Budi Frensidy: Lima Kelemahan PER

0

Budi Frensidy: Lima Kelemahan PER

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Senin (20/7/2020), Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB UI, Budi Frensidy merilis tulisannya yang dimuat koran Kontan, rubrik Portofolio – Wake Up Call, halaman 4, yang berjudul “Lima Kelemahan PER”. Berikut artikelnya.

“Lima Kelemahan PER”

Bila menilik posisi price to earning ratio (PER) saham-saham anggota indeks LQ45 di akhir minggu lalu, dari 10 saham yang memiliki PER termurah, setelah mengeluarkan yang memiliki PER negatif, ternyata mempunyai PER berkisar antara 2,8 kali hingga 6,8 kali, dengan rata-rata 6,1 kali. Sementara PER 10 saham termahal berada antara 24,4 kali sampai 81,8 kali, atau rerata sebesar 35,7 kali, jika satu PER outlier di atas 100 tidak ikut diperhitungkan.

Mengapa PER aktual saham-saham LQ-45 yang sudah lolos saringan ketat begitu bervariasi (2,8 – 81,8)? Mengapa saham-saham murah tidak diburu investor dan saham-saham mahal masih ada yang membeli? Mengapa PER tidak konvergen ke angka konsensus 15?

Banyak jalan menuju Roma. Kita pun mengenal banyak model untuk valuasi saham. Ada model periode tunggal vs periode multipel, model nilai absolut vs nilai relatif, dan model berbasis arus kas vs berbasis akuntansi (akrual) yang menggunakan laba bersih per saham (EPS) atau nilai buku. Arus kas sendiri dapat berupa dividen, arus kas operasi, arus kas bebas untuk perusahaan, dan arus kas bebas untuk ekuitas. Berdasarkan pengelompokan di atas, PER adalah model periode tunggal berbasis akrual (EPS) untuk mencari nilai relatif menggunakan kelipatan harga.

Dengan PER, keputusan investasi bukanlah mencari saham yang nilainya di atas harganya tetapi menjadi memilih saham yang PER wajarnya di atas PER aktual saham itu di pasar. Belilah saham yang PER wajarnya lebih tinggi daripada PER aktualnya dan juallah saham jika PER wajarnya lebih rendah daripada PER aktualnya.

PER disukai karena kita mudah menghitung dan mengartikannya. Selain praktis, PER juga dapat dianalogikan dengan periode modal kembali (payback) yang sangat populer sebagai kriteria investasi dalam aset riil. Dengan asumsi rasio pembayaran (payout) dividen adalah 100% dari laba bersih, investor yang membeli saham dengan PER 10 akan memperoleh modalnya kembali dalam 10 tahun.

Di balik keunggulan dan kepraktisannya, PER mengandung lima kelemahan. Pertama, angka laba bersih yang digunakan adalah produk akuntansi yang sarat dengan estimasi, asumsi, metode, dan kebijakan yang dipilih manajemen perusahaan. Kedua, PER adalah valuasi dengan menggunakan periode tunggal yaitu hanya laba tahun tertentu.

Untuk memahami ketiga kelemahan lainnya, marilah kita melihat valuasi saham secara absolut paling sederhana dengan menggunakan arus kas yang sudah tersedia, tidak perlu dihitung terlebih dahulu seperti arus kas lainnya, yaitu model pendiskontoan dividen. Berdasarkan model valuasi ini, nilai atau harga wajar sebuah saham adalah nilai sekarang dari dividen yang dihasilkannya di masa datang. Berikut contohnya.

Berapakah nilai sebuah saham yang memberikan dividen konstan Rp150 setiap tahun? Asumsikan tingkat return yang diharapkan investor untuk saham ini, berdasarkan CAPM atau model lainnya, adalah 15%. Jawabannya adalah nilai = (dividen / tingkat return yang diharapkan) atau Rp150 / 15% = Rp1.000. Jika harga saham di pasar di bawah Rp1.000, direkomendasikan untuk membeli dan sebaliknya, juallah jika harganya di atas Rp1.000.

Saham yang dividennya konstan adalah saham preferens, yang jumlahnya hanya hitungan jari tangan dan hampir tidak ada transaksi setiap harinya, dan saham yang laba bersihnya sudah mentok. Investor yang mengejar capital gain tidak menyukai saham-saham ini. Melanjutkan ilustrasi di atas, jika dividen yang dibayarkan itu mengalami pertumbuhan 10% per tahun, berapa nilai atau harga wajar saham tersebut?

Persamaan untuk itu, yang dikenal sebagai model Gordon dengan tingkat pertumbuhan g dan dividen tahun depan D1 adalah P = D1 / ( k – g). Dividen tahun depan Rp150 (1 + 10%) = Rp165 sehingga nilai saham ini menjadi Rp165 / (15% – 10%) = Rp3.300. Karena menjanjikan pertumbuhan, investor akan bersedia membayar tiga kali lipat harga awal atau mengeluarkan tambahan Rp2.300 untuk membeli pertumbuhan.

Kembali ke soal PER. Jika persamaan Gordon di atas kita bagi dengan EPS, kita akan mendapatkan P/EPS = (D1/EPS) / ( k – g). Ruas kiri persamaan yaitu P/EPS tidak lain adalah PER wajar (justified) dan ruas kanan adalah ketiga faktor yang mempengaruhinya yaitu D1/EPS atau dividend payout ratio, tingkat diskonto (k) yang mencerminkan risiko saham, dan tingkat pertumbuhan. Ini berarti, PER wajar berhubungan positif dengan rasio payout dan pertumbuhan serta berhubungan terbalik dengan risiko (tingkat diskonto). Karena itu, kita pun dapat menguraikan tiga kelemahan terakhir PER.

Pertama, PER rendah dan tinggi mengasumsikan tingkat pertumbuhan yang sama untuk semua emiten. Kenyataannya, tingkat pertumbuhan berbeda dan karena faktor inilah, banyak investor masih bersedia membeli saham dengan PER tinggi. Kedua, PER murah dan mahal mengabaikan perbedaan risiko yang dihadapi emiten baik risiko finansial akibat besarnya utang maupun risiko usaha dan industri serta risiko akibat pandemi Covid-19. Risiko-risiko ini dapat mengakibatkan penurunan laba bersih di periode mendatang sehingga PER akan mengalami peningkatan dan harga saham menjadi tidak murah lagi. Ketiga, rata-rata PER juga tidak memperhitungkan perbedaan payout dividen. Adanya risiko besar dan sangat rendahnya payout menjelaskan mengapa saham termurah dengan PER rendah di BEI masih tidak dilirik investor.

Kesimpulannya, saham dengan PER aktual yang rendah sangat mungkin PER wajarnya juga sekitar angka itu sehingga tidak dapat dikatakan murah. Untuk saham dengan PER tinggi, investor mungkin mengantisipasi tingginya pertumbuhan EPS di masa mendatang. Terakhir, PER wajar itu ternyata nilai dibagi EPS. Karena itu, metode relatif PER dan model nilai absolut pendiskontoan dividen seperti dua sisi dari sebuah koin. Keduanya menggunakan rumus yang sama yaitu persamaan Gordon. (hjtp)

 

Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 20 Juli 2020. Rubrik Portofolio – Wake Up Call. Halaman 4.