PPIM FEB UI, Indonesia Marketing Club ‘Brand Activism: The Transformation of Business to an Economic-Social Institution?’

PPIM FEB UI, Indonesia Marketing Club ‘Brand Activism: The Transformation of Business to an Economic-Social Institution?

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (31/1/2024) Program Pascasarjana Ilmu Manajemen (PPIM), Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menggelar Indonesia Marketing Club dengan topik ‘Brand Activism: The Transformation of Business to an Economic-Social Institution?’ di Ruang 403 – 404, Gedung Pascasarjana FEB UI, pada Rabu (31/1). Acara menghadirkan Guru Besar FEB UI Prof. Adi Zakaria Afiff sebagai pembicara dan Prof. Dr. Rizal Edy Halim sebagai moderator.

Seiring dengan perubahan zaman, pemasaran merek tidak lagi hanya berkutat pada karakteristik kinerja. Positioning dalam pemasaran merek memang penting, tetapi kini tidak lagi cukup di pasar yang sangat kompetitif. Konsumen memiliki harapan tinggi terhadap merek. Mereka menginginkan agar merek tidak hanya peduli terhadap keuntungan, tetapi juga terhadap masyarakat yang dilayani dan dunia tempat kita tinggal.

Brand activism adalah sebuah keharusan baru bagi bisnis karena saat ini, lebih dari sebelumnya, pelanggan menuntut agar perusahaan melakukan hal yang benar. Berdasarkan Sarkar, C. & Kotler, P. (2020) dalam bukunya yang berjudul ‘Brand Activism. From Purpose to Action’ dari Idea Bite Press, brand activism mencakup upaya bisnis untuk mempromosikan, menghambat, atau mengarahkan reformasi atau keadaan stabil dalam aspek sosial, politik, ekonomi, dan/atau lingkungan, dengan keinginan untuk melakukan perbaikan dalam masyarakat. 

Prof. Adi menjelaskan, “Dari definisi tersebut sebagai titik awal, kita dapat membayangkan sebuah kerangka kerja yang memungkinkan bisnis mengembangkan strategi aktivis. Dengan demikian, bisnis harus dapat menemukan keseimbangan antara keuntungan dan kepedulian atau tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Ini tidak hanya mengikuti tren, tetapi tentang memahami dan menanggapi permasalahan paling mendesak yang dihadapi oleh masyarakat.”

The Body Shop, merupakan salah satu perusahaan yang terkenal secara terbuka menyuarakan nilai etika dan keyakinannya. Melalui komitmen global Enrich Not Exploit (It’s in our hand) yang terfokus pada pilar Enrich Our People, Enrich Our Products, dan Enrich Our Planet, merek ini membuat mengembangkan bisnisnya secara beretika dan landasan untuk menciptakan perubahan positif bagi kehidupan masyarakat.

Prof. Adi mengajak untuk melihat brand activism The Body Shop Indonesia yang menggunakan 500 lebih pasang sepatu untuk menggalang aspirasi dan memberikan dukungan terhadap perempuan Indonesia melalui aksi diam di depan Gedung DPR RI. Sepatu tersebut sebagai simbol langkah awal bersama memperjuangkan hak perempuan mewujudkan pengesahan RUU PKS untuk mencegah bertambahnya kasus kekerasan seksual serta memfasilitasi perlindungan dan rehabilitasi bagi korban.

“Brand activism adalah evolusi alami dari program Corporate Social Responsibility (CSR) serta Environment, Social and Governance (ESG) yang mentransformasi perusahaan di seluruh dunia. Namun, harus dijelaskan bahwa aktivisme tidak selalu bersifat progresif, bisa pula bersifat regresif,” ujarnya.

Menurut Prof. Adi, reaksi atau pandangan konsumen yang memandang merek sebagai sesuatu yang progresif atau regresif sangat terkait dengan kebaikan bersama dan nilai yang dianut. Merek yang dianggap regresif mungkin berakhir dengan brand shaming, yakni konsumen merasakan adanya kesenjangan nilai. Sementara itu, merek yang progresif akan berakhir pada brand evangelizing, konsumen akan begitu jatuh cinta dengan produk dan perusahaan, bahkan turut menyebarkan kabar baik tersebut pada setiap kesempatan.