Webinar Indonesia-Japan Policy Research Forum for Asia Day 2, “Enhancing MSME’s Innovation and Competitiveness: The Role of Finance and Digital Technology”
Rifdah Khalisha – Humas FEB UI
DEPOK – (24/2/2022) LPEM FEB UI, Asian Development Bank (ADB) Institute, GraSPP the University of Tokyo, dan didukung Toshiba International Foundation menggelar Webinar Indonesia-Japan Policy Research Forum for Asia dengan tema “Enhancing MSME’s Innovation and Competitiveness: The Role of Finance and Digital Technology” selama dua hari (23–24/2/2022).
Memasuki hari kedua Kamis (24/2), webinar masih membahas permasalahan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berjuang untuk bertahan hidup dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19 dan mengatasi kesenjangan digital.
Head of Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance RI Febrio Nathan Kacaribu sebagai keynote address menuturkan bahwa perlu adanya kolaborasi seluruh pemangku kepentingan untuk memberikan pembiayaan yang beragam kepada UMKM dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Ia berharap, nantinya akan ada reformasi sektor keuangan Indonesia, “Beberapa masalah di dalam sektor keuangan, di antaranya kemampuan pemahaman yang rendah, ketidaksetaraan akses ke jasa keuangan, keterbatasan instrumen, hingga kepercayaan konsumen dan investor yang rendah. Kita masih terus memperbaiki dan mengembangkan sektor keuangan sehingga lebih stabil, inovatif, dan terpercaya.”
Session 3: Innovative Approaches to MSME’s Digital Financing
Chief Legal Officer Music Securities Japan Kotaro Yamabe menerangkan, “Inovasi platform keuangan digital, seperti Securite, memudahkan berbagai UMKM untuk mengumpulkan dana dari investor di seluruh Jepang. Tak terhalang batasan geografis, kini para pengusaha tidak perlu datang ke bank atau venture capital lagi. Sungguh bantuan yang luar biasa dalam mencapai keuangan inklusif, terutama bagi UMKM yang berada di pedesaan.”
Sementara karakteristik pendanaannya, Music Securities memberikan modal dengan menggalang dana dari investor individu maupun perusahaan, memberikan investasi tanpa mengakuisisi saham, hingga merencanakan pengembalian secara fleksibel.
Menurut Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono, Indonesia telah mencapai kemajuan signifikan dalam memperluas akses jasa keuangan kepada seluruh masyarakat selama beberapa tahun terakhir. “Berdasarkan penelitian lembaga survei, sebanyak 40,3% populasi dewasa memiliki akun di lembaga keuangan pada 2020. Lalu, 1 dari 4 atau 25% rumah tangga pernah memiliki pinjaman (kredit) di lembaga keuangan formal manapun.”
“Terlepas dari pencapaian itu, separuh cerita lainnya masih ada porsi masyarakat yang belum mengakses jasa keuangan, sebanyak 60% belum memiliki akses ke bank. Jika membandingkan dengan negara lain, persentase pinjaman dan produk domestik bruto UMKM di Indonesia masih lebih kecil. Akses UMKM ke kredit pun masih rendah. Peran kredit dalam perekonomian Indonesia secara umum tidak sebesar Malaysia dan Taiwan,” sambungnya.
Mengingat inklusi keuangan akan memainkan peran penting selama pemulihan pandemi COVID-19, Financial Sector Specialist ADB Poornima Gayangani Wasana memaparkan tentang keterlibatan ADB melalui Promoting Innovative Financial Inclusion Program (PIFIP) untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam pengembangan kebijakan yang memperluas akses keuangan di sektor UMKM Indonesia. Selain itu, pemerintah pun menggunakan bantuan tersebut untuk memperbaiki kapabilitas keuangan dan kemampuan pemahaman masyarakat.
Session 4: Policies on Digital Technology and Financial Literacy
Erica Paula Sioson selaku Senior Officer ASEAN Secretariat, berpendapat “Inovasi adalah modal awal mencapai pembangunan berkelanjutan. Kami melihat, ada kebutuhan yang semakin bertambah akan upaya mendukung UMKM di sektor kreatif. Saat ini, barang dan jasa kreatif merupakan komunitas terdepan di perdagangan global dan pendorong pertumbuhan ekonomi.”
Lebih lanjut, grafik perkembangan ekonomi kreatif di ASEAN terus menunjukkan kenaikan cepat pada impor dan ekspor. Berkesan, bahkan ASEAN termasuk 1 dari 5 negara terbesar yang banyak mengekspor barang kreatif pada periode 2000 hingga 2015. Tentu akan lebih baik lagi apabila pembangunan telah merata di wilayah ASEAN, terutama pada bidang teknologi keuangan.
Sabyasachi Saha selaku Associate Professor, Research and Information System for Developing Countries (RIS) India, berkata, “Tentu saja, kita harus memiliki pemahaman yang komprehensif tentang ekosistem digital untuk UMKM dan industri dalam berbagai kluster. Kita harus memiliki dana khusus untuk mendukung digitalisasi UMKM dan menentukan lingkup untuk pendanaan campuran.”
Baginya, lebih dari sekadar meningkatkan penetrasi internet, kita perlu mengembangkan konektivitas internet yang berkecepatan dan menjaga keamanan siber akan perlindungan data. “Di negara berkembang, khususnya wilayah terpencil, kita membutuhkan kebijakan sehingga dapat membangun keuangan inklusi dan e-commerce. Jadi, pelayanan publik lebih merata,” tandasnya.
Kemudian, Riatu Mariatul Qibthiyyah (Director of LPEM FEB UI) mengutarakan summary and wrap up selama diskusi, “Konteks webinar selama dua hari ini tidak hanya berbicara kebijakan yang menciptakan situasi kondusif untuk UMKM, tetapi juga mengenai pemeran yang akan mendukung UMKM. Kita melihat adanya infrastruktur digital yang masih belum merata di seluruh negara. Pembuat kebijakan perlu melakukan banyak hal, misalnya koordinasi di tingkat pemerintah pusat dan daerah, dari sisi kebijakan karena tidak ada satu strategi yang cocok untuk semua.”
Selama webinar, Nella Hendriyetty (Director of Center for Regional and Bilateral Policy, Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance RI) dan Prani Sastiono (Deputy Head of Digital Economy and Behavioral Economics LPEM FEB UI) sebagai moderator yang memandu jalannya acara. Akhir kata, Toshiro Nishizawa (Professor University of Tokyo) menutup acara dengan concluding remarks. (mh)