Ari Kuncoro: Era Joe Biden dan Indonesia

0

Ari Kuncoro: Era Joe Biden dan Indonesia

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – (16/11/2020) Profesor Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia, merilis tulisannya yang dimuat Harian Kompas, rubrik Opini, berjudul “Era Joe Biden dan Indonesia”. Berikut tulisannya.

“Era Joe Biden dan Indonesia”

Setelah melalui perhitungan suara yang panjang dan menegangkan, akhirnya Joe Biden dari Partai Demokrat dinyatakan sebagai presiden terpilih ke-46 Amerika Serikat, mengalahkan petahana Presiden Donald Trump dari Partai Republik.

Hasil penghitungan suara final menunjukkan Biden mengantongi 306 electoral votes, dari 270 electoral votes yang dibutuhkan untuk menang, sementara Trump meraih 232 electoral votes. Saat ini memang masih berlangsung penghitungan kembali hasil pemungutan suara di Georgia, tetapi sejauh ini Biden masih unggul sekitar 15.000 suara. Kalaupun Trump menang di Georgia, tambahan 16 electoral votes dari negara bagian ini tak akan mengubah kemenangan Biden.

Pertanyaannya adalah bagaimana perkembangan ini akan membawa dampak ekonomi pada Indonesia.

Perubahan aliansi dunia

Tanpa disadari, apakah presiden AS berasal dari Partai Republik atau Partai Demokrat, aliansi dunia sudah bergeser. Dunia dengan hanya ada satu negara adidaya juga akan berubah kembali seperti situasi Perang Dingin di antara dua kubu, AS versus Uni Soviet, yang berlangsung dari 1950-an sampai akhir 1980-an.

Hal ini sudah terdeteksi sejak pertengahan 1990-an dengan publikasi artikel ”The Rise of China as an Economic Power” (Goodhard dan Xu, 1996). Strategi AS dalam Perang Dingin adalah menggunakan China sebagai penyeimbang.

Strategi ini dimulai dengan kunjungan Presiden Nixon ke China tahun 1971. Kunjungan Nixon ini menandai dimulainya keterbukaan ekonomi China sejak 1980-an, yang dinakhodai Deng Xiaoping yang mengambil alih tampuk pimpinan dari Hua Guo Feng tahun 1980. Reformasi ekonomi oleh Deng menghasilkan pertumbuhan ekonomi dua digit selama hampir dua dasawarsa.

Baru-baru ini Dana Moneter Internasional (IMF) mengakui bahwa dengan metode perhitungan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) dari segi besarnya perekonomian (GDP size), China sudah melampaui AS. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa posisi dominan AS dalam dunia dengan satu adidaya akan segera berlalu.

Sejak zaman pemerintahan Presiden Barack Obama, AS sudah mengamati tren ini. Timbul persepsi bahwa dilihat dari segi surplus neraca perdagangan di antara kedua negara, China yang lebih diuntungkan dengan memanfaatkan keterbukaan pasar AS.

Namun, ketegangan baru muncul ke permukaan pada masa pemerintahan Trump. Kebijakan yang dianut untuk perdagangan luar negeri lebih menyerupai paham merkantilis melihat secara mikro surplus neraca perdagangan bilateral. AS mendesak China membeli lebih banyak produk pertaniannya dan/atau membuka pasar China untuk perusahaan-perusahaan AS.

Sebagian pejabat teras dalam pemerintahan Obama kemungkinan akan bergabung kembali dalam pemerintahan Biden, baik dalam kapasitas sebagai penasihat maupun pejabat teras, sehingga secara umum warna kebijakan-kebijakannya tidak akan terlalu berbeda dengan saat Presiden Obama.

Politik luar negeri AS tidak akan seriuh rendah dan eratik seperti pada zaman Trump, tapi secara garis besar tak akan terlalu bergeser terutama untuk hubungan ekonomi internasional, khususnya dengan China. Perang dagang dengan China kemungkinan besar akan tetap berlanjut dalam bentuk yang lebih senyap dalam bentuk kerja sama multilateral dengan negara-negara lain.

Konsep Trans-Pacific Partnership, di mana AS pada 2017 memutuskan mundur, mungkin akan dihidupkan kembali. Dalam cakupan geografi yang lebih sempit, AS akan mengoptimalkan ASEAN dalam melakukan koordinasi dengan negara-negara Asia Tenggara.

Untuk meningkatkan kewibawaannya di mata dunia, AS akan bergabung kembali dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kesepakatan Iklim Global, seperti Paris Climate Accord, yang akan menjadi landasan bagi AS dalam berinteraksi dengan negara-negara mitranya. Perhatian terhadap HAM akan lebih meningkat dibandingkan dengan Trump, dan ini akan memengaruhi kebijakan kerja sama pertahanan dengan negara-negara lain.

Peluang dan tantangan Indonesia

Dalam perang dagang, Pemerintah AS mungkin tidak akan membantu secara insentif keuangan, tetapi akan memfasilitasi melalui jalur diplomatik perusahaan-perusahaan AS yang, demi alasan bisnis dan juga keamanan perusahaan-perusahaan AS dan afiliasinya, akan melakukan relokasi dari China.

Tahun lalu Vietnam mendapatkan realokasi terbesar. Namun, prinsip jangan menaruh semua telur dalam satu keranjang juga akan membuat negara-negara lain, termasuk Indonesia, masuk dalam radar. Pembicaraan produsen mobil listrik premium Tesla hanya satu contoh saja. Hal ini membuka potensi relokasi rantai pasokan dan/atau pengembangan linkage dengan Indonesia karena industri suku cadang di Indonesia termasuk yang terkuat di Indonesia setelah industri makanan.

Dari nilai ekspor dan impor, AS berada di posisi keempat mitra dagang Indonesia setelah China, Jepang, dan Singapura. Yang menarik, neraca perdagangan dengan AS hampir selalu surplus. Pada 2019 surplus tercatat 8,5 miliar dollar AS, sementara dengan China defisit 17 miliar dollar AS.

Salah satu program Biden adalah Buying America sehingga tak terlalu mengejutkan jika kelak ada permintaan untuk lebih banyak membeli produk dari AS untuk menyeimbangkan neraca perdagangan, dan ini mengulangi apa yang sudah dilakukan Trump. Masalah lingkungan dan ketenagakerjaan juga akan jadi perhatian Biden. Untuk ekspor sawit Indonesia, misalnya, isu tentang sustainable palm oil mungkin akan mendapat perhatian lebih serius dibandingkan dengan saat pemerintahan Trump.

Pemerintahan Biden akan melonggarkan kebijakan yang berkaitan dengan imigran, termasuk visa untuk pelajar dari luar negeri. Selama pemerintahan Trump, industri pendidikan tinggi di AS mengalami kesulitan dengan makin sedikitnya pelamar dari luar negeri.

Pada saat pandemi ini, kebijakan Trump untuk tidak memberikan visa residensi bagi pelajar luar negeri yang hanya mengambil kuliah daring makin mempersulit posisi keuangan universitas-universitas. Selain itu, visa H1 untuk para ahli yang dibatasi menghambat kerja sama antarperguruan tinggi.

Ide H1 ini adalah saling belajar atau technology spillover. Namun, visa H1 ini kemudian dituduh sebagai biang keladi lunturnya supremasi teknologi AS karena terlalu banyak berbagi dengan negara-negara lain. Di masa Biden kebijakan ini mungkin akan tetap ada, tetapi diterapkan secara selektif untuk bidang yang dianggap sensitif terhadap keamanan nasional AS. Ini merupakan kesempatan bagi pendidikan tinggi di Indonesia untuk melakukan kolaborasi dengan mitranya di AS.

Indonesia tetap tak terlepas dari kebijakan merkantilis AS karena tercatat sebagai negara yang mempunyai surplus neraca dagang dengan AS. Indonesia termasuk 16 negara dalam watchlist. Di masa Trump, ancaman yang diberikan tak main-main, yaitu dicabutnya fasilitas generalized system of preferences (GSP). GSP adalah kebijakan unilateral yang memberikan potongan bea masuk impor untuk negara penerima tertentu. Tujuannya, agar negara penerima dapat mengembangkan perekonomiannya sehingga dapat menjadi mitra dagang timbal balik. Untuk Indonesia, GSP sudah ada sejak 1976 dan dicabut pada 2013, tetapi diberlakukan lagi pada 2015 di masa pemerintahan Obama.

Kedatangan Menlu AS dari pemerintahan Trump ke Indonesia beberapa waktu lalu—setelah mengunjungi India, Sri Lanka, dan diakhiri di Vietnam— patut dicatat. Berbarengan dengan itu adalah pemberian kembali fasilitas GSP ke Indonesia setelah ”digantung” sekian lama. Hal ini merupakan sinyal perubahan strategi geopolitik AS dalam menghadapi kebangkitan China.

Strategi memperkuat perekonomian negara-negara yang akan menjadi mitra dagang masa depan ini sudah dimulai dengan Rencana Marshall di Eropa seusai Perang Dunia II untuk menghadapi Uni Soviet. Kebijakan ini diterapkan lagi di Jepang dan Korea Selatan tahun 1950-an. Bukan kebetulan jika GSP yang diperoleh Indonesia di tahun 1975 juga merupakan bagian dari strategi containment setelah AS terpaksa mundur dari Perang Vietnam di tahun 1975.

Mencari keseimbangan

Bagi Indonesia tentunya ini peluang untuk revitalisasi ekspor industri manufaktur, khususnya yang berorientasi padat karya atau semipadat karya. Namun, posisi Indonesia sebagai negara bebas aktif memerlukan strategi balancing dengan negara-negara lain, khususnya China yang sampai saat ini juga mitra dagang penting Indonesia.

Indonesia tak ingin terlibat dengan perseteruan negara-negara lain dan tetap bersahabat dengan semua negara sepanjang itu mendukung kepentingan nasional Indonesia. Dalam perspektif hubungan perdagangan dengan China, selepas krisis moneter 1998 pemulihan ekonomi Indonesia terbantu oleh pertumbuhan ekonominya yang menimbulkan bonanza ekspor komoditas bagi Indonesia dari 2004 sampai 2012.

Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi antara 5,4 sampai 6 persen lebih per tahun yang membangkitkan kelas menengah di kota-kota besar dan kota-kota sekunder di Indonesia yang dapat dijadikan mesin pertumbuhan tersendiri. Sampai saat ini Indonesia diperkirakan memiliki 141 juta kelas menengah dari 267,7 juta penduduk.

Indonesia punya opsi menggunakan pasar dalam negeri sebagai batu pijakan ekspor atau sebagai penyangga jika pasar internasional mengalami kebuntuan akibat perang dagang ataupun eskalasi konflik global yang lain. Besarnya populasi ini merupakan daya tawar tersendiri dalam membina hubungan yang saling menguntungkan dengan AS, China, dan juga negara lain sehingga Indonesia tak hanya dijadikan pasar, tetapi juga sebagai basis produksi/ekspor serta mendapat manfaat dari cipratan (spillover) teknologi dan informasi pasar. (hjtp)

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Senin, 16 November 2020. Rubrik Opini. Halaman 6.