Riset Tunjukkan Desain Kota yang Salah Bisa Renggangkan Hubungan Sosial Masyarakat
Oleh: Dr. Irfani Fithria Ummul Muzayanah dan Dr. Djoni Hartono
theconversation.com | (8/2/2021) – Di Indonesia, semakin padat kota tersebut, maka semakin kecil kemungkinan masyarakat saling mengenal, bahkan tetangganya sekalipun.
Hasil riset terbaru kami menunjukkan bahwa desain kota memiliki faktor yang menentukan erat tidaknya hubungan relasi antartetangga.
Penelitian kami pada 14 kota metropolitan yang tersebar di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Jawa menggunakan data tahun 2014 menunjukkan bahwa desain-desain di kota-kota tersebut justru menciptakan hubungan sosial yang longgar.
Fenomena ini penting karena menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 55,8% populasi Indonesia tinggal di perkotaan atau sekitar 150 juta jiwa pada 2019. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat dan Bank Dunia memprediksi pada 2025 mencapai 68% dari total populasi.
Apa Penyebabnya?
Riset kami menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan data bentuk perkotaan yang diolah melalui ArcGis, paket peranti lunak dari sistem informasi geografis.
Melalui piranti tersebut, kami memperoleh data terkait kepadatan persimpangan jalan dan kepadatan jumlah fasilitas lokal.
Dari hasil studi, kami melihat bahwa desain suatu kota akan mempengaruhi bagaimana orang di dalamnya saling berinteraksi. Kami melihat bahwa desain-desain dalam fasilitas publik dan infrastruktur di Indonesia tidak memfasilitasi terjadinya interaksi sosial sehingga berimplikasi pada potensi munculnya krisis sosial. Hal ini biasanya terjadi ketika ikatan hubungan semakin renggang di masyarakat.
1. Konektivitas
Kemajuan infrastruktur jalan raya ironinya justru membuat interaksi sosial semakin lemah. Semakin banyaknya jalan raya mendorong tumbuhnya penggunaan kendaraan pribadi yang semakin membuat jalan macet.
Data BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia sekitar 9% hingga 2018. Banyak ahli melihat bahwa tingginya pertambahan ini ini menyebabkan kemacetan karena tidak diiringi oleh penyediaan infrastruktur, terutama integrasi transportasi publik yang kurang memadai dari pemerintah.
Akibatnya, orang lebih banyak menghabiskan waktunya di jalan, terjebak dalam kemacetan di kendaraan pribadi mereka masing-masing sehingga mengurangi waktu mereka untuk berinteraksi dalam kegiatan atau pertemuan sosial.
2. Fasilitas bangunan
Berbagai bangunan yang telah menyediakan berbagai fasilitas publik, seperti pusat ritel atau komersial, ternyata tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan modal sosial bagi masyarakat guna berinteraksi khususnya di wilayah kota metropolitan.
Hal itu karena ketersediaan ruang publik yang ada kurang mementingkan faktor kualitas dan estetika ruang publik.
Banyak taman-taman kota yang tidak terawat dan terbengkalai. Penerangan jalanan yang tidak memadai dan juga tembok-tembok penuh dengan grafiti dan tempelan poster serta berbagai iklan merupakan kondisi yang umum ditemui dan membuat masyarakat menjadi tidak nyaman untuk menggunakannya.
Sementara, bentuk arsitektur atau visualiasi yang baik pada suatu tempat akan mempengaruhi psikologis seseorang untuk membentuk persepsi dan memberikan efek yang positif.
Ruang publik yang didesain dengan menarik, jalanan yang aman dari tindak kriminalitas, taman-taman kota yang indah dan tembok-tembok yang bebas dari grafiti akan meninggalkan kesan yang positif dan membuat betah para penggunanya. Sehingga mereka akan lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang publik, bertemu dengan banyak orang yang pada akhirnya akan menciptakan terjadinya interaksi sosial.
Apa yang harus dilakukan
Aktivis tata kota dari Amerika bernama Jane Jacobs pada 1961 lewat bukunya berjudul The Death and Life of Great American Cities memperkenalkan paradigma new urbanism atau urban baru.
Konsep ini menjelaskan bahwa pembangunan kota yang memiliki populasi yang padat bila dilengkapi dengan beragam bangunan publik, konektivitas jalan yang tinggi, dan berorientasi pada pejalan kaki, maka bisa mendorong terciptanya modal sosial yang tinggi.
Logikanya bila suatu kota padat, artinya orang akan tinggal berdekatan satu sama lain, sehingga peluang untuk sering bertemu akan lebih besar dan memungkinkan terjadinya interaksi yang bersifat spontan meski hanya menyapa atau melakukan percakapan singkat.
Oleh karena itu penting bagi pembuat kebijakan untuk membuat perencanaan kota yang mampu merawat modal sosial yang ada di masyarakat. Salah satunya adalah dengan mengutamakan keberadaan ruang publik.
Ruang publik penting sebagai tempat yang digunakan oleh masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas dan pertemuan baik yang sifatnya formal ataupun kasual.
Pemerintah bisa menambah ketersediaan ruang publik yang berkualitas dan memiliki unsur estetika.
Dalam konteks pembangunan perkotaan di Indonesia, pembangunan ruang publik tidak hanya terbatas pada jumlahnya tapi juga kualitas dan estetikanya. Sebab, jika ruang publik yang diciptakan tidak menarik bagi masyarakat bisa saja mereka tidak ingin menggunakannya.
Taman kota yang tampak sejuk dengan pepohonan hijau dan bunga yang berwarna-warni, dilengkapi dengan pelengkap jalan yang memadai, desain trotoar yang menarik kemudian bebas dari pedagang kaki lima, dan dilengkapi kolam dengan air mancur yang bergemericik atau taman bermain anak dengan tema yang menarik bisa menjadi beberapa contoh dalam menciptakan kenyamanan di ruang publik.
Oleh karena itu, kualitas dan estetika ruang publik tersebut menjadi faktor penting yang perlu pemerintah perhatikan dalam mendesain kota.