Kritik Menyelamatkan Pembangunan
Oleh: Muhamad Chatib Basri, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Daun kuning kemerahan berserakan di sepanjang jalan. Sinar matahari yang hangat tak mampu mengusir angin dingin yang menusuk. Siang itu musim gugur di Cambridge.
KOMPAS â (2/12/2021) Saya tiba di Harvest, sebuah rumah makan Amerika kontemporer di kawasan Harvard Square, sebelum pukul satu. Tak lama kemudian, seorang lelaki India tua, dengan jalan agak tertatih, tiba. Rambutnya putih keperakan, kemeja putihnya tertutup sweater dan jas musim dingin warna gelap.
Pelayan menyambutnya, dan mengantarnya ke tempat saya duduk. Amartya Sen, nama lelaki itu, peraih Nobel Ekonomi 1998. Di siang yang cerah itu, kami berjanji untuk makan siang berdua. Sen memang memesona. Ia ramah. Obrolannya begitu kaya, mengalir mulai dari makanan, novel, filsafat, ekonomi, politik, sampai soal kebudayaan.
Dengan lirih, ia berkilas balik tentang sebuah kejadian pada masa kecilnya. Peristiwa yang memengaruhi cara pandangnya terhadap pembangunan. Di siang yang penuh konflik antara umat Hindu dan Islam, Senâsaat itu berumur 10 tahunâbermain di pekarangan rumahnya di Dhaka. Tak jelas benar asal-muasalnya, tiba-tiba seorang lelaki masuk dengan rintih kesakitan. Darah mengalir. Di punggungnya menancap sebilah pisau. Lelaki itu bernama Kader Mia, seorang buruh yang miskin.
Ayah Sen kemudian membawanya ke rumah sakit. Malang buat Mia, ia harus melepas nyawanya. Pada hari yang naas itu, Mia pergi bekerja untuk mencari uang. Istrinya telah mengingatkan untuk tak pergi ke daerah yang rusuh itu. Namun, Mia tak punya pilihan. Keluarganya harus makan. Kemiskinannya harus dibayar dengan kematian. Tragis.
Pembangunan inklusif
Saya teringat percakapan dengan Sen, beberapa tahun lalu itu, ketika membahas pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Pemulihan ekonomi pascapandemi menuntut pembangunan yang semakin inklusif. Mengapa? Ada soal besar menanti: ketimpangan pendapatan, risiko memburuknya kualitas modal manusia (pendidikan dan kesehatan), dan ketimpangan jender.
Perekonomian memang berangsur membaik, tetapi ada risiko pemulihan yang timpang. Ada yang naik dan ada yang turun seperti huruf K (K-shape recovery). Perusahaan di bidang teknologi digital, kesehatan, atau mereka yang memiliki tabungan, unggul. Namun, UMKM, pekerja sektor informal, mereka yang tak punya tabungan, terpuruk.
Data dari Survei Konsumen Bank Indonesia menunjukkan, penurunan porsi tabungan terhadap total pendapatan yang paling dalam terjadi pada kelompok pengeluaran Rp 3 juta ke bawah. Sebaliknya, tabungan untuk kelompok menengah atas (pengeluaran Rp 5 juta ke atas) justru meningkat (September 2020-Oktober 2021).
Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan pertumbuhan dana pihak ketiga tertinggi terjadi pada kelompok tabungan Rp 5 miliar ke atas. Kelompok kelas menengah atas mampu bertahan karena punya tabungan dan memiliki akses digital. Di sisi lain, kesejahteraan kelas menengah bawah berisiko menurun akibat tabungan yang terkuras dan terbatasnya akses digital.
Kita juga mencatat, walaupun sudah mulai dibuka, sekolah belum penuh. Tak hanya itu, studi Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk beberapa negara ASEAN menunjukkan, sekitar 27 persen dari anak-anak tak dapat mengikuti sekolah secara daring karena infrastruktur internet tak memadai. Ada risiko kualitas pendidikan menurun.
Isu kesehatan juga mengemuka. Covid-19 adalah contoh lengkap bagaimana kesehatan merupakan modal yang amat penting. Ketika kesehatan terganggu karena pandemi, ekonomi limbung.
Covid-19 datang dengan pesan: investasi dalam kesehatan masyarakat, terutama yang rentan, adalah faktor amat penting. Kita juga belajar, pandemi membawa dampak buruk yang lebih dalam bagi kaum perempuan karena banyak dari mereka bekerja di sektor informal. McKinsey (2020) menunjukkan, lebih dari separuh yang kehilangan pekerjaan di dunia adalah perempuan.
Pandemi meninggalkan luka bagi kesejahteraan kelompok rentan. Itu sebabnya, pembangunan pascapandemi harus bersifat inklusif. Harus memberi akses untuk masyarakat luas. Ini hanya bisa terwujud jika ia tak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pembangunan institusi, termasuk akses kesehatan, pendidikan, kesetaraan jender. Ini membutuhkan institusi hukum dan bekerjanya demokrasi. Apa yang diartikulasikan Amartya Sen menjadi sangat penting.
Menurut Sen, konsep well being (kesejahteraan) harus dilihat dalam konteks kapabilitas (capabilities) seseorang untuk jadi sesuatu (being), atau melakukan sesuatu yang diinginkan (doing). Beings dan doings inilahâSen menyebutnya achieved functionings (fungsi yang bisa dicapai)âyang membuat hidup bernilai. Contohnya, bekerja, menjadi melek huruf, menjadi sehat, menjadi dihormati, dan sebagainya (Robeyns, 2003).
Achieved functionings fokus pada apa yang dicapai (actual achievement). Sementara kapabilitas melihat kebebasan untuk mencapai itu (freedom to achieve). Di sini peran kebebasan jadi penting.
Mudahnya begini. Tengok orang yang berpuasa. Ada kesamaan antara orang yang berpuasa dan yang kelaparan karena miskin: sama-sama tak mengonsumsi makanan. Namun, ada beda tajam di antara keduanya. Mereka yang berpuasa sebenarnya memiliki kebebasan (freedom to achieve) untuk makan, tetapi memilih berpuasa. Sementara mereka yang kelaparan tak memiliki kebebasan untuk makan. Orang yang berpuasa memiliki ruang kapabilitas lebih besar dibandingkan yang kelaparan.
Kemiskinan pun perlu dipandang dalam konsep ini. Orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatuâkarena ruang kapabilitasnya kecilâbukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Dengan logika ini, kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, melainkan karena aktivitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut. Di sini elemen kebebasan menjadi penting. Jika orang dibatasi hak politiknya, dibungkam, terbatas aksesnya untuk pendidikan, kesehatan, maka ruang kapabilitasnya menjadi kecil. Menjadi terbatas. Ia tak bisa mengembangkan dirinya. Itu sebabnya, Sen melihat pentingnya kebebasan dalam pembangunan.
Dengan ini, Sen memperluas dimensi pembangunan, di mana peran aspek ekonomi, sosial, dan politik menjadi seimbang. Kita tahu, dalam perspektif yang lebih sempit, pembangunan kerap dititikberatkan pada kepentingan ekonomi. Demi kepentingan ekonomi, aspek sosial politik dimarjinalkan, represi dibenarkan, kritik dibungkam atas nama pembangunan. Orde Baru di Indonesia, atau pemerintahan Chile di bawah Pinochet, adalah contoh bagaimana represi dibenarkan demi kepentingan pembangunan ekonomi. Kita tak boleh mengulang kesalahan ini lagi.
Saya ingat Sen memuji Indonesia karena memilih jalan demokrasi. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam sektor keuangan, di mana kredit diberikan tanpa analisis risiko yang benar, telah membuat sektor perbankan di Indonesia rapuh ketika krisis keuangan Asia 1997 menghantam. Krisis perbankan bisa dihindari, jika kritik dimungkinkan, sehingga ada tuntutan untuk transparansi, dan institusi yang baik. Namun, di sistem otoriter, kritik dianggap musuh, dianggap makar. Akibatnya, kebijakan yang salah tak bisa dikoreksi.
Sen melanjutkan diskusi kami dengan membahas entitlement (hak). Ia mencontohkan masalah kurang pangan (famine). Lewat buku Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation, ia menjawab bahaya dari suatu hal yang disebutnya âOptimisme Malthusianâ. Malthus mengatakan, kelaparan akan terjadi jika jumlah makanan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk. Karena itu, indikator produksi pangan per kapita menjadi sangat penting.
Namun, studi Sen menunjukkan, dalam kasus Bengal tahun 1943, kurang pangan justru terjadi ketika jumlah produksi pangan per kapita meningkat, seperti juga yang terjadi di China tahun 1958-1961. Sen menunjukkan, soalnya bukan pada jumlah produksi pangan per kapita, melainkan pada akses terhadap makanan itu sendiri. Kelaparan adalah kondisi di mana orang tidak bisa memiliki makanan dan bukan hanya tidak adanya makanan. Peningkatan produksi pangan tak menyelesaikan masalah jika akses pangan tak tersedia.
Pembangunan institusi
Dalam kasus China di era Great Leap Forward, misalnya, sistem pemerintah yang otoriter turut bertanggung jawab atas meninggalnya jutaan orang. Alasannya, kritik terhadap kesalahan kebijakan pemerintah dalam hal pangan menjadi muskil dalam sistem otoriter. Dari sana kita belajar mengenai pentingnya kebebasan dan demokrasi dalam pembangunan. Keduanya dapat mencegah terjadinya petaka politik dan ekonomi yang lebih buruk.
Amartya Sen mungkin benar. Namun, hubungan antara demokrasi dan pertumbuhan ekonomi tak selalu seiring. Saya tanyakan pandangannya. Ia berhenti sebentar, meneguk minumannya, lalu dengan antusias bicara, âWalau tak ada hubungan yang pasti antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi, sejarah menunjukkan, kelaparan yang dahsyat tak pernah terjadi di negara merdeka, demokratis, dan memiliki pers yang bebas.â Kalau toh terjadi, kritik memungkinkan masalah itu bisa diatasi segera, dan dampaknya terbatas.
Ia benar. Saya jadi teringat kasus kelaparan yang pernah terjadi di Yahukimo, Papua, tahun 2005. Laporan media dan kritik membuat pemerintah bertindak cepat. Masalah itu segera bisa diatasi sebelum meluas. Acemoglu, Naidu, Restrepo, dan Robinson (2019) juga menunjukkan demokrasi memiliki dampak positif pada pendapatan per kapita, investasi, perbaikan pelayanan publik, dan menurunkan keresahan sosial.
Tak cukup bukti bahwa demokrasi menghambat pertumbuhan ekonomi negara berkembang. Sen benar. Betapa pentingnya demokrasi. Saya ingat, ia lalu bicara tentang India. Kritiknya terhadap pemerintahan Modi, dan kekhawatirannya pada politik identitas.
Pembangunan institusi dan hak politik tak memikat pada saat ekonomi baik. Namun, ia jadi penting dalam kesulitan sosial dan ekonomi. Itu sebabnya, pembangunan harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, termasuk hak sosial dan politik. Ia harus inklusif. Pemulihan ekonomi pascapandemi menuntut ini.
Sejarah mengajarkan, perbaikan ekonomi membutuhkan pembangunan institusi seperti reformasi birokrasi, perbaikan pelayanan publik, tata kelola pemerintahan, kepastian hukum, memerangi korupsi, dan menjaga lingkungan hidup. Tengok kasus Indonesia: orientasi kepada pembangunan ekonomi yang tak diikuti pembangunan institusi telah mendorong maraknya KKN.
Ibarat sebuah rumah kartu yang rapuh, ekonomi Indonesia ambruk pada tahun 1998. Soeharto jatuh. Kita memulai apa yang namanya reformasi. Tak selalu memuaskan. Mungkin membuat kita tak sabar, tapi ia dibutuhkan. Acemoglu dan Robinson (2012) menunjukkan institusi yang ekstraktif, di mana keputusan dikuasai oleh oligarki membawa kepada keruntuhan ekonomi. Itu sebabnya, pembangunan institusi menjadi penting. Demokrasi mungkin gaduh, mungkin menyebalkan, tetapi ia menjaga pembangunan jadi berkesinambungan.
Waktu menunjukkan hampir pukul tiga, Sen meminta tagihan makanan. Ia melarang saya membayarnya. Saya terkejut, dan sangat tersanjung dengan keramahannya. Kami berpisah. Amartya Sen berjalan kaki ke Brattle Street dan saya kembali ke kantor saya di Mount Auburn Street. Angin dingin, daun kemerahan yang berguguran, menemani langkah saya. Cambridge memang punya pesona yang kuat di musim gugur.
Tiba-tiba saya ingat apa yang ditulis budayawan Goenawan Mohamad: âKapasitas manusia untuk berbuat adil menyebabkan demokrasi mungkin; kapasitas manusia untuk sewenang-wenang menyebabkan demokrasi perlu.â
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Kamis, 2 Desember 2021. Rubrik Opini. Halaman 6.