Ari Kuncoro di Metro Globe Network “Impact of Fed Rate Increase”
Rifdah Khalisha – Humas FEB UI
DEPOK – (28/1/2022) Bank Sentral Amerika Serikat Federal Reserve System (The Fed) mengakhiri pertemuan dua hari, pada Rabu (26/1). Menghadapi inflasi keuangan yang meningkat, The Fed telah mengindikasikan rencana menaikkan suku bunga acuannya sekitar Maret 2022.
“Saya pikir ini adalah teori klasik substitusi aset, ada hubungan terbalik antara hasil dan harga obligasi. Jika The Fed menaikkan suku bunga, maka batasnya mungkin meningkat. Dengan begitu, akan membuat obligasi lebih murah dan mendorong masyarakat mengambil kesempatan untuk membeli obligasi dengan harga lebih murah,” ujar Ari Kuncoro, Ekonom dan Rektor Universitas Indonesia, di Metro Globe Network “Impact of Fed Rate Increase” yang tayang pada Jumat (28/1).
“Tidak hanya di AS, akan tetapi di seluruh dunia. Saat saya melihat di sesi sebelumnya, semua indeks AS berwarna merah, menunjukkan bahwa telah terjadi pergerakan dari saham ke obligasi. Sementara di Indonesia, justru terjadi aliran sebaliknya, dari luar ke dalam,” imbuhnya.
Melihat data yang tersedia sangat singkat, Ari memperkirakan akan ada banyak hal dalam beberapa minggu mendatang. Terlebih, situasi pandemi mendorong kecemasan para investor. Namun prediksi klasiknya, akan ada outflow dari negara berkembang, seperti Indonesia ke AS, untuk mencari obligasi yang lebih murah. Tentunya, ini akan berdampak pada nilai tukar.
Ia mengingatkan bahwa situasi saat ini sangat berbeda dengan krisis pada 1998 dan 2008. Nantinya, tidak hanya suku bunga yang berdampak pada pasar keuangan. Kemungkinan, ada banyak hal lain, termasuk pertumbuhan, seberapa baik AS menangani situasi ekonomi dan politiknya. Lalu, seberapa baik mereka menghadapi konflik di berbagai dunia (misalnya Cina, Taiwan, dan AS) serta konflik lokal (misalnya Kazakhstan).
Berdasarkan court theory, memang benar jika ada kenaikan suku bunga The Fed di AS. Namun, Ari menilai kita masih membutuhkan waktu untuk mengamati kondisi di Indonesia dalam beberapa hari ke depan.
Harapannya, rupiah tidak terpengaruh atau hanya sedikit terpengaruh karena Indonesia telah memiliki fundamental yang lebih kuat, “Selama ini, saya melihat rupiah masih relatif stabil. Jadi, pengeluaran atau outflow masih diimbangi dengan pendapatan. Sebenarnya, pergerakan rupiah hanya dalam pasar terbatas, berbeda dari dua, empat, atau lima tahun yang lalu.”
Akhir kata, Ari mengingatkan para investor untuk tetap tenang karena metode permintaan saat ini berbeda dari 2008 atau 1988, “Investor harus melihat prospek jangka panjang. Semua yang naik mungkin turun, tetapi semua yang turun akan naik. Hal ini sangat normal di pasar, semuanya berjalan dalam siklus.”