Rektor UI, “UU Cipta Kerja Antara Harapan dan Tantangan, Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Menuju Daya Saing Global”
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – (5/11/2020) Rektor Universitas Indonesia, Profesor Ari Kuncoro, memaparkan bahwa kondisi di Indonesia selama ini adalah regulasi yang ruwet, perizinan berbelit-belit, mahalnya biaya investasi, dan waktu tunggu yang lama akibat ketidakpastian. Hal tersebut, seperti ekonomi rente, dengan waktu izin tidak jelas kapan bisa diperoleh, maka ada saja yang bersedia membayar pungutan untuk memotong jalur birokrasi. Dalam praktiknya, karena birokrasi memegang monopoli atas pembuatan peraturan, regulasi dapat dikustomisasi, dipersulit, dibuat lebih lama untuk menarik rente, bukan untuk melakukan pengawasan. Dasar inilah yang ingin dibereskan atau diperbaiki dengan diberlakukannya kebijakan UU Cipta Kerja.
“Dengan adanya UU Cipta Kerja, kita bisa tumbuh lebih cepat untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Perhitungan kasar menunjukkan, untuk tumbuh dalam kisaran 5,3 sampai 5,5 persen saja diperlukan pertumbuhan investasi antara 8 sampai 9 persen. Berdasarkan laporan Global Competitiveness Report 2019, yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, peringkat daya saing Indonesia turun dari posisi 45 ke 50. Namun, tetap lebih tinggi dari Filipina (64), Vietnam (67), India (68), dan Laos (113), akan tetapi di bawah Malaysia (27) dan Thailand (40),” jelas Ari dalam Webinar Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Malang (Unisma) bersama Forum Rektor Indonesia (FRI), dengan topik “UU Cipta Kerja Antara Harapan dan Tantangan, Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Menuju Daya Saing Global” pada Kamis (5/11/2020).
Menurut Ari, indikator daya saing kita selama ini yang masih kurang dan harus diperbaiki, yakni prosedur perizinan yang berbelit-belit, tercermin dari waktu untuk memulai bisnis yang menduduki peringkat ke-103, biaya untuk memulai usaha mendapat peringkat ke-67. Sementara indikator kesehatan menempati peringkat ke-96 dari 114 negara, terutama karena angka harapan hidup menempati posisi ke-95, dan tingkat pendidikan tenaga kerja yang sebagian besar masih pada tingkat SD, mendapatkan peringkat ke-92 untuk lama sekolah.
Lanjut Ari, berita baiknya, kecakapan tenaga kerja sekarang masih menduduki peringkat ke-36 walaupun skornya cenderung menurun karena kemampuan digital yang masih rendah. Pasar tenaga kerja mendapatkan penilaian rendah karena terlalu kaku, sehingga hanya menempati posisi ke-119, dan kelemahan mendasar kemampuan inovasi yang menempati ke-74 ditambah dengan penelitian dan pengembangan atau R&D peringkat 83.
Sebenarnya potensi Indonesia untuk menjadi negara berpendapatan besar bisa diperbaiki, agar tidak mengalami stagnasi sehingga kita hanya menjadi pasar saja bagi industri karena lebih cepat mengimpor daripada berproduksi. Produk-produk kita di lapangan hanya sedikit yang bisa masuk ke negara lain. Bagi pemodal, ketika kondisi di lapangan tidak kondusif untuk melakukan komitmen jangka panjang seperti mendirikan pabrik, regulasi tumpang tindih, membuat mereka enggan berinvestasi. Lewat UU ini, peluang invenstasi tak hanya buat orang asing tapi juga untuk orang kita. “Contohnya, jika ada usaha otomatif, maka UMKM bisa bergerak untuk mendukung itu misalkan usaha mur. Jika dipenuhi di dalam negeri, maka tidak perlu impor karena sudah ada,” ungkap Ari.
“Dengan demikian, UU Cipta Kerja diharapkan bisa menyiapkan SDM berdaya saing global dan menyejahterakan rakyat dengan banyaknya kesempatan kerja dan lapangan pekerjaan baru, serta mengurangi angka kemiskinan dan tingkat pengangguran. Mengingat, angka kemiskinan kita terus bertambah, bila tanpa intervensi bisa mencapai 10,63% yakni naik sekitar hampir 4 juta orang dari 24 juta kemiskinan ke 28 juta. Dengan intervensi bisa kita tekan jadi 9,7% – 10,2% atau ditekan 2 juta. Pada 2020, tingkat pengangguran bertambah 4 juta – 5,5 juta. Kalau pandemi berkelanjutan, dikhawatirkan tahun 2021 angka pengangguran mencapai 10,7 juta – 12,7 juta,” demikian Ari menutup sesinya. (hjtp)