Budi Frensidy: Kriteria Ketiga Dalam Berinvestasi

Kriteria Ketiga Dalam Berinvestasi

Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Guru Besar FEB UI

 

KONTAN – (23/10/2023) Ungkapan low risk, low return dan high risk, high return dipercaya berlaku untuk investasi dalam instrumen apa pun. Return besar tidak pernah datang sendirian tetapi selalu disertai pasangan abadinya yaitu risiko.

Tidak bisa untung tanpa mengambil risiko. Selain return dan risiko, apa lagi yang Anda harus perhatikan? Tidak ada jawaban tunggal untuk pertanyaan ini.

Likuiditas

Jika mengacu kepada market microstructure, cabang ilmu keuangan yang berkembang setelah Black Monday Crash 1987 di Wall Street, aspek ketiga itu adalah likuiditas. Inilah keunggulan aset finansial atas aset riil. Tanpa likuiditas, pasar modal menjadi tidak menarik dan kehilangan peran sebagai sarana investasi sekaligus sumber pembiayaan.

Mengenai pentingnya likuiditas, Handa dan Schwartz (1996) berpendapat, ”Investors want three things from the market: liquidity, liquidity, and liquidity.” Sudah sewajarnya likuiditas sebagai strategi exit, dipandang sama pentingnya seperti return dan risiko.

Mengingat begitu pentingnya likuiditas, harusnya ada satu pemahaman yang sama mengenai istilah ini yang diterima semua pihak. Kenyataannya, belum ada kesepakatan mengenai definisi likuiditas di antara para pelaku pasar. Investor dan regulator mengukur dari volume dan frekuensi transaksi.

Semakin besar volume dan frekuensi transaksi berarti semakin tinggi likuiditas.  Inilah kriteria Bursa Efek Indonesia (BEI) menetapkan 45 saham terlikuid (LQ-45) setiap enam bulan. Kriteria lain, mudahnya suatu aset dicairkan menjadi kas saat dibutuhkan. Ini sesuai dengan asal kata likuiditas, yaitu likuid atau cairan.

Sejatinya, menurut teori, suatu aset disebut likuid jika dapat ditransaksikan dengan cepat pada biaya yang rendah dalam jumlah besar sekalipun tanpa mempengaruhi harga. Berdasarkan konsep ini, Larry Harris dalam bukunya Trading & Exchanges: Market Microstructure for Practitioners (2003) mengatakan kalau konsep likuiditas mempunyai empat dimensi yaitu immediacy, width, depth, dan resiliency.

Kemencengan

Ilmu statistik terbagi dua, yaitu deskriptif dan inferensial. Statistika deskriptif berhubungan dengan deskripsi data, seperti rata-rata (momen pertama), penyebaran  (dispersi) data sebagai momen kedua, kemencengan atau kemiringan distribusi data (momen ketiga), dan kelancipan atau kurtosis data (momen keempat).

Return dan risiko sejatinya adalah momen pertama dan kedua, yaitu mean dan standar deviasi. Dunia investasi menyebutnya analisis mean-variance atau teori portofolio dua momen yang diperkenalkan Markowitz (1952). Standar deviasi adalah akar varians.

Dengan demikian, aspek ketiga yang mesti diperhitungkan investor menurut statistika adalah kemencengan return. Investor akan mencari dan mengejar efek yang mempunyai kemiringan positif atau ekor kanan.

Literatur keuangan yang ada mengatakan, kemencengan positif ini tidak akan diperoleh jika seseorang melakukan diversifikasi. Buat investor ritel, diversifikasi adalah pilihan. Tidak diversifikasi yang sangat ditentang dalam analisis mean-variance menjadi dapat dibenarkan dalam teori portofolio tiga momen.

Penelitian tentang ini sudah dimulai dari Arditti (1967) kemudian Simkowitz & Beedle (1978) dan dilanjutkan Conine & Tamarkin (1981).  Scott & Horvath (1980) membuktikan kalau investor bersedia membayar premi tambahan untuk aset yang dapat memberikan kemencengan return positif.

Teori portofolio mean-variance-skewness ini menjelaskan, mengapa sebagian besar investor saham di hampir semua bursa di dunia tidak melakukan diversifikasi.

Mereka mengejar return abnormal tinggi atau ekor kanan walaupun kemungkinannya kecil. Itu juga yang terjadi di BEI menurut hasil penelitian dari disertasi saya belasan tahun lalu. Saat itu jumlah investor ritel di bursa masih di bawah 200 ribu orang.

Impact

Jangan lupakan konsep bisnis keberlanjutan yang mengukur kesuksesan sebuah perusahaan menggunakan triple bottom line yaitu people, planet, dan profit (3P).

Perusahaan kini tidak lagi bisa hanya terpaku pada keuntungan finansial, juga harus memperhatikan efeknya kepada masyarakat dan lingkungan.

Sejalan dengan ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 2015 memperkenalkan konsep SDG (sustainable development goals) dengan 17 tujuan dan 169 target untuk tahun 2030.

Dulu korporasi cukup melaporkan kegiatan corporate social responsibility (CSR) dalam annual report. Sejak 2021 lembaga keuangan dan perusahaan publik wajib membuat sustainability report (SR). Isinya menjelaskan tujuan dan target SDG yang sudah dan akan dicapai ke depan.

Tanpa SR dan tata kelola yang baik, sebuah korporasi akan dipandang tidak ramah lingkungan dan keberlanjutan mereka diragukan. Tidak sedikit yang sudah menerbitkannya sebagai laporan terpisah.

Saat ini agar dapat menjadi importir, vendor, dapat pendanaan murah, dipercaya pemasok, dan dilirik investor luar negeri, emiten mesti memperhatikan ESG (environmental, social, dan governance). Beberapa emiten merasa perlu untuk mendapatkan sertifikat industri hijau.

Mengikuti tuntutan para pemangku kepentingan lainnya, selain tata kelola, investor institusi juga mempertimbangkan impact sebagai aspek ketiga dalam keputusan investasi mereka. Dalam beberapa event penjurian untuk memilih emiten dan entrepreneur terbaik, salah satu kriteria utama kami adalah apakah ada inovasi dan apakah inovasi itu mempunyai impact besar.

Kesimpulannya, aspek terpenting ketiga yang diperhatikan investor bisa likuiditas, skewness, atau impact (tata kelola). Jadi, investor lihai tidak hanya melihat expected return dan risiko tetapi juga satu hingga tiga kriteria lainnya.

 

Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 23 Oktober 2023. Rubrik Portofolio – Wake Up Call. Halaman 4.