Resiliensi Ekonomi dan Subsidi BBM
Oleh: Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., Rektor UI dan Guru Besar FEB UI
KOMPAS – (23/8/2022) Bank sentral Amerika Serikat sudah menyuarakan akan menaikkan suku bunga acuan untuk ketiga kalinya pada September mendatang walaupun terbuka kemungkinan tidak akan sampai sebesar 75 basis poin. Besaran ini lebih kecil dari ekspektasi pasar yang tadinya memperkirakan kenaikan 100 basis poin. Ekspektasi ini timbul karena sebelumnya beberapa indikator awal, seperti perumahan, telah memberikan sinyal bahwa resesi di AS akan tiba lebih awal.
Pertumbuhan ekonomi AS untuk triwulan II-2022 tercatat negatif 0,9 persen. Secara teknis AS sudah memasuki resesi karena dua triwulan berturut-turut mencatat pertumbuhan ekonomi negatif. Jika yang dipilih kemudian adalah kenaikan suku bunga kurang dari 75 basis poin, ini dilakukan karena tekanan inflasi yang menurun dari 9,1 persen pada Juni ke 8,5 persen di Juli.
Namun, data ketenagakerjaan yang positif pada Juli, dengan terciptanya 528.000 kesempatan kerja, membuat peluang bank sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunganya pada dosis tinggi tetap terbuka lebar.
Dampak global
Situasi di atas sempat menimbulkan euforia di bursa berjangka minyak dunia karena The Fed yang kurang hawkish mengurangi ketakutan terhadap resesi dunia. Harga minyak WTI yang sempat anjlok dari 108 dollar AS per barel di akhir Juni ke 94 dollar AS bergerak naik lagi. Namun, tidak dapat bertahan lama di atas batas psikologis 100 dollar AS per barel.
Setelah mencapai 98 dollar AS, kembali anjlok di bawah batas psikologis 90 dollar AS per barel, kemudian berfluktuasi pada tingkat harga ini. Hal ini terjadi karena realitas resesi di AS dan pertumbuhan di China yang terganggu lockdown Covid-19.
Anjloknya harga minyak dunia juga diikuti oleh turunnya harga komoditas dunia lainnya sehingga menurunkan tekanan inflasi global. Terkait gandum, tercapainya kesepakatan antara Ukraina dan Rusia untuk membuka koridor ekspor dari pelabuhan di Laut Hitam ke Turki untuk diekspor ke seluruh dunia juga berdampak pada penurunan harga.
Dalam lima pekan, harga gandum turun dari 9 dollar AS per gantang ke 7,48 dollar AS. Contoh lain adalah minyak kelapa sawit mentah (CPO). Harganya turun dari 5.000 ringgit Malaysia per ton pada akhir Juni ke sekitar 4.000 ringgit pada pertengahan Agustus 2022.
Prospek kenaikan suku bunga The Fed, ditambah dengan kurang menariknya investasi pada minyak bumi dan komoditas lain, menyebabkan pemodal portepel mencari aset aman finansial dalam denominasi dollar AS. Indeks dollar AS yang sempat turun ke sekitar 105,8 di minggu pertama Agustus meningkat kembali ke 108,3 pada minggu ketiga Agustus.
Akibatnya, nilai kurs rupiah terhadap dollar AS yang sempat menguat ke Rp 14.600-an per dollar AS melemah kembali ke sekitar Rp14.800. Indeks dollar AS menyerupai kolam besar global yang memengaruhi nilai tukar rupiah. Namun, ada beberapa hal domestik yang menopang rupiah untuk tidak terdepresiasi terlalu cepat ke arah Rp15.000.
Bank Indonesia melaporkan adanya net buy untuk saham-saham Indonesia sekitar Rp900 miliar oleh asing sehingga IHSG naik 0,26 persen ke 6.968,78. Dana asing juga kembali aktif di pasar Surat Berharga Negara (SBN) setelah hampir dua bulan berturut-turut mengalami jual neto.
Pada minggu ke-4 Juli 2022, bersamaan dengan pengumuman kenaikan suku bunga The Fed yang kedua, dana yang masuk tercatat sebesar Rp3,28 triliun. Kombinasi ini membuat rupiah cukup resilien.
Resiliensi pertumbuhan ekonomi
Indonesia mencatat pertumbuhan tahunan 5,44 persen pada triwulan II-2022 di tengah ketidakpastian global. Besaran pertumbuhan ini adalah yang kedua tertinggi sejak triwulan II-2021 yang tercatat 7,07 persen.
Walaupun dalam situasi pandemi, resesi dunia, dan ditekan inflasi global akibat krisis energi dan pangan, dengan laju pertumbuhan ini berarti sudah tiga triwulan berturut-turut Indonesia dapat bertahan di jalur pertumbuhan jangka panjang sejak boom komoditas berakhir pada 2012.
Sesuai prediksi Kurva Philips dengan pertumbuhan yang lebih tinggi dari triwulan-triwulan sebelumnya, maka inflasi pun akan lebih tinggi, terbukti dengan inflasi Juli yang mencapai 4,94 persen.
Selain ekspor yang tumbuh 19,74 persen, pertumbuhan konsumsi masyarakat sebesar 5,51 persen tidak terlepas dari daya beli domestik kelas menengah Indonesia yang selama ini terkunci di kota-kota besar dan menengah di Indonesia. Dengan adanya jalan tol lintas Jawa dan Sumatera, sisi permintaan dan produksi lebih terintegrasi. Industri dapat berlokasi hampir di semua tempat dengan akses ke tol.
Tak ketinggalan, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berada di pelosok kini dapat menjual produknya ke kota-kota, baik secara fisik, melalui platform daring, maupun pembeli kelas menengah perkotaan yang datang ke lokasi produksi/wisata. Hal tersebut konsisten dengan perkembangan produk domestik bruto, baik dari sisi produksi maupun pengeluaran.
Konsumsi didorong oleh pengeluaran untuk jasa-jasa relaksasi, seperti perjalanan, hotel, dan restoran. Pertumbuhan tertinggi di sisi produksi dicatat oleh sektor-sektor yang berbasis mobilitas, seperti transportasi dan pergudangan (21,27 persen). Kemudian disusul komodasi dan makan minum di posisi kedua (9,76 persen).
Fenomena ini menggambarkan preferensi kelas menengah setelah dua setengah tahun terkungkung pandemi. Perjalanan wisata ke pelosok negeri mempunyai potensi keterkaitan dengan sektor yang didominasi UMKM, seperti perdagangan, akomodasi, kuliner, dan manufaktur ringan.
Dilema kebijakan
Masalahnya, pertumbuhan berdasarkan mobilitas di atas didukung oleh subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp502 triliun yang membebani APBN. Dengan demikian, ada trade off antara pertumbuhan dan ketahanan anggaran. Pertanyaan lain adalah subsidi BBM harus dikurangi sampai berapa agar tidak terjadi demand destruction pada sektor-sektor berbasis mobilitas.
Setiap kebijakan akan selalu ada dilema atau trade off. Jika kebijakan mengurangi subsidi BBM karena pertimbangan sosio-ekonomi belum dapat dilakukan dalam jangka pendek, yang dapat digunakan adalah dengan pembatasan (rationing) nonharga. Kebijakan penyekatan (separating equlibrium) ini dapat dilakukan berdasarkan jenis kendaraan roda dua, angkutan umum dan logistik, merek, CC mesin, dan lain-lain.
Kebijakan tersebut merupakan strategic waiting game dengan adanya peluang bahwa harga minyak akan berada di sekitar 80 dollar AS sampai 90 dollar AS. Bahkan, ada kemungkinan di bawah 80 dollar AS seperti prediksi Citigroup (Cheong, Bloomberg, Juli 2022) karena resesi AS dan dunia.
Rencana The Fed untuk tetap meningkatkan suku bunga acuan berkali-kali di masa depan memperbesar peluang durasi resesi lama. Harus diperhatikan bahwa ketahanan APBN menentukan kerangka waktu untuk beralih ke opsi berikutnya (pivotal point), yakni menaikkan harga BBM dalam negeri jika keseimbangan pasar minyak dunia ternyata kembali berada di atas 90 dollar AS per barel.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/08/22/resiliensi-pertumbuhan-dan-subsidi-bbm