Mirza Adityaswara: Catatan Akhir Tahun tentang Tekfin

0

Catatan Akhir Tahun tentang Tekfin

Oleh: Mirza Adityaswara, Ekonom dan Ketua Indonesia Fintech Society (IFSOC)

 

KOMPAS – (14/12/2021) Meredanya wabah Covid-19 membawa optimisme adanya akselerasi ekonomi di tahun 2022. Walaupun ada risiko percepatan pengetatan moneter di Amerika Serikat, komunikasi yang baik dari Bank Sentral AS, Federal Reserve, dapat mengendalikan stabilitas pasar keuangan global.

Neraca barang dan jasa mencatatkan surplus. Defisit APBN yang terus membaik di tahun 2021-2022 diperkirakan menjaga stabilitas kurs ke depan. Disiplin fiskal harus dipertahankan supaya rasio utang pemerintah secara bertahap dapat kembali ke tingkat normal seperti sebelum pandemi.

Pandemi menjadi momentum pertumbuhan ekonomi digital. Berdasarkan publikasi e-Conomy SEA 2021 yang diluncurkan Google, Temasek, dan Bain, sepanjang 2020 hingga paruh pertama 2021, terdapat 21 juta konsumen digital baru di Indonesia. Dari data itu, 72 persen konsumen baru bukan berasal dari kota besar. Gross merchandise value (GMV) sektor digital Indonesia pada 2021 diperkirakan mencapai 70 miliar dollar AS dengan pertumbuhan 49 persen secara tahunan.

Setidaknya, ada tujuh catatan sebagai key milestones yang berperan besar mendorong pertumbuhan ekonomi digital di 2021. Pertama, terkait dengan perkembangan ekosistem digital yang makin besar. Kini, Indonesia memiliki 8 unicorn dan berada di posisi kedua dengan unicorn terbanyak di ASEAN.

Adanya kebutuhan pendanaan yang semakin besar membuat daya tarik penawaran saham perdana (IPO) diprediksi makin tinggi bagi unicorn ataupun start up di Indonesia.

Sejalan dengan hal itu, regulator juga memberi dukungan dengan menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) mengenai multiple voting share (MVS) sebagai langkah strategis mengakomodasi start up unicorn melakukan IPO.

Salah satu unicorn Indonesia, Bukalapak, mencatatkan penggalangan dana terbesar dalam sejarah bursa, mencapai Rp21,9 triliun. Namun, belajar dari jatuhnya harga saham Bukalapak, yang perlu diperhatikan adalah edukasi soal valuasi saham perusahaan start up. Investor ritel juga harus mempunyai perspektif jangka menengah, bukan investasi mingguan.

Kedua, maraknya tren akuisisi bank kecil oleh perusahaan teknologi. Hadirnya neo bank serta transformasi digital oleh bank konvensional perlu disambut positif. Namun, sebagaimana bank konvensional, tantangan bagi bank digital adalah mendapatkan dana murah dan meningkatkan total aset.

Belajar dari negara lain, seperti KakaoBank di Korea Selatan dan MYBank (ANT Group) di China, salah satu kunci kesuksesan neo bank adalah dibangunnya ekosistem digital yang terintegrasi dengan teknologi finansial (tekfin), e-dagang, ataupun ride hailing. OJK merespons baik perkembangan ini dengan menerbitkan POJK tentang Bank Umum dan POJK tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum yang mempertegas pengertian neobank.

Ketiga, tercapainya target digitalisasi 12 juta merchant melalui QRIS. Kinerja Bank Indonesia bersama industri sistem pembayaran yang di dalamnya termasuk tekfin pembayaran patut diapresiasi. Inisiatif lain yang ada di pipeline Bank Indonesia adalah Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP), yang akan masuk tahap implementasi pada tahun 2022. Open API diharapkan dapat mempercepat kolaborasi bank dan tekfin serta ekosistem ekonomi digital.

Keempat, adalah pemanfaatan teknologi digital dalam program government to person (G2P), seperti penyaluran bantuan sosial. Digitalisasi dapat mengurangi potensi penyalahgunaan aliran bansos, seperti menghilangkan intermediary issue yang menjadi sumber inefisiensi dalam proses penyaluran bansos.

Hingga tahun 2021, penetrasi pengguna internet di Indonesia mencapai 72,8 persen dan penetrasi pengguna smartphone mencapai 72,1 persen. Indonesia patut bangga karena telah memiliki catatan sukses dalam program Kartu Prakerja. Kesuksesan tersebut dapat menjadi benchmark dalam pengembangan program penyaluran bansos melalui tekfin.

Kelima, perkembangan tekfin peer to peer landing (P2P lending). Berdasarkan data OJK, per November lalu, 104 tekfin P2P lending telah berizin dan terdaftar di OJK dengan 749.000 entitas lender, 68 juta entitas borrower, total penyaluran Rp249 triliun dan outstanding Rp26 triliun. Kolaborasi antara bank dan P2P lending juga masih berlanjut. Namun, kehadiran pinjaman daring—kerap disebut ”pinjol”—ilegal masih menjadi momok. Semua pemangku kepentingan perlu terus menjaga kredibilitas P2P lending dengan memberantas pinjaman daring ilegal.

Bunga pinjaman P2P lending juga perlu diturunkan. Kini, bunga yang disepakati para pelaku sudah turun dari 0,8 persen ke 0,4 persen per hari. Umumnya, masyarakat memakai P2P lending (konsumsi) dengan tenor pendek, tetapi jika dikalkulasi secara tahunan bunga pinjaman dapat mencapai 146 persen pertahun. Bunga ini harus bisa diturunkan lagi agar lebih banyak masyarakat mendapat manfaat dari ekosistem P2P lending.

Keenam, peran e-investment dalam demokratisasi pasar modal. Perkembangan digitalisasi pada produk pasar modal terbukti berhasil menjawab persoalan inklusi keuangan di Indonesia. Per Oktober 2021, jumlah investor pasar modal meningkat jadi 6,8 juta dari 3,9 juta di 2020. Investor reksa dana meningkat jadi 5,8 juta dari 3,2 juta di 2020 dan investor Surat Berharga Negara naik jadi 588.000 dari 460.000 di 2020.

Untuk terus mendukung pertumbuhan jumlah investor, perlu dipertimbangkan adanya pemberlakuan persyaratan registrasi dengan ”e-KYC” lebih sederhana (berjenjang) untuk memfasilitasi perkembangan investor ritel dengan nominal investasi yang relatif masih kecil, sesuai profil risiko calon investor, tetapi tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian.

Terakhir, peran data bagi kebutuhan inovasi memunculkan tantangan baru. Baik swasta maupun pemerintah, sebagai pihak yang mengumpulkan dan mengelola data, sangat rentan terhadap risiko pelanggaran dan penyalahgunaan data pribadi. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi jadi kebutuhan mendesak.

Indonesia harus bisa mengambil manfaat optimal dari perkembangan ekonomi digital, tidak hanya demi peningkatan inklusi keuangan, tetapi juga percepatan pemulihan ekonomi. Literasi digital harus ditingkatkan. Dalam penyusunan kebijakan, hal terpenting adalah penerapan principle based regulation serta prinsip keseimbangan antara kebutuhan inovasi dan perlindungan konsumen.

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 14 Desember 2021. Rubrik Analisis Ekonomi-Umum. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.