Dikukuhkan sebagai Guru Besar FEB UI ke-47, Telisa Aulia Falianty Ulas Adaptasi Kebijakan Moneter dan Sektor Keuangan di Era Dekarbonisasi, Digitalisasi, Multipolar Currency, dan Transformasi: Menuju Indonesia Emas 2045

Dikukuhkan sebagai Guru Besar FEB UI ke-47, Telisa Aulia Falianty Ulas Adaptasi Kebijakan Moneter dan Sektor Keuangan di Era Dekarbonisasi, Digitalisasi, Multipolar Currency, dan Transformasi: Menuju Indonesia Emas 2045

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK ā€“ (30/9/2023)Ā Universitas Indonesia mengukuhkanĀ Prof. Dr. Telisa Aulia Falianty, S.E., M.E., (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI) sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) secara offline, pada Sabtu (30/9). Prosesi ini dilaksanakan di Balai Sidang UI, Depok dan disiarkan secaraĀ virtualĀ melalui kanal YouTube Universitas Indonesia dan UI Teve.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia melalui Surat Keputusan nomor 38688/M/07/2023 menetapkan Prof. Dr. Telisa Aulia Falianty, S.E., M.E., sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Moneter, pada 1 Agustus 2023. Prof. Telisa merupakan guru besar tetap UI di FEB yang ke-47 sepanjang tahun 2023.

Rektor Universitas Indonesia Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., menyampaikan bahwa total guru besar UI saat ini sebanyak 413 orang. Guru besar NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional) sebanyak 310 dan guru besar NIDK (Nomor Induk Dosen Khusus) sebanyak 103. “Selamat untuk Prof. Telisa yang telah dikukuhkan sebagai guru besar tetap FEB UI,” ucap Prof. Ari.

Upacara pengukuhan Prof. Telisa diselenggarakan bersamaan dengan Guru Besar Tetap UI lainnya, yakni Prof. Sri Rahayu Hijrah Hati, S.E., M.Si., Ph.D., (Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis).Ā  Pada pengukuhannya, Prof. Telisa mengutarakan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung penuh perjalanan hidup dan pencapaian guru besar tersebut. Dalam upacara pengukuhan, Prof. Telisa menyampaikan pidato dengan judul ā€œAdaptasi Kebijakan Moneter dan Sektor Keuangan di Era Dekarbonisasi, Digitalisasi, Multipolar Currency, dan Transformasi: Menuju Indonesia Emas 2045ā€.

Pidato pengukuhan Prof. Telisa disampaikan dalam kaitannya mengulas berbagai tantangan yang dihadapi kebijakan moneter di tengah megatrend dekarbonisasi dan digitalisasi serta meningkatnya tren penerapan Environment, Social, and Governance (ESG) di Arena Global dan juga di masa transformasi ekonomi nasional untuk mencapai Visi Indonesia 2045, serta juga bersaaman di dunia yang terfragmentasi, salah satunya Multipolar Currency World. Rincian Visi Indonesia 2045 sebagai negara berdaulat, artinya ketahanan, kesatuan, tangguh dan aman. Kedua, maju artinya berdaya saing, modern, unggul, inovatif dan adil. Selain itu, sebagai negara berkelanjutan, artinya lestari dan seimbang antara pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan.

Perekonomian yang tumbuh pada beberapa dekade terakhir telah meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan di tengah masyarakat global. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi tersebut juga memiliki dampak yang tidak sedikit pada lingkungan hijau. Memperhatikan kondisi dan potensi tersebut, pemimpin dunia telah mencanangkan berbagai upaya dalam menjaga lingkungan, salah satunya melalui Paris Agreement tahun 2015, yang berkomitmen untuk menahan laju temperatur global di bawah 2 derajat celcius di tahun 2030, meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak buruk perubahan iklim & mendorong ketahanan iklim & pembangunan rendah karbon, serta membuat aliran keuangan yang konsisten dengan arah pembangunan rendah karbon & ketahanan iklim.

Bank sentral adalah aktor penting dalam transisi menuju net zero dengan 3 alasan, yaitu pertama, mereka dapat mengelola risiko terhadap sistem keuangan dan ekonomi secara keseluruhan yang timbul karena perubahan iklim. Kedua, mereka telah menjadi pelaku pasar dan dapat membantu menyalurkan dana menjadi investasi berkelanjutan untuk membiayai transformasi hijau. Ketiga, mereka berbagi keahlian untuk mendorong perubahan perilaku. Langkah-langkah yang dilakukan oleh bank sentral untuk mengatasi isu-isu ini biasanya disebut sebagai ā€˜bank sentral hijauā€™. Motivasi bank sentral beragam, mulai dari kebutuhan untuk memahami dan menjelaskan potensi dampak perubahan iklim terhadap makroekonomi dan secara lebih spesifik terhadap stabilitas keuangan dan kebijakan moneter.

Diskusi peran bank sentral dalam mengatasi risiko terkait perubahan iklim dan mendukung perkembangan keuangan hijau semakin intensif. Sebagian besar bank sentral telah diberi mandat secara eksplisit berkontribusi pada pertumbuhan/pembangunan keberlanjutan. Kemudian mendukung kebijakan ekonomi pemerintah, yang biasanya mencakup tujuan keberlanjutan. Bank sentral lainnya tidak menyebutkan secara eksplisit maupun implisit, namun mulai terlibat kegiatan ekonomi hijau.

Dalam pembahasan mengenai perubahan iklim, beberapa bank sentral sudah menerapkan kebijakan pemberian insentif kepada perusahaan apabila mampu mengurangi emisi karbon. Sebagai contoh adalah Bank Rakyat China yang meluncurkan program untuk Fasilitas Pengurangan Emisi Karbon dengan program pinjaman hijau, dimana target pinjaman adalah menyediakan 60% dari pinjaman utama yang dibuat oleh lembaga keuangan untuk mengurangi emisi karbon dengan tingkat pinjaman 1,75% dalam setahun.

Tanggal 26 September 2023 menjadi tonggak bersejarah dalam bursa karbon di Indonesia, karena baru pertama kali diluncurkan. Pasar karbon mengacu pada pasar dimana setiap unit kredit karbon, mewakili pengurangan emisi, dipertukarkan dalam kerangka kerja yang ditentukan. Pasar karbon menempatkan persyaratan untuk mengurangi emisi (sisi permintaan) dan memungkinkan untuk perdagangan emisi karbon (sisi penawaran).

Pemerintah Indonesia mencanangkan target dalam Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 sekaligus Net Zero Emmision (NZE) pada 2060. Dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89% dengan upaya sendiri, dan sebesar 43,20% melalui dukungan internasional pada 2030. Melanjutkan kesepakatan tersebut, skema-skema perdagangan karbon global pun dilaksanakan untuk menjaga jumlah emisi karbon. Perdagangan karbon di dunia umumnya dilakukan melalui bursa dengan standar satuan tertentu.

Indonesia memiliki potensi pasar karbon yang besar. Terdapat hutan tropis terbesar ketiga di dunia seluas 125 juta hektar, Indonesia memiliki potensi besar memimpin pasar karbon yang diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon, namun belum memiliki mekanisme pasar yang terintegrasi dalam pengelolaannya. Perdagangan karbon merupakan salah satu cara untuk mengontrol emisi karbon di suatu negara. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, jika pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan harga 5 USD atau setara Rp74.500 di pasar karbon, maka potensi pendapatan Indonesia mencapai 113,18 miliar ton karbon akan menjadi senilai 565,9 miliar USD atau setara dengan Rp8.400 triliun.

Sebagai bentuk komitmen terhadap pengendalian emisi, perdagangan karbon melalui bursa karbon telah memiliki payung hukum dengan disahkannya UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Karbon tersebut akan diperdagangkan di bursa karbon. Berdasarkan UU tersebut, bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pasar yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Peraturan OJK yang baru terbit, yaitu POJK No 14 Tahun 2023.

Tantangan yang dihadapi oleh kebijakan moneter dan sektor keuangan yang juga diulas oleh Prof Telisa adalah mengenai Multipolar Currency World. Sebenarnya ini sudah dimulai ketika Eropa menerbitkan Euro di tahun 1999, kemudian kembali menguat pasca internasional Renminbi dengan masuknya China pada Special Drawing Right IMF di tahun 2015 (Falianty, 2019), kemudian wacana dedolarisasi BRICS. Hegemoni US Dolar sebagai international currency semakin mendapatkan tantangan di tengah berbagai anomali yang terjadi untuk Amerika Serikat sebagai safe heaven asset yang mengalami ketidakstabilan dalam ekonominya sehinngga suku bunga dunia mengalami yang disebut sebagai ā€œhigher for longerā€. BRICS akan mengeluarkan mata uang untuk transaksi antar negara anggota dan akan didukung emas. Kajian lebih lanjut diperlukan untuk memutuskan posisi Indonesia dalam hal ini, dan di domestik dan regional sendiri Indonesia dan ASEAN sudah menjalankan local currency settlement (LCS) untuk mengurangi ketergantungan terhadap US Dolar.

Transformasi ekonomi merupakan titik kunci untuk meningkatkan produktivitas dengan mengubah struktur perekonomian dari lower productivity ke higher productivity atau meningkatkan produktivitas di dalam sektor tersebut. Dalam draft RPJPN 2025-2045 yang sedang disusun untuk pembangunan ekonomi Indonesia ke depan atau Visi Indonesia Maju 2045 mencakup transformasi sosial, transformasi ekonomi, transformasi tata kelola, hingga landasan transformasi, meliputi supremasi hukum, stabilitas, ketangguhan diplomasi, serta ketahanan sosial budaya & ekologi. Presiden RI Joko Widodo menegaskan bahwa ada tiga hal pokok yang menjadi acuan pembangunan Indonesia, yakni stabilitas bangsa yang terjaga, keberlanjutan dan kesinambungan, serta sumber daya manusia yang berkualitas. Visi Indonesia Emas 2045 juga menargetkan Indonesia sebagai negara yang memiliki kepemimpinan dan pengaruh yang kuat di dunia internasional, dengan kemiskinan mendekati 0 persen dan ketimpangan berkurang. Untuk memastikan tercapainya tujuan tersebut kebijakan moneter dan sektor keuangan perlu beradaptasi untuk lebih agile dalam mendorong transformasi ekonomi nasional sesuai amanat baru dalam UUP2SK untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan salah satunya melalui hilirisasi dan dukungan pembiaayaan hilirisasi menjadi salah satu agenda penting, dengan tetap berpegang pada aturan prudential dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

Manajemen risiko ke depan yang perlu diperhatikan oleh otoritas moneter maupun keuangan adalah terkait Rupiah Digital. BI memberi perhatian pada pentingnya mengadopsi mata uang digital. BI mempertimbangkan perilaku publik atau permintaan terhadap uang digital, baik dalam bentuk cryptocurrencies atau uang digital yang saat ini telah banyak digunakan; serta potensi dampaknya terhadap stabilitas dan pertumbuhan makroekonomi. BI melarang cryptocurrencies sebagai bentuk pembayaran, karena bentuk pembayaran resmi di Indonesia dalam rupiah, tetapi cryptocurrencies bisa digunakan sebagai alat investasi/trading.

Bank Indonesia memiliki rencana untuk mengeluarkan mata uang digital atau CBDC (Central Bank Digital Currency), dengan tiga pertimbangan dalam rencana mengeluarkan CBDC. Pertama, Mata uang digital merupakan otoritas BI sebagai bank sentral. Kedua, CBDC akan mendukung penerapan moneter, makroprudensial dan kebijakan sistem pembayaran, termasuk persiapan penggabungan infrastruktur pasar keuangan, devisa dan sektor keuangan. Ketiga, BI sangat mempertimbangkan teknologi untuk dimanfaatkan secara optimal dengan mengamati dan mengadopsi teknologi dan platform yang digunakan di negara lain.

Menurut Prof. Telisa, terdapat 5 poin untuk kebijakan moneter dan keuangan menuju Indonesia Emas 2045, sebagai berikut:

1) Kolaborasi harus diperkuat antara otoritas moneter dan sektor keuangan melalui transisi dari sisi konvensional ke arah digitalisasi dan juga ekonomi hijau. Promosi terkait investasi rendah karbon dan kolaborasi dengan berbagai stakeholder untuk mengelola risiko terkait iklim. Selain itu, kita harus bersiap dengan perubahan sektor keuangan ke arah digitalisasi dengan memprioritaskan keamanan dan data privasi, roadmap bertahap yang terencana dan bertahap (staging) dan memastikan keterlibatan semua stakeholder yang relevan untuk membangun ekositem digital dan hijau yang kuat;

2) Kebijakan moneter dan sektor keuangan perlu menyesuaikan tren dekarbonisasi dan penerapan environmental social and governance (ESG) dengan mengukur dan menilai risiko keuangan yang dapat timbul dari perubahan iklim dan ESG faktor lainnya, mendukung dengan menentukan strategi dan langkah-langkah kebijakan yang efektif untuk engurangi risiko keuangan dari iklim perubahan dan faktor ESG lainnya, menilai integrasi faktor-faktor ESG dalam inti tugas, proses organisasi dan sistem dan struktur di otoritas monter dan keuangan, memberikan masukan mengenai keberlanjutan bank sentral kinerja organisasinya sendiri; seperti pengadaan berkelanjutan dan jejak karbon, meneliti seksama kemungkinan burden sharing antara otoritas moneter dan fiskal dalam darurat pembiayaan proyek antisipasi perubahan iklim, memberikan insentif moneter dan keuangan bagi proyek-proyek yang mendukung transisi energi dan ekonomi hijau, meningkatkan efektivitas pengungkapan kinerja ESG bank dan lembaga keuangan terhadap masyarakat dan pemangku kepentingan, memastikan bahwa otoritas moneter dan regulator sektor keuangan memahami dan menilai ruang lingkup dan ukuran dari risiko yang timbul untuk stabilitas keuangan dari tantangan sosial dan lembaga keuanganperaturan mengenai green bond dan social bond perlu terus disempurnakan dan disiapkan agar memberikan insentif bagi pelaku ekonomi untuk lebih tertarik dalam berpartisipasi di keuangan hijau, pengembangan instrumen kebijakan moneter dan keuangan yang mumpuni;

3) Kebijakan moneter dan sektor keuangan sesuai dengan amanah baru UU No 4 Tahun 2023 harus mampu berdaptasi dan bertransformasi di era transformasi ekonomi nasional dengan Visi Indonesia 2045 menuju negara yang berdaulat, maju, dan berkelanjutan. Koneksi/nexus yang belum optimal antara sektor moneter dan sektor riil perlu terus ditingkatkan melalui insentif/disinsentif level of playing field yang sama antara sektor moneter/keuangan dengan sektor riil dan mendorong terus intermediasi dari sektor keuangan dan riil yang sehat dan berkelanjutan.

4) Kebijakan moneter dan sektor keuangan yang memberikan ruang bagi inovasi dan digitalisasi memang sangat diperlukan untuk semakin meningkatkan efisiensi dan kemudahan transaksi keuangan sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi secara lebih lanjut. Namun kuncinya adalah financial development dan innovation yang terkendali dengan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan, berdaya tahan terhadap serangan siber, menjaga keamaanan dan privasi data, memperhatikan kesiapan masyarakat dari berbagai kelompok pendapatan, serta prinsip kemanfaatan bahwa harus tetap bermanfaat untuk mendukung kesejahteraan masyarakat secara komprehensif;

5) Kebijakan moneter dan keuangan harus juga agile terhadap peningkatan ketidakpastian global, banyaknya anomali, dan geopolitik dan geoekonomi yang terfragmentasi, termasuk multipolar currency world, Indonesia tetap harus on going untuk mengurangi ketergantungan hanya kepada satu mata uang dan tetap mendorong Rupiah dan suku bunga menuju tingkat ekuilibrium lebih baik untuk mendukung agenda pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai penutup, Prof. Telisa mengungkapkan, ā€œkebijakan moneter tidak hanya bisa rigid pada pencapaian stabilitas inflasi dan sistem keuangan saja tetapi perlu memikirkan keberlanjutan di sektor riil dengan mengoptimalkan koordinasi, harmonisasi, dan sinkronisasi, kemudian membantu membentuk ekosistem yang terintegrasi dan memberikan kesempatan bagi semua stakeholder yang relevan, menjadi kata yang kritikal. Ke depan marilah kita mulai untuk terus adaptif dan bekerja keras serta bersinergi dalam mencapai cita-cita mulia, mewujudkan nilai tambah yang semakin baik untuk pribadi, keluarga, bangsa, dan negara. Akhirnya, pembangunan berkelanjutan tersebut adalah sebuah realitas dan keniscayaan, mewarisi anak cucu dengan stabilitas moneter dan keuangan lebih baik, dengan masyarakat sejahtera lahir batin menikmati semua hasil inovasi dan pembangunan di sektor keuangan dan riil tapi sekaligus menikmati keseimbangan alam yang lestari.ā€

Prof. Telisa menyelesaikan pendidikan Sarjana Ekonomi, Jurusan Ilmu Ekonomi di FEB UI, pada 2001. Lalu, berhasil meraih gelar Master Ilmu Ekonomi di FEB UI, pada 2003. Kemudian, Doktor Ilmu Ekonomi, pada 2006 di FEB UI. Prof. Telisa juga telah menghasilkan berbagai karya ilmiah yang telah dipublikasikan di berbagai jurnal, baik internasional dan nasional dan juga beberapa buku ajar. Prof Telisa juga pernah mendapatkan penghargaan sebagai Pengajar Terbaik Eksternal Bank Indonesia 2023,Ā  Ketua Program Studi Berprestasi Juara 2 Tingkat UI 2016, dan lulusan termuda atau tercepat dengan IPK tertinggi di UI, baik di tingkat S-1, S-2 maupun S-3 (2001, 2003, 2006). Selain itu, Prof. Telisa juga terlibat dalam berbagai kegiatan, baik akademis, pemerintahan, maupun non-pemerintah, seperti pengabdian masyarakat, kegiatan profesional yang memberikan dampak pada ekonomi, lingkungan, dan sosial. Prof. Telisa sangat bersyukur dengan pengukuhan ini dan berterimakasih pada semua pihak yang telah memberikan support.