Webinar LM FEB UI, Challenges of Organization Development: How to Approach Them with the Latest Thinking

0

Webinar LM FEB UI, Challenges of Organization Development: How to Approach Them with the Latest Thinking

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (2/9/2021) Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LM FEB UI) mengadakan webinar bertajuk “Challenges of Organization Development: How to Approach Them with the Latest Thinking” pada Kamis (2/9). Menghadirkan Bagus Adi Luthfi, M.S.M. (Human Resources Consultant LM FEB UI) dan Diah Dharmayanti, Ph.D. (Organization Development Expert Howard Hermes Consulting) sebagai pembicara. Hadir pula Dyah Parameshwary, M.Psi. (Senior Consultant LM FEB UI) sebagai pemandu acara.

Diah membahas tentang organization development competency. Ia menjelaskan, “Saat seorang organization for the development people atau ODP ingin mempelajari organisasi, maka perlu memahami anatomi organisasi, sebuah kerangka teoritis yang terdiri atas kepemimpinan, sistem, dan perilaku.”

“Saat ODP telah mampu menganalisis anatomi organisasi secara utuh, kita harus bertransformasi menjadi organisasi yang efektif. Dari sisi eksternal, menciptakan aset manusia (pergantian karyawan, keterkaitan, kompetensi, kemampuan, kapasitas) dan aset relasi (ekuitas merek, reputasi, kepuasan, saham). Dari sisi internal, menciptakan aset struktur (paten, MCE, sistem peningkatan kinerja, KMS, indeks kualitas) dan aset keuangan (EVA, ROE, ROI, margin, arus kas),” lanjutnya.

Frank Zappa mengatakan, pikiran itu seperti parasut, tidak akan berfungsi jika tidak terbuka. Oleh karenanya, pemimpin perlu mengubah pola pikir tertutup yang statis ke pola pikir terbuka yang berkembang.

“Dengan begitu, pemimpin akan mudah melihat, mengajak, dan mengukur para anggota dalam organisasi. Tak hanya itu, semua anggota pun lebih mudah mengubah kebutuhan ekstrinsik menjadi kebutuhan intrinsik,” imbuh Diah.

Pemimpin harus menjadi pembelajar transformasional, memiliki kapasitas untuk learn (mempelajari hal baru dengan baik), unlearn (melupakan pelajaran yang sudah tak relevan), hingga relearn (menerima perspektif baru). Konsep tersebut berarti kemampuan untuk beradaptasi dengan tuntutan perkembangan zaman.

Bagi Diah, organisasi perlu menerapkan beberapa budaya (culture), yakni control culture, kapasitas menetapkan kebijakan dan prosedur sebagai langkah meningkatkan efisiensi; champion culture, kapasitas bersaing, berorientasi pada profit, dan bersemangat mencapai tujuan; change culture, kapasitas mendeteksi, menafsirkan, dan menerjemahkan sinyal dari lingkungan menjadi ide baru; dan core culture, kapasitas membangun komitmen, keterlibatan, dan rasa saling memiliki terhadap semua anggota dalam organisasi.

Selepas itu, Bagus mengangkat topik pengembangan organisasi di era blockchain. Ia memaparkan evolusi daya saing organisasi, mulai dari organisasi efisien, organisasi berkualitas unggul, organisasi fleksibel dan dinamis, organisasi adaptif dan inovatif, hingga organisasi cerdas.

Menurut Christian Catalini dan Joshua Gans (2020), blockchain adalah buku besar digital yang terdesentralisasi dan terdistribusi secara aman, menyimpan data transaksi terstruktur dan terautentikasi menggunakan kunci publik sebagai identitas.

“Mengutip pernyataan Vitalik Buterin, saat sebagian besar teknologi mengotomatiskan pekerja untuk mengerjakan pekerjaan teknis melalui jaringan luar, blockchain justru mengotomatiskan jaringan pusatnya. Alih-alih membuat supir taksi kehilangan pekerjaan, blockchain justru menghilangkan pihak ketiga—seperti Uber—dan memberikan supir taksi kesempatan bertemu dengan pelanggan secara langsung,” terangnya.

Strukturnya terbagi atas organisasi terpusat (centralized), terdesentralisasi (decentralized), dan terdistribusi (distributed). Organisasi terpusat berarti otoritas pusat merupakan pengendali dan pembuat keputusan atas nama seluruh jaringan. Organisasi terdesentralisasi berarti seluruh jaringan merupakan pembuat keputusan yang memiliki fungsi sama, jadi mekanismenya tidak terpusat. Organisasi terdistribusi berarti otoritas pusat maupun seluruh jaringan merupakan pembuat keputusan, pemrosesannya tersebar karena semua bagian sistem berada di lokasi berbeda.

Tapscott dan Tapscott (2016) menggambarkan bahwa blockchain merupakan teknologi revolusioner pada abad ke-21 ini. Tidak ada konsensus tentang teknologi blockchain. Sebagian masyarakat melihat blockchain sebagai solusi atas permasalahan yang tak terhitung jumlahnya, sedangkan masyarakat lainnya menganggapnya sebagai tipuan semata.

Bagus mengungkapkan, “Sejatinya, blockchain sangat membantu perusahaan atau organisasi menelisik banyak hal, misalnya mempermudah dalam menyaring calon kandidat sumber daya manusianya. Blockchain akan menampilkan seluruh rekam jejak calon kandidat, jadi mereka tidak bisa memanipulasi data tersebut.”

“Pada era blockchain saat ini, memungkinkan kekuatan terdistribusi siapa pun dapat berperan sebagai pemimpin. Maka kita perlu memegang trust culture sehingga tidak takut akan segala perubahan yang terjadi di masa mendatang,” tutupnya.

 

Press release LM FEB UI:

Post- Event Press Release LM FEB UI dan Howard Hermes