Budi Frensidy: Membandingkan PDB Nominal Dengan Purchasing Power Parity

Membandingkan PDB Nominal Dengan Purchasing Power Parity

Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Ketua Senat Akademik dan Guru Besar FEB UI

 

KONTAN.CO.ID – (5/6/2023) Ada beberapa cara menunjukkan kebesaran sebuah negara. Seperti kekuatan militer, luas wilayah, jumlah penduduk, kekayaan sumber daya alam, dan volume ekspor.

Namun sejak ahli statistik memperkenalkan ukuran output nasional pada tahun 1930-an, ekonom sepakat mengacu ke satu ukuran sama, yaitu total barang dan jasa yang dihasilkan dalam wilayah sebuah negara atau produk domestik bruto (PDB).

Angka inilah yang digunakan untuk keanggotaan G20 dengan pengecualian beberapa negara Eropa yang digantikan dengan Afrika Selatan dan Argentina. Negara kita masuk kelompok bergengsi ini karena berada di peringkat 16 dunia sejak belasan tahun lalu.

Jika PDB dibagi dengan jumlah penduduk, hasilnya adalah PDB per kapita sebagai ukuran kesejahteraan rakyatnya. Jika PDB ini dikurangi produk atau pendapatan milik orang asing yang tinggal di negara itu dan ditambah pendapatan warga negara itu yang bekerja di luar negeri, kita mendapatkan produk nasional bruto (PNB) dan pendapatan per kapita untuk rata-ratanya.

Berdasarkan laporan Dana Moneter Internasional (IMF) terbaru, PDB per kapita Amerika Serikat (AS) tahun 2023 di peringkat tujuh dunia dengan US$ 80.034. Indonesia tertinggal di posisi 112 dengan US$ 5.016. Apakah pendapatan rata-rata orang AS 16 kali lipat dari kita?

Kita perlu memahami konsep purchasing power parity (PPP) yang dikembangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Universitas Pennsylvania tahun 1968 melalui International Comparisons Program (ICP) dan survei harga global.

Dalam survei pertama tahun 1970, hanya ada 10 negara. Pada 2011 jumlah yang berpartisipasi dengan menyediakan harga domestik untuk 1.000 produk yang ditentukan sudah 199 negara.

PDB per kapita awalnya membandingkan kesejahteraan warga suatu negara. Kemudian, ekonom memandang ukuran ini mengandung kelemahan. Angka ini belum memperhitungkan perbedaan standar kehidupan dan harga suatu negara. Seperti tiket bus dan kereta api, ongkos sewa rumah, iuran pendidikan, biaya kesehatan dan gaji minimum. Biaya hidup dan harga barang dan jasa yang sama diasumsikan sama di semua negara.

Menyadari harga barang dan jasa jauh lebih tinggi di AS dan negara maju daripada di negara berkembang, penggunaan PDB nominal kurang pas. Maka, diperkenalkan PDB yang memperhitungkan perbedaan harga barang dan jasa antar negara yaitu PDB PPP dan PDB per kapitanya. Menggunakan harga barang dan jasa di AS sebagai patokan, PDB per kapita PPP kita US$ 15.855 di peringkat 98 dan AS dengan angka yang sama menjadi nomor 8 dunia.

Pendapatan orang AS menjadi lima kali dari kita. Uni Emirat Arab (UEA) dengan PDB per kapita di urutan 20 dunia dan di bawah AS, melesat menjadi nomor 5 dengan mengalahkan AS. Pemeringkatan PDB nasional pun berubah.

AS yang jawara dalam PDB nominal dengan US$ 26,9 triliun dan di atas China harus turun karena PDB PPP China menjadi US$ 33 triliun setelah membandingkan harga barang dan jasa yang sama di China dan di AS. Indonesia di peringkat 16 berdasarkan PDB nominal melesat ke nomor 7. Hanya kalah dari China, AS, India, Jepang, Jerman, dan Rusia.

Konsep PPP juga digunakan untuk menghitung kurs wajar. Kita mengenal PPP absolut atau hukum satu harga dan PPP relatif. Pendekatan PPP absolut mengatakan, barang yang sama di beberapa negara mesti berharga sama.

Kita membandingkan harga Big Mac dari McDonald. Majalah Economist memiliki indeks Big Mac. Jika harga Big Mac AS US$ 5,15 dan di Indonesia Rp41.000, berdasarkan hukum satu harga, kurs wajar dollar AS menjadi Rp7.961 yaitu Rp41.000 per US$ 5,15.

Jika kurs aktual jauh dari hukum satu harga di atas, ini karena daya beli uang US$ 5,15 di AS tidak sama dengan Rp41.000 di Indonesia. PPP absolut coba direvisi dengan PPP relatif yang mengasumsikan ada kurs keseimbangan di pasar.  Ke depannya mata uang negara yang inflasi tahunannya lebih besar terdepresiasi sebesar selisih perbedaan inflasi kedua negara.

PDB PPP untuk memberikan ukuran yang lebih baik daripada PDB yang ada. Faktanya, PDB PPP banyak dikritik. Bagaimana alokasi biaya antar negara dibandingkan jika belanja makanan di China sampai sepertiga tapi di AS hanya 14%. Sementara pengeluaran untuk perumahan di China 17% dan di AS 37%?

Banyak barang dan jasa di negara kaya tidak tersedia di negara-negara miskin. Di Asia kita makan nasi sementara beras sulit dicari di Afrika. Bagaimana menghitung dan membandingkan biaya konsumsi makanan pokok ini?

Kita boleh bangga sebagai negara dengan peringkat ke-7 dan ke-16 PDB dunia. Namun per kapita, masih jauh di bawah. Semoga pada ulang tahun seabad Indonesia di tahun 2045 pendapatan per kapita kita jadi negara berpendapatan tinggi.

Sumber: https://insight.kontan.co.id/news/membandingkan-pdb-nominal-dengan-purchasing-power-parity