Ari Kuncoro: Kurva Philips dan Inflasi yang Diimpor

0

Kurva Philips dan Inflasi yang Diimpor

Oleh: Rektor Universitas Indonesia Prof. Ari Kuncoro, Ph.D.

 

KOMPAS – (4/1/2022) Bilamana Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed akan melakukan pengurangan pembelian aset finansial menjadi topik pembicaraan hangat karena dampak globalnya.

Pemodal portepel tampaknya sudah memfaktorkan hal ini dalam perhitungan bisnisnya. Peluang untuk arus modal balik ke AS sebagai safe haven tampak dari perkembangan indeks dollar AS yang menunjukkan kekuatan mata uang itu.

Kenaikan indeks dollar AS sudah terjadi sejak Juni 2021. Saat itu masih tercatat di angka 90-an. Namun, akselerasi peningkatannya baru terjadi satu bulan terakhir, sejak November, hingga indeks mencapai 95,7 pada akhir 2021.

Hal ini terjadi setelah publik membaca inflasi AS yang meroket di atas rata-rata jangka panjangnya (sekitar 2 persen) sejak April 2021. Menjadi pertanyaan, mengapa sampai November 2021 The Fed terkesan dovish (jinak-jinak merpati) terhadap inflasi. Jawabannya kemungkinan besar ada pada kurva Philips yang secara ringkas menggambarkan struktur perekonomian.

Kurva Philips

Sebelum pandemi, di kalangan ekonom di AS sempat marak terjadi diskusi tentang kurva Philips yang mendatar (Kuttner dan Robinson; 2010). Kurva Philips merupakan hubungan jangka panjang antara inflasi dan pertumbuhan atau antara inflasi dan pengangguran. Semakin tinggi pertumbuhan, makin tinggi inflasi. Alternatifnya, makin rendah pengangguran, makin tinggi inflasi.

Perkembangan selanjutnya menunjukkan, hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ini melemah dengan makin rendahnya inflasi tahunan di AS. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa kurva Philips sudah lenyap atau menjadi lebih datar. Artinya, hubungan antara output gap dan inflasi makin lemah.

Penyebabnya, kebijakan Bank Sentral AS yang berhasil membuat ekspektasi inflasi jadi stabil melalui inflation targeting yang kredibel. The Fed mempunyai mandat melakukan kebijakan moneter yang menjaga welfare dari rumah tangga dengan meminimalkan fluktuasi (standar deviasi) dari output gap dan inflasi.

Dengan kurva Philips mendatar, tugas The Fed sekilas terlihat ringan, hanya menuntun ekspektasi inflasi. Seolah-olah perekonomian jadi imun terhadap guncangan, padahal skala guncangan juga penting diperhatikan. Faktor lain adalah terjadinya perubahan struktur globalisasi produksi yang membuat deviasi output dari pola normal cepat ditutup dengan makin efisiennya rantai pasokan dunia (Goodhart dan Pradhan; 2019).

Inflasi pada 2021, saat pandemi masih berlangsung, menimbulkan guncangan struktural sangat besar sehingga membuat hubungan inflasi dan pertumbuhan kembali seperti pada masa sebelum tahun 2000. Dengan banyaknya negara yang membatasi mobilitas untuk memitigasi pandemi, efisiensi rantai pasokan dunia menurun mendekati nol.

Pada saat yang sama, Pemerintah AS melakukan kebijakan transfer pendapatan untuk menyubsidi rumah tangga. Sementara The Fed melakukan pembelian aset finansial untuk mendukung likuiditas perekonomian. Ibaratnya sisi permintaan konsumen menjadi seperti mobil dengan mesin yang dilengkapi turbocharger.

Di sisi produksi, kurangnya tenaga kerja, kenaikan harga energi, serta disrupsi logistik di pelabuhan dan transportasi truk mengakibatkan sisi penawaran tidak dapat memberikan respons cepat. Kombinasi ini menimbulkan overshooting inflasi. Indeks harga konsumen (CPI) di AS tercatat 6,8 persen pada November 2021, tertinggi sejak 1982.

Tekanan inflasi ini membuat kurva Philips yang semula dinyatakan hilang atau mati bangkit kembali. The Fed pun berbalik menjadi lebih galak (hawkish) terhadap inflasi.

The Fed segera mengindikasikan adanya perubahan kebijakan (pivot) untuk tapering. Survei CNBC di AS dengan responden ekonom terkemuka dan manajer dana portepel bereputasi memperkirakan pada Maret 2022 The Fed akan menghentikan pembelian aset finansial. Program tapering ini dimulai Desember 2021 dengan pengurangan 30 miliar dollar AS per bulan. The Fed juga memberikan sinyal akan ada tiga kenaikan suku bunga pada 2022, disusul tiga lagi pada 2023.

Pesan dari kebijakan tapering adalah Indonesia harus mewaspadai jalur transmisi ke perekonomian domestik melalui inflasi dari rantai pasokan global dan jalur nilai tukar. Angka inflasi tahunan bulan November tercatat 1,75 persen, merupakan yang tertinggi pada 2021.

Yang menjadi pertanyaan apakah tren peningkatan itu menunjukkan peningkatan permintaan yang selama ini tertekan karena pembatasan mobilitas atau lebih disebabkan kekakuan sisi penawaran, baik dalam negeri maupun luar negeri, yang berasal dari bahan baku, barang setengah jadi yang diimpor untuk digunakan dalam proses produksi.

Jika dilihat dari kelompok pengeluaran, inflasi tampaknya berawal dari sisi produksi. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau merupakan penyumbang terbesar inflasi November. Permintaan di kelompok ini bersifat inelastis terhadap harga. Inflasi lebih banyak berasal dari input yang diimpor, nilai tukar, serta faktor musiman, seperti hujan dan banjir.

Yang patut dicermati adalah dampak dari fragmentasi rantai pasokan dunia yang dicontohkan dengan kenaikan harga minyak goreng dalam kelompok makanan sebagai imbas dari kenaikan harga minyak sawit di pasar dunia. Kenaikan harga itu diakibatkan oleh meningkatnya permintaan dan efek berantai krisis energi dunia.

Kurs rupiah akan memengaruhi inflasi melalui barang-barang yang diimpor, baik barang jadi, bahan baku/barang input, maupun barang modal. Nilai tukar rupiah per dollar AS menunjukkan sedikit tren depresiasi pada Oktober dan November 2021 ke arah Rp 14.400 per dollar AS. Ini mencerminkan premi kehati-hatian yang mengantisipasi perubahan kebijakan Bank Sentral AS ke arah tapering dan juga kenaikan indeks dollar AS.

Menurut Bank Indonesia, sepanjang 2021 terjadi arus keluar bersih sebesar Rp80,92 triliun dari pasar surat berharga negara (SBN) dan arus masuk bersih sebesar Rp38,09 triliun di pasar saham. Neraca dagang mengalami surplus selama 19 bulan berturut-turut, mengompensasi arus modal keluar bersih. Ini turut berperan pada penguatan nilai tukar di pengujung 2021 ke arah Rp14.250 per dollar AS.

Ke depan, pergerakan surplus neraca dagang akan menentukan inflasi yang diimpor, terutama dengan potensi kenaikan impor ketika perekonomian membaik. Selain itu, dari sisi arus modal portepel suku bunga acuan The Fed perlu dimonitor untuk mempertahankan paritas suku bunga.

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 4 Januari 2022. Rubrik Analisis Ekonomi – Umum. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.