Budi Frensidy: Valuasi di Era Pandemi
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK ā Senin (22/6/2020), Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB UI, Budi Frensidy merilis tulisannya yang dimuat koran Kontan, rubrik Bursa ā Wake Up Call, halaman 3, yang berjudul āValuasi di Era Pandemiā. Berikut artikelnya.
āValuasi di Era Pandemiā
Prinsip dasar investasi untuk semua aset sejatinya sama yaitu membandingkan nilai dan harga. Nilai adalah what we get atau worth, sementara harga what we pay atau cost. Prinsip ini berlaku universal untuk siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Masalahnya, tidak seperti harga yang ada di depan kita, nilai (disebut nilai intrinsik atau harga wajar di buku teks) bersifat unobservable dan harus dihitung, tepatnya diestimasi.
Untuk saham, kita mengestimasi nilainya baik relatif maupun absolut dan kemudian membandingkannya dengan rasio atau harga di pasar. Untuk memperoleh nilai relatif, kita mengenal metode kelipatan harga price-earnings ratio (PER) yang paling populer, PBV, dan EV/EBITDA. Kita membandingkan PER (atau rasio lainnya) yang wajar (justified) dari sebuah saham dengan PER aktualnya. PER wajar dapat diambil dari rata-rata industri di dalam negeri atau lintas negara atau diturunkan dari persamaan Gordon (P0 = D1 / (kāg)) kemudian dibagi EPS. Dengan kata lain, PER = P0/EPS = (D1/EPS) / (kāg) atau rasio payout dividen dibagi dengan (kāg).
Investor tentunya mencari saham yang PER aktualnya di bawah PER wajarnya dan menjual saham yang PER aktualnya sudah di atas rasio wajarnya. Pendekatan ini mempunyai kelemahan karena hanya menggunakan EPS dari satu periode, bisa periode lalu (trailing) atau akan datang (forward). Selain itu, penggunaan PER rata-rata juga mengasumsikan semua emiten mempunyai rasio payout, risiko yang dicerminkan dengan tingkat diskonto (k), dan tingkat pertumbuhan (g) yang sama. Jika satu dari tiga variabel ini tidak sama, maka PER wajar satu saham juga akan berbeda dengan saham lainnya walaupun dalam industri yang sama.
Menggunakan trailing PER berdasarkan laporan keuangan 2019 atau triwulan 1, 2020 yang disetahunkan (dikali empat), kita akan temukan banyak PER aktual yang lebih rendah dari PER wajarnya karena harga saham saat ini umumnya sudah turun banyak, sementara EPS tahun 2019 dan 2020 hingga Maret masih normal alias belum diberlakukan PSBB. Apakah ini berarti saham-saham tersebut murah? Belum tentu. Angka yang didapat akan berubah jika kita menggunakan forward PER yaitu PER berdasarkan proyeksi EPS tahun ini.
Kita ketahui bersama hampir semua sektor terdampak virus Covid-19. Lebih mudah mencari industri yang tidak terkena daripada yang terpengaruh yaitu telekomunikasi, consumer goods & groceries, e-commerce, dan farmasi. Permintaan untuk produk sektor-sektor ini tidak berkurang, sementara penawarannya juga relatif tidak terkendala kecuali untuk industri farmasi yang ternyata 90% bahan bakunya impor dan terjadi persaingan sengit antarnegara untuk mendapatkannya.
Untuk sebagian besar sektor lainnya, EPS tahun ini akan 20%-40% di bawah tahun lalu. Ini akan membuat PER aktual naik 25% hingga 67% yaitu 1/80% hingga 1/60% yang membuat saham-saham itu relatif tidak bisa dikatakan murah. Beberapa emiten bahkan akan mengalami penurunan lebih dari 40% seperti penerbangan, hotel, tempat wisata, tempat hiburan, dan tour & travel.
Hasil yang serupa akan kita dapatkan jika kita menghitung nilai absolut. Ada tiga metode yang biasa digunakan untuk ini yaitu berbasis akuntansi (model residual income), berbasis arus kas, dan berbasis aset (model replacement cost). Model yang paling sering digunakan adalah pendiskontoan arus kas, mulai dari dividen yang sederhana hingga FCFF (arus kas bersih perusahaan) dan FCFE (arus kas bersih ekuitas) yang lebih rumit. Model pendiskontoan dividen akan memberikan hasil yang sama persis seperti metode PER di atas.
Kesamaan model pendiskontoan dividen, FCFF, dan FCFE adalah ketiganya tergantung pada empat variabel utama yaitu besar, waktu, ketidakpastian, dan tingkat pertumbuhan arus kas di tahun-tahun mendatang. Mari kita analisis satu per satu.
Untuk besar arus kas perusahaan dan waktunya, dapat dipastikan tahun ini akan turun dan berlanjut ke tahun depan. Baru pada tahun 2022 atau paling lambat 2023 kondisi arus kas akan normal seperti sebelumnya. Ini sejalan dengan asumsi defisit APBN yang dilebarkan lebih dari 3% PDB untuk tahun 2020-2022.
Untuk variabel ketidakpastian yang mencerminkan risiko yang dihadapi, semua sepakat jika ketidakpastian meningkat dan masih tinggi selama belum ditemukannya obat atau vaksin untuk virus Covid-19. Ini akan menaikkan tingkat diskonto sehingga valuasi akan turun. Pendekatan behavioral terhadap asset pricing bahkan menganjurkan investor menambahkan satu proksi untuk sentimen pasar terhadap tingkat diskonto berdasarkan CAPM. Ini berimplikasi sama yaitu kenaikan tingkat diskonto.
Untuk faktor terakhir yaitu tingkat pertumbuhan, sebagian besar korporasi akan mengalami kontraksi penjualan dan laba bersih untuk tahun ini dan tahun depan. Kondisi perekonomian normal seperti sebelum pandemi mungkin baru terjadi di tahun 2022 atau bahkan 2023. Itu pun untuk mereka yang dapat survive melalui dua tahun sangat sulit, 2020 dan 2021. Karenanya, sudah sewajarnya jika dilakukan impairment (penurunan nilai perusahaan) terhadap beberapa sektor yang paling terdampak. Mengingat IHSG adalah leading indicator dari perekonomian, maka indeks akan bergerak naik signifikan sebelum 2022, mungkin di medio 2021.
Itulah poin-poin yang saya presentasikan sebagai salah seorang panelis dalam joint webinar dari ACCA-IAI-AFA dengan tema Valuation and Impairment Consideration Post Covid-19 Era tanggal 11 Juni 2020 lalu yang diikuti sekitar 200 akuntan dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Kesimpulannya, karena rendahnya valuasi sebagian besar korporasi saat ini, IHSG masih memerlukan waktu 1,5 hingga 2 tahun untuk kembali ke angka awal tahun ini di 6.300. Semoga kita dan seluruh emiten di BEI dapat survive melalui pandemi ini. Salam sehat selalu. (hjtp)
Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 22 Juni 2020. Rubrik Bursa ā Wake Up Call. Halaman 3.