LPEM FEB UI, Katadata, UNDP, dan J-PAL: Memahami Kesejahteraan dan Penghidupan Perempuan Indonesia selama Pandemi COVID-19

0

LPEM FEB UI, Katadata, UNDP, dan J-PAL: Memahami Kesejahteraan dan Penghidupan Perempuan Indonesia selama Pandemi COVID-19

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK-(10/3/2021) Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI bersama Katadata Indonesia, United Nations Development Programme (UNDP), dan Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) menggelar webinar dalam rangka Hari Perempuan Internasional. Webinar bertajuk “Memahami Kesejahteraan dan Penghidupan Perempuan Indonesia selama Pandemi COVID-19” itu berlangsung pada Rabu (10/3), dan menghadirkan I Gusti Ayu Bintang Darmawati, S.E., M.Si., Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak, serta Norimasa Shimomura, Kepala Perwakilan UNDP Indonesia dalam sambutan.

Narasumber yang hadir, yakni Prani Sastiono  (Dosen FEB UI dan Wakil Kepala Grup Kajian Ekonomi Digital dan Ekonomi Tingah Laku LPEM FEB UI), Diahhadi Setyonaluri (Peneliti Lembaga Demografi FEB UI), Koh Miyaoi (Penasihat Jender UNDP Biro Regional Asia Pasifik), Prof. dr. Vennetia R. Danes M.S., Ph.D. (Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan kementerian PPPA), IGAA Jackie Viemilawati (Psikolog di Yayasan Pulih), dan Wawan Suwandi (Koordinator Nasional Aliansi Laki-laki Baru).

Selama pandemi COVID-19, telah terjadi peningkatan kekerasan berbasis jender dan pekerjaan tak berbayar (unpaid-care work). Kekerasan berbasis jender, terutama terhadap perempuan dan anak perempuan, lebih banyak terjadi di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah. Sementara itu, konstruksi sosial di masyarakat masih menumpukan beban pengasuhan anak dan pengurusan rumah tangga kepada perempuan.

     

Dalam sesinya, Prani memaparkan laporan penelitian LPEM berjudul “Memahami Kesejahteraan dan Penghidupan Masyarakat Saat Pandemi COVID-19 di Indonesia,” berdasarkan survei daring dan wawancara telepon, dari Oktober hingga November 2020. Survei daring ini mengikutkan  lebih dari 1.000 responden dari delapan kota di Indonesia. Tercatat sekitar 46,5 persen responden merupakan perempuan. Selain itu, wawancara telepon kepada 203 responden, terbagi menjadi 168 responden survei publik dan 35 responden perempuan penyintas kekerasan berbasis jender (KBJ).

Saat mewawancarai tentang KBJ, LPEM bekerja sama dengan KAPAL Perempuan, Nurani Perempuan, Pondok Pergerakan Kupang, Sekolah Perempuan Gresik, dan Sekolah Perempuan Pangkep.

Prani mengungkapkan bahwa sekitar 42 persen responden mengalami peningkatan kekerasan selama pandemi. Umumnya kekerasan berbasis jender terjadi kerena tekanan ekonomi, di antaranya penurunan keuangan, pengangguran, dan pengasuhan anak. Responden perempuan melaporkan masalah terkait pekerjaan rumah tangga dan laki-laki melaporkan masalah  pekerjaan dengan beban berat dan jam kerja panjang.

Distribusi pengasuhan anak tak berbayar di rumah tangga pun masih tidak merata. Dalam mengasuh anak, perempuan menghabiskan lebih dari tiga jam sehari sedangkan laki-laki hanya menghabiskan waktu di bawah dua jam sehari.

Prani membagikan saran pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis jender, yakni mendorong transformasi jender pada semua tingkatan, memperluas sosialisasi tentang program dukungan pandemi, memperbanyak akses dan informasi dukungan psikososial, serta memberdayakan perempuan pra, selama, dan pasca bencana.

“Penanganan pekerjaan rumah tangga tak berbayar bisa dengan melatih kepekaan jender dan menggabungkan normal jender yang lebih fleksibel ke dalam kurikulum pendidikan dasar, merampingkan prosedur pembelajaran jarak jauh, serta mengampanyekan nilai jender yang setara,” tutup Prani.

Diahhadi menyampaikan, “Semua krisis tentu akan berdampak negatif, baik itu karena menunda agenda penanggulangan kemiskinan, maupun menunda tujuan pembangunan berkelanjutan. Konflik kesenjangan jender masih berakar pada norma yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai pengasuh anak dan rumah tangga. Maka dari itu, pengasuhan anak dan partisipasi kerja perempuan menjadi tidak seimbang.”

Pandemi memberi beban tambahan kepada perempuan yang bekerja dari rumah atau pun dari kantor. Mereka harus mampu membagi waktu antara pekerjaan dan pengasuhan sehingga rentan menimbulkan konflik, seperti pekerjaan tak berbayar dan pemberhentian kerja. Dengan begitu, potensi penurunan partisipasi kerja perempuan menjadi tak terhindarkan.

Studi membuktikan bahwa selama 2020, 5 persen perempuan berhenti kerja dan 53 persen perempuan berpartisipasi kerja di sektor informal dengan upah rendah. Partisipasi kerja di sektor tersebut meningkat sebanyak 1,2 persen dari tahun 2019, karena banyaknya perempuan yang turut membantu perekonomian rumah tangga dengan bisnis rumahan.

Diahhadi berharap peran pengasuhan anak dan pengurusan rumah tangga dapat lebih seimbang. Terbuka kesempatan bagi laki-laki untuk mengasuh anak dan perempuan untuk membantu biaya kebutuhan rumah tangga.”

“Hingga kini, pemerintah telah memberikan berbagai bantuan usaha, termasuk usaha milik perempuan. Namun, saya berharap pemerintah juga dapat memberikan pelatihan sekaligus penyediaan bantuan pengasuhan, seperti penitipan anak berbasis komunitas,” ujarnya mengakhiri sesi. (hjtp)