Budi Frensidy: Redenominasi Mendongkrak Gengsi Rupiah

Redenominasi Mendongkrak Gengsi Rupiah

Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Guru Besar FEB UI

 

Redenominasi rupiah akan membuat mata uang kita naik kelas, menghindari salah penyebutan ribuan triliun, mempermudah perhitungan, serta menghemat kertas dan tinta. Hanya saja pelaksanaannya butuh momentum yang tepat.

KOMPAS – (5/7/2023) Rencana Indonesia melakukan penyederhanaan nilai mata uang menjadi nominal yang lebih kecil atau redenominasi kembali menghangat. Redenominasi dengan memangkas tiga angka nol pertama kali diusulkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution pada 2010.

Pada 2017, Gubernur BI periode 2013-2018 Agus Martowardojo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menemui Presiden dengan membawa RUU Redenominasi Mata Uang yang sudah siap untuk diusulkan ke DPR.

Namun, RUU ini belum menjadi prioritas utama pemerintah saat itu sehingga harus tertunda. Pada 2020 Sri Mulyani membuka lagi wacana redenominasi dengan sejumlah langkah persiapan untuk dapat diberlakukan efektif pada 2025. Kementerian Keuangan pun telah memasukkan RUU Redenominasi Mata Uang dalam program Legislasi Nasional Jangka Menengah periode 2020-2024.

Mengapa redenominasi penting? Pertama, tanpa redenominasi, negara kita negara dengan rekor jutawan terbanyak di dunia. Ini karena penghasilan kita semua sudah dalam jutaan rupiah per bulan.

Di luar negeri juta adalah satuan kekayaan dan bukan satuan penghasilan bulanan seperti di negara kita. Jika di bumi ini hanya ada sekitar 2.640 miliarder dan 62,5 juta jutawan dalam dollar AS, di sini kita semua jutawan.

Terendah kelima

Kedua, meskipun produk domestik bruto (PDB) nominal kita ke-16 terbesar dan peringkat tujuh dunia berdasarkan PDB paritas daya beli (PPP), rupiah kita tak laku di luar negeri. Jangankan di benua Amerika, Eropa, dan Afrika, di banyak negara Asia saja mata uang kita tidak dapat ditransaksikan karena nilainya yang sangat rendah yaitu kurang dari 0,0001 dollar AS.

Di dunia, rupiah kita saat ini hanya menang dari rial Iran (2,81 IRR/rupiah), dong Vietnam (1,57 VND/rupiah), leone Sierra Leone (1,30 SLL/ruiah), dan kip Laos (1,27 LAK/rupiah).

Sesuai dengan nilainya yang sangat rendah, uang kertas Vietnam dengan nominal 200.000 dong dan 500.000 dong, setara dengan 8,5 dollar AS dan 21,2 dollar AS, sudah diedarkan sejak 2003. Bandingkan dengan Indonesia yang baru punya uang kertas Rp20.000 pada 1992 dan Rp50.000 setahun berikutnya.

Seiring merosotnya nilai rupiah, uang kertas Rp 100.000 diterbitkan untuk pertama kali tahun 1999 saat nilai tukar dollar AS adalah Rp6.700.

Kini dollar AS stabil di kisaran Rp15.000 atau merosot 55 persen dari tahun 1999. Uang kertas Rp100.000 yang awalnya bernilai 14,9 dollar AS, sekarang hanya setara 6,7 dollar AS. Karena itu, untuk memudahkan transaksi, uang kertas baru dengan nilai nominal Rp200.000 (13,3 dollar AS) mulai terasa diperlukan.

Hingga 2016 rupiah kita sejatinya juga menang dari dua mata uang lain, yaitu dobra Sao Tome yang nilainya 21.956 dobra/dollar AS dan rubel Belarusia yang 20.850 rubel/dollar AS. Tetapi Belarusia kemudian melakukan redenominasi dengan memangkas empat nol pada 2016 dan Sao Tome tiga nol di tahun 2018.

Redenominasi Belarusia dan Sao Tome menambah panjang daftar 60 negara lebih yang telah melakukan redenominasi selama seabad terakhir. Banyak cerita menarik di baliknya dan salah satunya adalah Zimbabwe, negara dekat Afrika Selatan.

Di sana telur pernah berharga 35 miliar dollar Zimbabwe. Uang kertas ada yang berdenominasi seratus triliun dollar Zimbabwe dengan 14 angka nol. Tetapi Zimbabwe kemudian melakukan redenominasi dengan menghilangkan belasan angka nol.

Redenominasi tidak hanya dialami tiga negara itu tetapi juga Jerman yang memangkas 12 angka nol, Turki (enam nol), Rumania (empat nol), dan Bulgaria (tiga nol). Brasil bahkan pernah melakukan redenominasi sampai enam kali untuk memotong 18 angka nol dan Argentina hingga empat tahapan untuk membuang 13 angka nol.

Seribu triliun = kuadriliun

Ketiga, tanpa redenominasi telah terjadi banyak kesalahan dalam menyebutkan besaran uang dalam rupiah. Membaca angka di APBN, dana pihak ketiga (DPK) di perbankan nasional, kapitalisasi pasar saham di BEI, dan PDB kita yang disebutkan dalam satuan ribuan triliun, kita bingung.

Mestinya tak ada istilah ribuan triliun karena seribu ribu menjadi juta, seribu juta menjadi miliar, dan seribu miliar menjadi triliun. Seharusnya ribuan triliun disebutkan kuadriliun sehingga yang benar adalah APBN 2023 sebesar Rp3 kuadriliun, DPK di perbankan Rp8 kuadriliun, kapitalisasi pasar BEI menembus Rp9 kuadriliun, dan PDB Indonesia Rp21 kuadriliun.

Keempat, nilai rupiah yang begitu rendah juga menyulitkan perhitungan mengingat kalkulator hanya maksimal 10 digit sehingga tak dapat menghitung sampai belasan hingga ratusan miliar.

Kelima, redenominasi akan menghemat banyak angka di semua dokumen kita. Penggunaan tinta dan kertas juga akan lebih irit. Lihat saja menu di beberapa restoran dan cafe di hotel berbintang. Angka ribuan sudah sering dihilangkan. Harga secangkir kopi sering dituliskan Rp60 dan nasi goreng Rp100 seporsi, bukan Rp60.000 dan Rp100.000.

Kesimpulannya, redenominasi rupiah akan membuat mata uang kita naik kelas dari mata uang “sampah” nomor lima saat ini, menghindari salah penyebutan ribuan triliun, mempermudah perhitungan, serta menghemat kertas dan tinta. Tanpa redenominasi, seiring dengan penurunan nilai rupiah, ada keperluan uang kertas baru Rp200.000 yang setara 13,3 dollar AS dalam beberapa tahun ke depan.

Namun, pelaksanaannya butuh momentum yang tepat dengan mempertimbangkan stabilitas ekonomi, politik, hingga sosial terutama kesiapan masyarakat di daerah.

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/07/04/redenominasi-mendongkrak-gengsi-rupiah