Budi Frensidy: Apa yang Salah dengan Strategi Short Selling?

Apa yang Salah dengan Strategi Short Selling?

Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Guru Besar FEB UI

 

KONTAN (08/07/2024) – Salah satu strategi investor memperoleh return tinggi adalah menggunakan fasilitas margin atau berutang kepada perusahaan sekuritas mereka. Tujuannya agar dapat membeli lebih banyak saham.

Pastinya, risiko juga tinggi mengikuti return yang dijanjikan. Menggunakan margin akan menguntungkan saat pasar bullish dan merugikan saat pasar mengalami tren turun seperti Mei-Juni lalu.

Strategi investor agar tetap cuan kala pasar bearish adalah short selling. Namun, dibandingkan memanfaatkan margin, melakukan short selling lebih berisiko.

Dengan short selling, investor menjual saham yang tidak mereka miliki, dengan harapan harga saham itu akan turun. Pembeli saham tetap akan memperoleh saham yang mereka beli. Short seller meminjam saham milik investor lain di perusahaan sekuritasnya.

Jika saham itu membagikan dividen, pemilik dari saham yang dipinjamkan itu tidak akan mendapatkan dividen dari emiten. Short seller yang harus membayarkan dividen itu untuknya. Dengan kata lain, short seller sebenarnya berutang saham untuk dibayarkan beberapa waktu kemudian ketika harganya sudah turun sesuai prediksinya.

Hanya untuk aset keuangan tepatnya efek pasar modal, short selling dapat dilakukan. Mengingat sifatnya yang fungible alias dapat dipertukarkan satu sama lain dengan mudah. Untuk aset riil, apakah itu rumah, mobil, atau lainnya, kita tidak mungkin menjual dulu baru beli kemudian karena tidak fungible.

Short selling berisiko sangat tinggi karena potensi untung dan ruginya tidak seimbang. Harga saham tidak bisa negatif, sehingga keuntungan maksimal per saham dari short selling adalah sebesar harga jualnya. Sebaliknya, harga saham bisa naik ratusan persen. Sehingga potensi rugi investor juga tidak terbatas.

Short seller mempunyai reputasi kurang baik di kalangan pelaku pasar modal sejak Depresi Besar tahun 1929. Mereka dicurigai memiliki dorongan dan insentif besar untuk menjatuhkan harga saham. Short seller sering dituduh menyebarkan rumor palsu untuk kepentingannya. Implikasinya, mereka jadi kambing hitam ketika pasar saham jatuh.

Short seller dituding sebagai biang keladi crash tahun 1987, runtuhnya saham-saham dotcom tahun 2000, dan rontoknya saham-saham lembaga keuangan di Amerika tahun 2008. Tidak mengherankan jika transaksi short selling selalu dipandang penuh curiga oleh pengawas pasar modal dan otoritas bursa di mana-mana.

Tidak sedikit bursa saham yang melarang short selling. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah menyatakan short selling dan fasilitas margin tidak memenuhi prinsip syariah.

Berbeda dengan fasilitas margin yang marak ditawarkan sebagian besar anggota bursa, untuk short selling baru 10 perusahaan sekuritas yang menyatakan berminat.

Rencananya mulai Oktober 2024 nasabah-nasabah utama mereka dapat melakukan short selling.  Sama seperti fasilitas margin, agar tidak merugikan perusahaan efek, nasabah yang melakukan short selling juga harus menyetor margin awal dan terkena margin call ketika harga saham yang dijual short itu naik harganya. Ini berkebalikan dengan fasilitas margin. Margin call muncul ketika harga saham turun.

Artinya, mereka yang melakukan short selling tidak dapat mengambil dana hasil penjualan sahamnya. Namun justru harus menyetor sejumlah dana, untuk mengantisipasi kerugian jika harga saham itu naik.

Saat margin call datang, jika tidak ada dana tambahan, akan dilakukan paksa beli dalam short selling, bukan forced sale seperti dalam perdagangan margin. Perbedaan lain, jika investor dikenakan biaya bunga dalam fasilitas margin, dalam short selling mungkin saja ada biaya pinjam saham.

Walaupun berisiko tinggi, transaksi short selling sebenarnya membawa beberapa manfaat. Tidak seperti di pasar aset lain, di pasar modal investor selalu dapat meraih keuntungan. Saat pasar bullish, investor dapat memperolehnya dengan mengambil posisi beli atau long. Sebaliknya, ketika pasar bearish, investor dapat memanfaatkannya dengan melakukan short selling.

Harga naik, untung, harga turun juga untung. Walhasil, investasi di pasar modal lebih menarik dan penuh tantangan, dibandingkan alternatif investasi lain. Transaksi harian diharapkan akan meningkat.

Manfaat lain short selling, transaksi ini diperlukan untuk menjamin harga saham benar-benar mencerminkan nilai fundamentalnya.

Secara teori, setiap kali ada saham dihargai berlebihan, akan masuk investor cerdas untuk mengambil keuntungan dengan aksi short selling.

Para arbitrager tidak tinggal diam, menyaksikan saham yang kemahalan. Tanpa short selling, harga saham cenderung lebih tinggi dibandingkan nilainya.

Jika ini terus terjadi, bursa saham dapat menjadi bubble seperti properti. Kita tinggal menunggu waktu untuk menyaksikan meletusnya bubble ini.

Dalam kondisi normal sebagian besar bursa di dunia menawarkan fasilitas ini di bawah regulasi ketat yang menjaganya. Namun, short sale umumnya dihentikan atau ditiadakan ketika pasar turun dalam.

Yang saya tidak suka dengan short seller, mereka seperti investor emas yaitu berharap dan bersuka cita mendengar berita negatif. Seperti perang, resesi, capital outflow, inflasi tinggi, rupiah merosot, dan lainnya.

Saat itulah mereka dapat untung dengan jatuhnya harga saham. Sebaliknya, mereka tidak suka membaca berita positif tentang ekonomi global, nasional, dan khususnya saham yang di-short. Berdoa, kok yang jelek-jelek.

 

Sumber: Koran KONTAN. Edisi: Senin, 8 Juli 2024. Rubrik Portofolio – Wake-Up Call. Halaman 4