Kuliah Tamu S-1 Manajemen Hubungan Industrial Bersama Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta: Penetapan Upah Minimum dan Praktiknya

Kuliah Tamu S-1 Manajemen Hubungan Industrial Bersama Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta: Penetapan Upah Minimum dan Praktiknya

 

Rifdah – Komunikasi FEB UI

Depok, 1 Desember 2025 — Program S-1 Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mengadakan Kuliah Tamu Hubungan Industrial bersama Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta Periode 2012-2025 Dedi Hartono, M.M., M.Pd. Kuliah berlangsung di Ruang B111, Kampus FEB UI Depok, pada Senin (1/12).

Kuliah ini membahas secara komprehensif perkembangan regulasi upah minimum di Indonesia, dinamika implementasi di lapangan, serta tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan sistem pengupahan yang adil dan berkelanjutan.

Dalam pemaparannya, Dedi memulai dengan menegaskan filosofi dasar upah minimum sebagai instrumen keadilan sosial yang berfungsi melindungi pekerja dari risiko ekonomi serta memastikan terpenuhinya kebutuhan hidup layak. Ia menelusuri perkembangan kebijakan pengupahan mulai dari era Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), beralih ke Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), hingga konsep modern Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang digunakan hingga saat ini. Perubahan tersebut menggambarkan pergeseran kebijakan dari pendekatan yang berfokus pada kebutuhan dasar menuju cakupan yang lebih luas dan kontekstual terhadap dinamika sosial ekonomi.

Selanjutnya, ia menjelaskan kerangka regulasi yang menjadi landasan penetapan upah minimum, mulai dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, UU Cipta Kerja, hingga PP Nomor 51 Tahun 2023 yang mengatur formula baru dalam penyesuaian UMP dan UMK. Formula tersebut mengintegrasikan variabel inflasi, pertumbuhan ekonomi daerah, serta indeks kontribusi tenaga kerja (alpha), sehingga menghasilkan kebijakan yang lebih berbasis data dan responsif terhadap kondisi ekonomi regional.

Kemudian, sesi berlanjut pada pemaparan data implementasi di DKI Jakarta. Ia mengatakan, “Berdasarkan hasil Monitoring dan Evaluasi (Monev) tahun 2024, tercatat 26,2% pekerja masih menerima upah di bawah UMP, dengan sektor pengangkutan, logistik, akomodasi, dan jasa lainnya menjadi sektor paling tidak patuh. Keterbatasan sumber daya pengawas serta kompleksitas pelaporan menjadi tantangan signifikan dalam memastikan kepatuhan perusahaan.”

Ia juga menyoroti pentingnya pelaksanaan Struktur dan Skala Upah (SUSU) sebagai instrumen pengupahan yang mendukung keadilan internal perusahaan. Namun, tingkat implementasinya masih rendah, di mana 30,2% perusahaan di DKI Jakarta belum menetapkan SUSU meskipun telah menjadi kewajiban. Padahal, menurut Dedi, SUSU tidak hanya memastikan transparansi jenjang karier, tetapi juga berdampak pada stabilitas tenaga kerja dan produktivitas perusahaan.

Pada bagian studi kasus, Dedi mengajukan contoh praktik baik dari PT Komatsu Indonesia yang telah menerapkan pengupahan di atas UMP untuk menarik talenta berkualitas dan meningkatkan loyalitas karyawan. Kebijakan tersebut dinilai mampu memperkuat citra perusahaan sekaligus meningkatkan kinerja dan efisiensi operasional.

Untuk memberikan perspektif global, Dedi turut memaparkan perbandingan sistem upah minimum di beberapa negara seperti Inggris, Malaysia, dan Mesir. Ia menjelaskan bahwa Indonesia menganut pendekatan regional dalam penetapan upah minimum, sedangkan negara lain memiliki model yang berbeda seperti sistem tarif per jam di Inggris atau pendekatan nasional di Mesir. Perbandingan ini menunjukkan adanya variasi pendekatan yang dipengaruhi oleh struktur ekonomi dan kebutuhan masing-masing negara.

Melalui kuliah ini, mahasiswa memperoleh pemahaman menyeluruh mengenai kompleksitas penetapan upah minimum, tantangan implementasi kebijakan, dan urgensi perbaikan tata kelola pengupahan. FEB UI berharap kegiatan ini memperkaya wawasan mahasiswa serta mendorong penelitian dan diskusi lebih lanjut mengenai kebijakan ketenagakerjaan, khususnya terkait peningkatan kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan usaha di Indonesia.