Energy Transition Dialogue 2022: ASEAN Outlook for Zero Carbon Energy

0

Energy Transition Dialogue 2022: ASEAN Outlook for Zero Carbon Energy

 

DEPOK – (9/2/2022) Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI menggelar webinar bertajuk Energy Transition Dialogue 2022: ASEAN Outlook for Zero Carbon Energy”. Webinar ini merupakan rangkaian pembuka dari kegiatan Energy Transition Partnersip (ETP) Roundtables 2022-2023 yang merupakan kolaborasi antara The Southeast Asian Energy Transition Partnership (ETP) and the Clean Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE).  Energy Transition Dialogue ini diselenggarakan oleh Australian National University (ANU) bekerjasama dengan Australian – Mekong Partnership for Environmental Resources and Energy Systems (AMPERES), LPEM FEB UI dan Indonesia Research for Decarbonization (IRID) sebagai mitra lokal dari Indonesia, dan Anteneo School of Government sebagai mitra lokal dari Filipina.

Webinar dibuka oleh Prof. Frank Jotzo dari ANU selaku Penangung Jawab Program ETP. Prof. Jotzo Menyampaikan kegiatan ini merupakan kegiatan awal dari rangkaian kegiatan selama tahun 2022-2023 yang bertujuan untuk membuka jaringan kepada seluruh stakeholder yang ada di ASEAN khusunya Indonesia, Filipina, dan Vietnam serta menjadikan Energy Transition Partnership (ETP) Roundtables sebagai sarana untuk setiap aktor yang terlibat dalam transisi energi untuk saling membagi pengetahuan dan pembelajaran sehingga dapat mengatasi permasalahan transisi energi dalam upaya untuk mencapai nol emisi bersih (Net Zero Emission).  Kegiatan dilanjutkan dengan pemaparan tentang Southeast Asia Energy Transition Partnership (ETP) oleh Sirpa Jarvenpaa selaku Direktur ETP dan pemaparan tentang Clean Affordable & Secure Energy for Southeast Asia (CASE) oleh Simon Rolland selaku Direktur CASE. Dalam paparannya, Sirpa maupun Simon, menyampaikan bahwa adanya  program ETP maupun CASE ditujukan untuk membantu upaya negara-negara ASEAN untuk melakukan transisi menuju energi baru dan terbarukan dalam upaya untuk mewujudkan nol emisi bersih.

Outlook Transisi Energi untuk Indonesia dan ASEAN

Rangkaian kegiatan kedua adalah pemaparan Outlook Transisi Energi untuk negara-negara ASEAN yang dimulai oleh Prof. Frank Jotzo dan Dr. Emma Aisbert dari ANU. Keduanya memberikan gambaran bahwa transisi energi serta dekarbonisasi perlu dilakukan sebagai bentuk upaya untuk mengurangi jumlah emisi yang terus mengalami tren peningkatan pada negara-negara berkembang serta mengurangi dampak negatif dari munculnya perubahan iklim. Selanjutnya, Fabby Tumiwa, Direktur Insititute for Essential Services Reform (IESR), memaparkan beberapa tantangan dalam upaya transisi energi untuk mencapai emisi nol untuk negara-negara ASEAN. Dalam paparannya Fabby menyebutkan ada enam tantangan yang dihadapi oleh Negara-negara ASEAN yakni (1) perencanaan dan penyelasaran kebijakan, (2) persepsi terhadap enegi tidak terbarukan sebagai solusi untuk mengatasi kelangkaan energi, (3) tantangan dari sisi kelembangaaan dan aktor yang terlibat, (4) tantangan dalam peningkatan kapasitas dan berbagi pengetahuan, (5) tantangan kebutuhan investasi yang besar, dan (6) desain pasar serta jaringan.

Selanjutnya, pemaparan perspektif terkait transisi energi dari perwakilan pemangku kepentingan dari Indonesia, Filipina, dan Australia. Pemaparan pemangku kepentingan disampaikan oleh Harris, S.T., M.T. selaku Direktur Panas Bumi, Direktorat Jendral Energi Baru dan Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Republik Indonesia. Harris memaparkan bahwa Indonesia sejatinya telah melakukan upaya untuk transisi energi sejak ditetapkannya target pada Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi.  “Pemerintah Indonesia telah memiliki peta jalan transisi energi 2020-2060 yang berorientasi pada pencapaian Net Zero Emission. Transisi energi yang dilakukan Indonesia akan berfokus kepada pemanfaatan energi terbarukan seperti pengembangan pembangkit listrik tenaga bioenergy 2.1 GW dan pembangkit listrik tenaga air 37.9 GW”, kata Harris. Sementara itu, dari sisi konsumen, Pemerintah menargetkan untuk melakukan elektrifikasi pada alat-alat rumah tangga khususnya kompor listik dan kendaraan berbasis listrik dengan target 58 juta rumah tangga dan 69,6 juta kendaraan roda empat dan 229 juta kendaraan roda dua. “Selain itu, pemerintah Indonesia juga berkomitmen mempensiun-dinikan 16.2 GW pembangkit listrik tenaga batubara milik perusahaan listrik milik negara dalam waktu dekat sebagai upaya percontohan,” tambah Harris.

Dalam sesi diskusi bersama panelis, Moekti (Kuki) Hanjani Soejachmoen selaku Direktur Eksekutif IRID menyampaikan bahwa tantangan utama dari transisi energi di Indonesia adalah ketidakpastian dalam regulasi. Kuki menambahkan bahwa terdapat dua masalah utama yang menghambat transisi energi di Indonesia. “Pertama, inkonsistensi kebijakan sektoral dan ketidakpastian dari kebijakan jangka panjang membuat pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia menjadi sangat sulit terutama dari sisi swasta,” ujar Kuki.Panelis selanjutnya, Dr. Alin Halimatussadiah (Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan di LPEM FEB UI) menambahkan bahwa dengan kondisi pasar tenaga listrik yang masih baru, tantangan yang cukup berat terdapat pada periode pra-pengembangan fasilitas. “Dengan kondisi baru ini, peningkatann kapasitas semua pemangku kepentingan yang terlibat merupakan suatu keharusan,” kata Alin. Alin juga menambahkan bahwa dibutuhkan lingkungan pendukung yang baik sehingga kapasitas untuk mencapai transisi energi khususnya pada sektor ketenagalistrikan dapat dicapai.

Pembelajaran Transisi Energi dari Filipina, Vietnam, dan Australia

Felix William Fuentebella (Wimpy) selaku Sekretaris Departemen Energy, Republik Filipina menjelaskan bahwa saat ini di Filipina bauran energi yang berasal dari energi terbarukan mencapai 20% dan ditargetkan untuk mencapai 50% pada tahun 2040. “Dalam pencapaian tersebut pemerintah Filipina telah membuat Peta Jalan kebijakan transisi energi sejak tahun 2018-2020 yang dimulai dengan penerapan kebijakan Feed-in-tarrif (FiT) hingga standar portofolio energi terbarukan pada periode 2040”. ujar Wimpy. Sementara itu, Vu Chi Mai selaku Direktur GIZ Vietnam menyampaikan Vietnam dapat mencapai tingkat bauran energi mencapai 32% dikarenakan keberhasilan kebijakan FiT yang mendorong energi terbarukan bisa tumbuh pesat. “Tantangan kedepan dari penyediaan energi terbarukan di Vietnam adalah jaringan yang masih bersifat tertutup dan jangkauannya sangat terbatas, sehingga sulit menjangkau seluruh wilayah Vietnam jangkauannya sangat terbatas.” ujar Mai. Australia menjadi negara dengan investasi untuk teknologi energi terbarukan terbesar nomor 1 di dunia dengan rata-rata investasi untuk energi terbarukan per kapita yang mencapai 10x rata-rata pengeluaran negara-negara lain. “Investasi yang besar ini disebabkan oleh adanya permintaan terhadap energi terbarukan yang diprediksi akan mencapai 3000% dari keadaan sekarang” ujar Prof. Ken Baldwin, akademisi ANU, sekaligus menutup sesi pemaparan panelis.

Agenda Kedepan

Sebagai agenda penutup webinar ini, Simon Rolland selaku Direktur CASE menyampaikan bahwa CASE akan meluncurkan platform berisikan data-data tentang transisi energi dari negara-negara ASEAN serta mengadakan Regional SEA Energy Transtitions Dialogue pada akhir tahun 2022. “CASE juga akan berfokus untuk mengembangkan studi terkait dengan reviu kebijakan pembangkitan listrik, pemetaan pendanaan internasional untuk transisi energi, serta peran dari gas alam dalam mendukung tansisi energi” tambah Simon. Sebagai tindak lanjut dari Webinar ini, Tarek Ketelsen selaku Direktur dari AMPERES mengatakan bahwa akan diadakan 24 roundtables selama tahun 2022-2023 termasuk Executive Training dan Deep Dive Dialogue yang akan diadakan sebagai bentuk upaya peningkatan kapasitas bagi pemangku kebijakan khususnya dari Indonesia, Vietnam, dan Filipina.

 

Untuk informasi lebih lengkap, Anda dapat menyimak di tautan berikut:

https://www.youtube.com/watch?v=kCmyDT4RruE