Webinar TERC LPEM FEB UI, “Pandemi COVID-19 dan Kebijakan Perpajakan Indonesia”
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – Tax Education and Research Center – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (TERC-LPEM), Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menyelenggarakan webinar berjudul ”Pandemi COVID-19 dan Kebijakan Perpajakan Indonesia: Tinjauan Tax Policy and Research” yang berlangsung pada Rabu (13/5/2020).
Pembicara pada webinar adalah Pande Putu Oka Kusumawardani, Direktur Center for State Revenue Policy Kemenkeu RI, Hestu Yoga Saksama, S.E., M.B.T., Direktur Penyuluhan, Pelayanan, Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, dan pembicara dari FEB UI adalah Yulianti Abbas, Ph.D., Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Akuntansi (PPIA), serta Vid Adrison, Ph.D., Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, dengan moderator Christine Tjen, S.E., Ak., M.Int.Tax, CA., Wakil Kepala Bidang Administrasi dan Keuangan LPEM FEB UI.
Dr. Beta Yulianita Gitaharie, Pj. Dekan FEB UI, dalam sambutannya mengatakan kebijakan pajak jangka pendek dan menengah merupakan suatu instrumen vital dalam memitigasi dampak ekonomi penanganan Covid-19, sebagai upaya dukungan pemulihan ekonomi. Saat ini, pemerintah dituntut untuk bekerja ekstra, tidak hanya dalam bentuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan, tetapi juga dapat mengkomunikasikan kepada publik. Peran universitas seperti FEB UI ini, diharapkan mampu mengkritisi/memberikan dukungan dalam penyusunan kebijakan yang didasarkan atas penelitian akademik sehingga meningkatkan kualitas kebijakan yang dikeluarkan oleh regulator.
Pande Putu Oka Kusumawardani, sebagai pembicara pertama, memaparkan sebelum Covid-19 ini mewabah, pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2020 diproyeksikan mencapai 5,3%. Namun, dengan adanya Covid-19, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terkoreksi ke tingkat 2,3% bila terjadi skenario berat atau bahkan -0,4% bila terjadi skenario sangat berat. Koreksi pertumbuhan ekonomi akan menimbulkan peningkatan pengangguran dan kemiskinan. Untuk itu diperlukan mitigasi dampak pada kesejahteraan masyarakat, dengan berbagai kebijakan yang bersifat extraordinary.
“Penanganan dari sisi demand dengan menjaga konsumsi, mendorong investasi, dan ekspor-impor. Kemudian, dari sisi supply, kita melakukan dukungan terhadap dunia usaha baik terhadap UMKM, BUMN, dan korporasi. Selanjutnya dari sisi perspektif APBN, dalam rangka memulihkan ekonomi, pemerintah melakukan upaya refocusing dan realokasi anggaran yang digunakan untuk penghematan sebesar Rp190 triliun dan realokasi belanja sebesar Rp55 triliun. Pemerintah kemudian mengeluarkan stimulus I sebesar Rp8,5 triliun untuk penguatan ekonomi domestik, stimulus II sebesar Rp22,5 triliun untuk kebijakan fiskal, dan stimulus III sebesar Rp405,1 triliun untuk penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional dan menjaga stabilitas keuangan,” ucap Pande Putu.
Lanjut Pande Putu, fokus kebijakan pendapatan negara untuk mendukung pemulihan ekonomi melalui insentif yang tepat dan peningkatan optimalisasi penerimaan, terbagi dua. Pertama yakni penerimaan perpajakan melalui insentif fiskal yang lebih tepat, melakukan relaksasi prosedur untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional, menyempurnakan peraturan perpajakan, mengoptimalkan penerimaan perpajakan melalui perluasan basis pajak, melakukan ekstensifikasi barang kena cukai, dan insentif untuk vokasi, litbang dan perlindungan masyarakat. Sedangkan kedua, penerimaan negara bukan pajak, untuk mengelola SDA secara optimal, meningkatkan kinerja BUMN, inovasi dan penyempurnaan kebijakan serta optimalisasi aset dengan penerapan Highest and Best Use, dan kinerja pelayanan Badan Layanan Umum.
Hestu Yoga Saksama, sebagai pembicara kedua, menyampaikan penerimaan pajak dalam masa pandemi Covid-19 mengalami perlambatan menjadi -0,4% sampai 2,3%. Dukungan pajak untuk penanganan Covid-19 diwujudkan dengan terbitnya PMK-28/PMK.03/2020 tentang Pembebasan Pajak Barang/Jasa, PMK-34/PMK.03/2020 tentang Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan. Selain itu, dukungan pajak untuk dukungan dan pemulihan dunia usaha diatur dalam PMK-23/PMK.03/2020 dan PMK-44/PMK.03/2020, Perpu-1/2020 tentang Penurunan Tarif PPh Badan dan Go-Public dan Pemajakan atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
“Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2020, Wajib Pajak Umum dan Wajib Pajak Laporan Keuangan Berkala, menggunakan tarif baru untuk masa pajak batas waktu penyampaian SPT Tahunan 2019,” ujar Hestu Yoga.
Yulianti Abbas, sebagai pembicara ketiga, mengatakan dampak bencana terhadap organisasi publik dan bagaimana organisasi publik bereaksi terhadap peristiwa ekstrem tergantung pada persepsi risiko. Bencana pandemi Covid-19 menyebabkan peningkatan signifikan dalam defisit anggaran, dan efek ini lebih besar di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. Kebijakan pajak memainkan peran penting dalam tanggapan langsung pemerintah untuk mendukung individu dan bisnis, mengurangi dampak bencana.
Menurut riset Chernick dan Haugwout (2006), setelah tragedi 9/11 di Amerika, bantuan federal jadi sangat penting untuk mendorong pemulihan cepat layanan vital, dengan mencegah kenaikan pajak yang tajam dan berinvestasi ulang di kota. Pengeluaran pajak tidak boleh terlalu terbatas, baik dalam dimensi waktu maupun geografi,” tutur Yulianti Abbas tentang kebijakan perpajakan pada saat bencana.
Vid Adrison, sebagai pembicara keempat, menambahkan bahwa dari sisi teori, tax incentives akan mengakibatkan marginal cost function bergeser ke kanan bawah. Masalahnya, bila Anda sebagai produsen melihat low demand karena orang masih takut beraktivitas, maka produsen akan mengurangi produksi akibat menurunannya permintaan.
“Dari sisi social safety net, bagi mereka yang tidak memiliki sumber daya/penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dasar, maka biaya tinggal di rumah akan meningkat, biaya kegiatan di luar akan turun. Jumlah transfer tunai yang cukup dapat meringankan biaya kebutuhan hidup selama di rumah saat masa pandemi Covid-19,” tutupnya. (hjtp)