Seminar Series Dies Natalis 73 FEB UI, Departemen Manajemen: Sustainability Social Commerce di Indonesia, Tantangan Kreativitas Seller dan Social Influencer dalam Scale-up Bisnis

Seminar Series Dies Natalis 73 FEB UI, Departemen Manajemen: Sustainability Social Commerce di Indonesia, Tantangan Kreativitas Seller dan Social Influencer dalam Scale-up Bisnis

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (15/11/2023) Masih dalam rangka sukacita Dies Natalis ke-73, Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menggelar Seminar Series bertajuk “Sustainability Social Commerce di Indonesia, Tantangan Kreativitas Seller dan Social Influencer dalam Scale-up Bisnis” pada Rabu (15/11) di Auditorium Departemen Manajemen FEB UI Depok, dengan dihadiri oleh peserta secara luring dan daring menggunakan platform Zoom.

Acara diisi oleh pembicara Prof. Rahayu Hijrah Hati, Ph.D. (Guru Besar FEB UI), Muhammad Darun Nasihin, S.E. (Founder Runscale – Digital Marketing Consultant dan Alumni Bisnis Islam FEB UI), serta Farah Diba Ariyanti, M.S.M. (Social Media Influencer dan Alumni PPIM FEB UI). Sesi pemaparan dipandu oleh Hapsari Setyowardhani, S.E., M.M. (Dosen FEB UI) sebagai moderator.

Mengawali sesi, Prof. Sri Rahayu, menjelaskan perbedaan social media, marketplace, dan social commerce. Social media merupakan platform yang berfokus menghubungkan dengan teman, keluarga, dan hobi, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Hubungannya bersifat personal, umumnya hanya untuk memperoleh hiburan dan informasi sehingga pembeli akan diarahkan ke link eksternal di luar platform. Berbeda, marketplace memberikan fasilitas transaksi (penghubung) antara penjual dengan banyak pembeli, seperti Amazon, Etsy, eBay, Shopee, dan Tokopedia.

Namun, saat ini telah berkembang social commerce, yakni platform social media yang memungkinkan penggunanya untuk bertransaksi, termasuk mencari dan membeli produk. Platform ini di antaranya Facebook Marketplace, Instagram Shopping, dan Pinterest Buyable Pins.

Prof. Sri Rahayu menuturkan, “Jika mengulas kembali perkembangan sejarah, marketplace telah hadir lebih dulu, tepatnya Amazon pada 1994 dan eBay pada 1995. Setelah itu, disusul oleh social media pertama, yakni SixDegrees.com pada 1997 dan Friendster pada 2002.”

“Meski demikian, social media berkembang lebih cepat dibandingkan marketplace karena beberapa faktor, di antaranya kemudahan penggunaan, tidak seperti marketplace yang perlu melibatkan sistem pembayaran atau akses keuangan; keterlibatan pengguna yang sangat tinggi; serta multiguna mencakup komunikasi, jaringan, dan hiburan,” pungkasnya.

Berdasarkan data dari Statista, meningkatnya jumlah pengguna internet dan semakin terjangkaunya ponsel pintar berhasil mengubah lingkungan media sosial di Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menggunakan ponsel pintar dan mereka menggunakannya hampir dalam segala hal untuk membuat hidup mereka lebih mudah.

Dengan tingkat penetrasi sekitar 92 persen, WhatsApp merupakan jejaring sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, social media adalah cara mudah untuk menghubungi keluarga di lokasi terpencil di nusantara, ini memungkinkan untuk terus berinteraksi dengan keluarga dan teman serta membuat mereka tetap up-to-date dengan berita harian.

Kemudian, Darun memaparkan bahwa ranah digital marketing mengenal customer journey, yakni fase perjalanan konsumen mulai dari menemukan hingga akhirnya terdorong membeli produk dan seterusnya. Fokusnya tidak hanya pada transaksi, tetapi pada perasaan pelanggan setelah melalui beberapa proses dengan brand, mencakup kemudahan, kecepatan, dan kepuasan. 

“Social commerce mampu menciptakan customer journey yang sangat baik, memungkinkan pembeli dan penjual berinteraksi dengan lebih leluasa. Penggunanya dapat bertransaksi langsung  saat menggunakan social media secara cepat dan mudah, tanpa harus masuk ke situs atau aplikasi lain,” ungkapnya.

Hal ini dibuktikan oleh survei Populix yang menyatakan bahwa sebanyak 86 persen dari 1.020 orang responden Indonesia pernah berbelanja melalui social media. Dari kelompok ini, mayoritas (54 persen) berbelanja di Tiktok Shop. Sementara responden yang pernah belanja lewat WhatsApp, Facebook, Instagram, dan aplikasi media sosial lainnya lebih sedikit.

Menurut Darun, social commerce berdampak positif membantu membuka peluang bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia untuk mendorong brand awareness dan meningkatkan omsetnya. Selain itu, menciptakan pekerjaan baru, seperti live streamer, affiliator, dan content creator.

Hal selaras disampaikan oleh Farah Diba. Ia menceritakan perjalanan kariernya sebagai social influencer yang hadir karena kehadiran social media dan social commerce. Hingga kini, tren influencer terus berkembang pesat sebagai bagian dari masyarakat modern. Semua berawal dari hobinya membagikan konten make up dan outfit di social media hingga brand mulai menawarkan untuk kerja sama berbayar.

Influencer tidak hanya dilihat dari jumlah followers, tetapi dari keunikan profil atau personal brandingnya di social media. Selain itu, kekuatannya dalam memengaruhi keputusan pembelian dan kesesuaian nilai konten dengan target audience,” jelasnya.

Menurut Farah Diba, influencer perlu menjalin kedekatan hubungan (engagement) dengan sering berinteraksi serta membangun kepercayaan dengan membagikan ulasan yang jujur dan benar disukai. Oleh karena itu, ia lebih selektif memilih dan mempromosikan produk.

Akhir kata, ia memberikan saran kepada brand untuk memilih influencer yang memiliki karakteristik dan kepribadian (buyer persona) sesuai karena ia akan menjadi ‘wajah’ dari brand tersebut. Pastikan pula influencer memiliki jejak reputasi yang baik. Perlu diingat, mengendorse banyak influencer tidak selalu efektif, maka batasi jumlahnya.