GNAM Week MM FEB UI Day 3: Menjaga Keberlanjutan Bisnis Hijau dan Inovasi Keuangan Berkelanjutan
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
JAKARTA – (12/3/2025) – Perubahan iklim bukan lagi sekadar teori. Dampaknya semakin nyata dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk bisnis dan industri. Menyadari urgensi tersebut, Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) kembali menggelar Global Network for Advanced Management (GNAM) Week. Acara yang berlangsung dari Senin (10/3) hingga Jumat (14/3) ini menghadirkan para pemimpin industri untuk membahas strategi keberlanjutan dan transisi energi.
Pada hari ketiga, GNAM Week MM FEB UI menghadirkan dua narasumber terkemuka, yaitu Prof. Jatna Supriatna, Ph.D., Guru Besar di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, serta Yosephine Ajeng Sekar Putih, MBA., Senior Vice President PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Keduanya membahas isu keberlanjutan dari perspektif lingkungan dan keuangan.
Menjaga Masa Depan Bisnis Hijau dengan Keanekaragaman Hayati
Sebagai pakar zoologi dan biologi konservasi terkemuka di Indonesia, Prof. Jatna Supriatna menyampaikan seminar berjudul ‘Safeguarding the Next Generation of Green Businesses by Nurturing Biodiversity’. Prof. Jatna menyoroti pentingnya keanekaragaman hayati sebagai fondasi ketahanan ekonomi dan kehidupan manusia.
Indonesia, sebagai negara dengan keanekaragaman hayati luar biasa, memiliki tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Dengan 129 gunung berapi aktif dan gempa bumi yang sering terjadi, lanskap Indonesia terus berubah akibat faktor geologis. Selain itu, kenaikan permukaan air laut semakin mengancam daerah pesisir, menegaskan perlunya langkah konkret dalam upaya konservasi.
Dalam pemaparannya, Prof. Jatna menjelaskan bahwa keanekaragaman hayati bukan sekadar warisan alam, tetapi juga merupakan green gold atau aset ekonomi yang sangat bernilai. Tanpa ekosistem yang sehat, pertanian, industri farmasi, dan berbagai sektor ekonomi lainnya akan terancam. Sayangnya, ekspansi perkebunan kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan mempercepat laju deforestasi, yang berkontribusi pada hilangnya habitat serta peningkatan risiko wabah penyakit akibat berkurangnya keanekaragaman hayati.
Solusi yang diusulkan Prof. Jatna meliputi peningkatan konservasi, reforestasi, dan pengembangan bisnis berbasis kehutanan. Teknologi seperti kredit karbon dan jasa ekosistem air dapat dimanfaatkan untuk memastikan keberlanjutan lingkungan. Kolaborasi antara ilmuwan, ekonom, dan pembuat kebijakan sangat penting untuk menjaga keanekaragaman hayati Indonesia bagi generasi mendatang.
Peran BRI dalam Mendorong Keuangan Berkelanjutan
Dalam sesi kedua, Yosephine Ajeng Sekar Putih menyampaikan bahwa BRI telah mengadopsi standar keuangan berkelanjutan global dengan berfokus pada tiga pilar utama: strategi tata kelola, manajemen risiko, serta metrik dan target keberlanjutan.
BRI telah menerapkan uji ketahanan risiko iklim serta pendekatan Sectoral Decarbonization Approach (SDA) dan Temperature Ratings Approach (TRA) untuk memantau dan mengelola emisi karbon. Bank ini juga berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2050 dengan target jangka menengah pada 2030, selaras dengan inisiatif Science-Based Targets (SBTi).
Yosephine menambahkan bahwa sebagai bagian dari inovasi produk keuangan berkelanjutan, BRI telah menerbitkan beberapa tahap obligasi hijau (Green Bonds), termasuk fase Rp 2,5 triliun pada 2024 untuk mendukung proyek ramah lingkungan. Selain itu, BRI menawarkan Sustainability-Linked Loans (SLL) yang memberikan insentif kepada pelanggan untuk mencapai indikator kinerja keberlanjutan (KPI) tertentu. Pada 2024, BRI juga mengamankan pinjaman sosial sebesar 800 juta dolar AS untuk mendukung proyek kesejahteraan sosial di Indonesia.
Tak hanya berfokus pada produk keuangan, BRI juga telah mengambil langkah konkret dalam mengurangi jejak karbonnya. Misalnya, dengan memasang panel surya di 143 kantor cabangnya dan menggunakan kendaraan operasional ramah lingkungan. Digitalisasi layanan perbankan juga turut berkontribusi dalam mengurangi konsumsi sumber daya dan perjalanan fisik nasabah.
Sebagai pembeda dari institusi keuangan lainnya, BRI menitikberatkan pada pemberdayaan UMKM sebagai bagian dari strategi keberlanjutan. “Dengan pendekatan lokal yang dipadukan dengan manajemen risiko iklim dan inovasi produk keuangan, BRI menjadi salah satu pelopor dalam pembiayaan hijau di industri perbankan Indonesia,” demikian Yosephine menutup sesinya.
Hari ketiga GNAM Week MM FEB UI menjadi bukti bahwa keberlanjutan tidak hanya berbicara tentang konservasi lingkungan, tetapi juga inovasi keuangan yang mampu mendorong ekonomi hijau. Dengan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari akademisi hingga sektor keuangan, Indonesia memiliki peluang besar untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan pelestarian lingkungan demi masa depan yang lebih baik.




