Quo Vadis Indeks LQ 45 di Bursa Efek Indonesia
Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal UI
KONTAN – (12/2/2024) Setelah return dan risiko, aspek ketiga terpenting yang harus diperhatikan investor adalah likuiditas. Maka, otoritas bursa di mana pun sangat memperhatikan likuiditas.
Untuk tujuan ini, indeks 45 saham terlikuid atau LQ45 diluncurkan di bursa kita pada Februari 1997. Langkah ini sebagai sarana objektif dan terpercaya bagi analis keuangan, investor, dan pemerhati pasar modal dalam memonitor pergerakan harga saham yang aktif diperdagangkan.
Indeks LQ45 adalah indeks kedua setelah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). IHSG sendiri diperkenalkan pada 1 April 1983 dengan menggunakan hari dasar 10 Agustus 1982. Pada tanggal ini indeks dasar ditetapkan 100. Saat itu jumlah saham biasa dan saham preferen di bursa kita hanya 13, jauh dari 45 saham untuk membentuk indeks LQ45.
Emiten apa saja yang terpilih menjadi penghuni LQ45 dievaluasi setiap enam bulan. Pemilihan menggunakan parameter relevan dan terukur, seperti nilai transaksi, frekuensi transaksi, kapitalisasi pasar, fundamental, dan prospek pertumbuhan emiten. Masuk dalam LQ45 adalah kebanggaan emiten.
Investor institusi, terutama manajer investasi menggunakan indeks ini sebagai acuan pembentukan portofolio mereka. Adanya saham yang masuk dan keluar dalam LQ45 membuat mereka harus melakukan rebalancing portofolio. Investor dan publik percaya, ada penilaian objektif dan fair dalam penentuan saham-saham LQ45. Meskipun, apa saja lengkapnya, ukuran yang digunakan dan bobot masing-masing tidak pernah dibuka secara transparan.
Sejatinya ini tidak begitu bermasalah jika emiten-emiten baru di LQ45 tidak ada yang aneh. Publik akan menerima sepenuhnya. Jarang investor, emiten, dan media massa meragukan objektivitas pemilihan penghuni LQ45, sampai terjadinya keputusan ajaib akhir bulan lalu.
Masuknya PTMP sebagai penghuni baru LQ45 mulai Februari ini mengundang banyak pertanyaan walaupun bursa selalu mengatakan sudah memenuhi kriteria dan sesuai algoritma yang ada. Nilai transaksi harian emiten ini tidak begitu besar dan kapitalisasinya juga kecil, sangat jomplang dengan emiten-emiten yang digantikannya.
Melihat nilai transaksi enam bulan terakhir berdasarkan data RTI Business, PTMP mencatatkan angka Rp1,5 triliun atau Rp250 miliar per bulan atau sekitar Rp11 miliar per hari.
Bandingkan dengan TPIA yang dikeluarkan dari LQ45 dengan nilai transaksi Rp16,5 triliun atau Rp2,75 triliun per bulan atau Rp125 miliar per hari untuk periode yang sama. Dilihat dari kapitalisasi pasar juga timpang. PTMP hanya bernilai Rp704 miliar, sementara TPIA berkapitalisasi pasar Rp450 triliun, 640 kali lipat PTMP.
Tidak heran, pelaku pasar banyak yang mempertanyakan kebijakan BEI untuk penghuni baru LQ45. Mengingat banyak saham lain berfundamental dan likuiditas lebih baik darinya.
Selain kejanggalan LQ45 di atas, yang juga ramai di pasar adalah pengumuman saham baru dalam indeks High Dividend 20 atau HIDIV20 yang baru-baru ini mengalami rekonstitusi seperti LQ45. Tujuh saham baru masuk, yaitu BRPT, ICBP, INKP, KLBF, SMGR, TPIA, dan UNVR. Mereka menggantikan BJBR, BJTM, BNGA, BSSR, HEXA, HMSP, dan MPMX.
Di mata investor dan media massa, ini juga keputusan ajaib karena selama tiga tahun terakhir rata-rata rasio payout dividen BRPT, ICBP, dan INKP tidak ada yang lebih dari 25%. Sementara saham yang dikeluarkan mempunyai rasio payout jauh lebih tinggi yaitu BJBR dan BJTM 51%, BNGA 57%, BSSR 60%, HEXA 80%, HMSP 101%, dan MPMX 238%. Lebih membingungkan, TPIA dengan rasio payout minus juga masuk HIDIV20.
Dari yield dividen, ketujuh saham yang dikeluarkan memberi yield rata-rata 9,9% dari 6,2% hingga 13,4%. Bandingkan dengan yield dividen ICBP di angka 1,7%, INKP 0,6%, BRPT 0,2%, dan TPIA 0,1%. Investor pantas bertanya, apa kriteria masuk HIDIV20 yang diperkenalkan sejak 2018 ini. Mengapa saham dengan dividen rendah masuk, sementara yang royal dikeluarkan?
Sudah waktunya BEI menjelaskan bahkan membuka kriteria lengkap untuk masuk indeks LQ45 dan HIDIV20. Pelaku pasar menantikan dan berharap transparansi terkait dua indeks dari 40 lebih indeks yang ada di bursa saham. Sekedar penjelasan bahwa semua sudah berdasarkan algoritma baku tidak memenuhi harapan para pelaku pasar.
Soal ketidakwajaran kedua indeks di atas, KONTAN juga bersuara sama. Dua tajuknya dalam dua minggu terakhir mengangkat ini dengan judul Saham Belimbing Sayur dan Di Luar Nurul. Menarik untuk mengulang kembali apa yang dituliskan dalam tajuk kedua di atas pada Jumat lalu. “Sejumlah saham baru di indeks LQ45 dan HIDEV20 tidak masuk akal atau di luar nalar, sehingga membuat orang tak habis pikir.”
Kerisauan lain yang juga mencuat di banyak grup investor saham adalah tentang unusual market activity (UMA) dan suspensi. Investor ritel kerap mempertanyakan mengapa untuk saham yang mengalami kenaikan harga beruntun, BEI cepat memberikan kode khusus seperti UMA hingga suspensi. Stempel ini jelas membawa sentimen negatif buat emiten bersangkutan dan disinsentif bagi para pemegang sahamnya.
Tidak bisa disalahkan jika investor memandang kebijakan BEI kurang kondusif. Jinak terhadap saham yang berkinerja buruk, yang sahamnya turun drastis tetapi galak terhadap saham yang naik.
Pandangan ini tentu perlu diluruskan melalui penjelasan yang informatif dan transparan untuk meningkatkan kredibilitas bursa kita. Bagaimanapun juga, transparansi dan perlindungan investor merupakan marwah dari BEI.
Keterbukaan regulator dalam berdialog dengan publik dan para investor baik institusi maupun ritel akan memperkuat fungsi dan peranannya dalam memajukan pasar modal Indonesia.
Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 12 Februari 2024. Rubrik Bursa – Wake Up Call. Halaman 3.