Ari Kuncoro di Banggar DPR RI RDPU dengan Ahli Ekonomi, “Menakar Pemulihan Ekonomi Tahun 2022: Peluang, Tantangan, dan Risiko”
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – (3/2/2022) Rektor Universitas Indonesia dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., menjadi narasumber dalam Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Banggar DPR RI) Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Ahli/Pakar Ekonomi, dengan tema “Menakar Pemulihan Ekonomi Tahun 2022: Peluang, Tantangan, dan Risiko” yang berlangsung di ruang Rapat Banggar, Gedung Nusantara II DPR RI, pada Kamis (3/2/2022).
Profesor Ari Kuncoro menjelaskan bahwa pandemi memberikan shock pada pola pertumbuhan jangka panjang sehingga berpotensi meningkatkan pertumbuhan di atas pola normal 5 persen. Pada saat yang sama memberikan kesempatan untuk melakukan restrukturisasi perekonomian. Realisasi pertumbuhan dipengaruhi berbagai faktor ketidakpastian pemulihan ekonomi dunia.
Tahun 2021 saat pandemi masih tinggi penularannya dan belum adanya vaksinasi membuat inflasi yang menimbulkan guncangan struktural sangat besar dan hubungan inflasi serta pertumbuhan kembali seperti pada masa sebelum tahun 2000. Dengan banyaknya negara yang melakukan pembatasan mobilitas untuk memitigasi pandemi, efisiensi rantai pasokan dunia menurun mendekati nol dan menimbulkan masalah di sektor ketenagakerjaan yang disebut the Great Resignation.
Menurut Ari, sumber ketidakpastian pemulihan dunia menyebabkan harga minyak internasional West Texas Intermediate (WTI) mengalami fluktuasi luar biasa di dua minggu terakhir di penghujung 2021. Dari 20 Dsember 2021 dan 3 Januari 2022, harga WTI bergerak dalam kisaran lebar antara 68 hingga mendekati 78 dolar AS dan bertengger di kisaran 85 dolar per barel. Rentangan ini menunjukan ketidakpastian sangat tinggi tentang pemulihan ekonomi dunia, seperti kenaikan harga komoditas yang mencerminkan peningkatan permintaan dunia, transisi energi dunia tidak berjalan mulus, situasi geopolitik dunia, dan krisis rantai pasokan dunia.
Saat ini, sinyal kebijakan tapering sudah terakomodasi dalam indeks dolar AS. Dampak globalnya terhadap arus balik modal portepel ke AS yang menimbulkan potensi depreasi bagi mata uang negara-negara lain terutama emerging market. “Berita baiknya pemodal portepel tampaknya sudah memfaktorkan hal ini ke dalam perhitungan bisnisnya. Peluang untuk arus modal kembali ke AS sebagai safe heaven ditunjukan oleh perkembangan indeks dolar AS yang menunjukan kekuatan mata uang tersebut. Kenaikan index dolar AS sudah terjadi sejak Juni 2021,” ujar Ari.
Sementara itu, nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS akan mempengaruhi inflasi melalui barang-barang yang diimpor, baik barang jadi, bahan baku/barang input dan barang modal. “Nilai tukar Rupiah per dolar AS juga menunjukan sedikit tren depresiasi di Desember 2021 ke arah 14.400. Hal ini mencerminkan premi kehati-hatian dalam mengantisipasi perubahan kebijakan Bank Sentral AS ke arah tapering dan juga kenaikan indek dolar AS,” ungkap Ari.
Menurut Bank Indonesia sepanjang 2021 terjadi arus keluar bersih sebesar Rp80.92 triliun dari pasar surat berharga negera (SBN) dan arus masuk bersih Rp38,09 triliun di pasar saham. Data terakhir mencatat surplus masing-masing sebesar 5,73 miliar (Oktober); 3,51 miliar (November); dan 1,02 miliar (Desember) dolar AS. Ke depannya harus diwaspadai terjadinya surplus neraca dagang akan menentukan inflasi yang terimpor terutama dengan potensi kenaikan impor ketika perekonomian membaik. Selain itu, dari sisi arus modal portepel suku bunga acuan The Fed perlu dimonitor untuk mempertahankan paritas suku bunga.
Di satu sisi, munculnya varian omicron dengan segala ketidakpastiannya membuat segalanya menjadi lebih kompleks. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sebagai pengendali mobilitas mungkin akan diperketat berdasarkan diskresi tentang potensi penularan. Data terkini menunjukan terdapat co-movement antara indikator kesehatan dan indikator ekonomi yang mengandung komponen ekspektasi seperti nilai tukar, PIM dan indeks keyakinan konsumen sehingga degree of freedom kebijakan menjadi lebih baik karena trade-off yang berkurang.
“Pertumbuhan PDB 3,51 % pada triwulan III-2021 mengisyaratkan kebijakan normalisasi akan lebih bergeser ke arah diskresi pilihan waktu yang optimal. Namun, kondisi terminal defisit anggaran kembali ke 3 persen dari PDB diperkirakan akan dipertahankan untuk menuntun variabel-varabel ekspektasi terpenting ke arah kestabilan. Dengan skenario seperti ini pertumbuhan ekonomi di tahun 2022 diperkirakan akan berkisar antara 4,1 sampai 4,6 persen,” jelas Ari di penghujung pemaparannya.