantangan fiskal ke depan memang tak mudah. Pemerintah harus melakukan konsolidasi fiskal justru saat beban belanja membesar. Di sinilah, fokus dan prioritas, jadi penting. Saya teringat apa yang dikatakan Steve Jobs: ā€œPeople think focus means saying yes to the thing you’ve got to focus on. But that’s not what it means at all. It means saying no to the hundred other good ideas that there are. You have to pick carefully.”

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Kamis, 3 Februari 2022. Rubrik Opini. Halaman 6.