Webinar Series LM FEB UI: SOEs in Peru

0

Webinar Series LM FEB UI: SOEs in Peru

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (7/12/2021) Lembaga Management FEB UI (LM FEB UI) mengadakan seri webinar bertajuk “SOEs in Peru” mengenai perekonomian dan pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Peru, pada Selasa (7/12). Menghadirkan pembicara, Marina Estella Anwar Bey (Duta Besar LBBP RI) dan Lorena Masias Quiroga (Direktur Eksekutif FONAFE Peru). Hadir pula pemandu acara, As Syahidah Al Haq (Peneliti Senior LM FEB UI).

Stella mengawali, “Indonesia dan Peru memiliki hubungan bilateral sejak 12 Agustus 1975. Namun, Kedubes Peru di Jakarta baru berdiri pada 1 November 1992, sedangkan Kedubes Indonesia berdiri di Peru berdiri pada 20 Februari 2002. Terhitung saat ini keduanya bersepakat dalam 8 perjanjian bilateral.”

Lalu, ia bercerita tentang Peru secara singkat. “Pertumbuhan ekonomi Peru cukup baik, pada 2004 – 2014 dengan rata-rata 5 persen sehingga Bank Dunia mengatakan Peru sebagai the rising star di Amerika Latin. Bahkan, pada 1994, pertumbuhan ekonominya mencapai 13 persen.”

“Namun, sejak 2014 mulai menurun karena adanya krisis dunia. Harga produk pertambangan menurun drastis padahal PDB Peru sangat bergantung pada pertambangan, pertanian, dan perikanan. Menurut Bank Dunia, perekonomian Peru pada 2015 hingga 2019 sebesar 3,18 persen dan pada 2020 sebesar -11,1 persen,” imbuhnya.

BUMN di Amerika Latin, termasuk Peru, merupakan pemasukan negara yang dianggap sangat penting. Namun, jumlahnya masih sangat kecil dibandingkan negara lain. Tak hanya itu, kontribusinya terhadap PDB, SDM, dan investasi pun terbilang sedikit.

Dahulu, Peru memiliki hampir 300 pusat BUMN dan memberikan kontribusi ⅓ dari total PDB. Namun, BUMN di Peru banyak yang mengalami defisit mencapai 5 persen pada 1982. Akhirnya, pemerintah menetapkan kebijakan privatisasi dan likuidasi untuk menguatkan ekonomi sehingga adanya pengurangan terhadap perusahaan BUMN.

“Saat ini, BUMN di Peru menurun dari 300 perusahaan menjadi hanya 35 perusahaan, termasuk FONAFE (The National Fund for the Financing of State Business Activity). FONAFE memiliki dana untuk mengelola BUMN,” jelas Stella

Selepas itu, Lorena melanjutkan, “FONAFE adalah perusahaan induk (holding company) atau perusahaan hukum publik yang terbentuk pada 1999 di bawah pengelolaan Kementerian Ekonomi dan Keuangan dengan dasar hukum No. 27170. FONAFE berperan mengatur kegiatan usaha, menyetujui anggaran, mengatur standar, dan mengelola pendapatan dan pengembalian atas investasi BUMN.”

“Selain itu, FONAFE membawahi 35 perusahan milik negara yang bergerak di bidang listrik, keuangan, sanitasi, hidrokarbon dan remediasi, transportasi dan infrastruktur, jasa dan produksi, kesehatan, pertahanan, dan lainnya,” terangnya.

FONAFE Corporation berdampak pada pembangunan negara, di antaranya menyumbang 3,2 persen investasi publik, 2,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), 86 persen cakupan distrik, 64 persen pengguna listrik, 50 persen bagian produksi air, 20 persen bagian produksi listrik, dan 0,17 persen partisipasi dalam Economically Active Population (EAP).

Lorena mengungkapkan 3 tantangan utama bagi FONAFE. Pertama, mematuhi Good Corporate Governance (GCG), direktur independen, keragaman di dewan, akuntansi terpisah untuk penugasan, dan akuntabilitas berbasis hasil yang lebih besar. Kedua, mengevaluasi uji tuntas dalam masalah tanggung jawab sosial, pengelompokan perusahaan berdasarkan tingkat kemajuan dalam Good Corporate Governance (GCG) dan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk memfokuskan dukungan, kemitraan lebih besar dengan pemangku kepentingan, dan database proyek CSR perusahaan. Ketiga, menganalisis risiko fiskal di BUMN serta keamanan informasi dan analisis risiko produk baru.

Pada webinar ini, sebanyak 55 partisipan bergabung secara daring melalui Zoom.