Mirza Adityaswara: Mengelola Risiko Kenaikan Bunga The Fed

0

Mengelola Risiko Kenaikan Bunga The Fed

Mirza Adityaswara, Ekonom dan Ketua Indonesia Fintech Society (IFSOC)

 

KOMPAS – (11/1/2022) Sebagai negara yang sangat bergantung pada aliran modal, Indonesia harus memperhatikan apa yang terjadi pada kebijakan ekonomi dan moneter negara besar, utamanya Amerika Serikat serta China.

Kita baru sepuluh hari di tahun 2022. Memang masih terlalu awal untuk melihat tren karena banyak pelaku pasar keuangan global yang belum kembali dari liburan. Walaupun demikian, dalam seminggu, kinerja pasar keuangan global mengirimkan sinyal yang cukup seragam, yaitu kekhawatiran akan kenaikan suku bunga The Fed. Indeks saham teknologi AS, Nasdaq, turun 5,7 persen dan indeks S&P 500 turun 2,5 persen. Indeks FTSE di London turun 0,3 persen dan bursa saham Shanghai turun 1,8 persen.

Karena ekonomi AS sudah bangkit dari krisis Covid-19, The Fed perlu mengurangi stimulus moneter dan menaikkan suku bunga. Sebab, jika dibiarkan, timbul inflasi yang terlalu tinggi. Imbal hasil (yield) surat utang Amerika mulai meningkat, misalnya tenor 10 tahun naik cepat dari 1,52 persen ke 1,77 persen. Namun, jika terjadi kenaikan suku bunga AS yang terlalu cepat, dikhawatirkan pemulihan ekonomi akan melambat sehingga harga saham di negara itu turun. Jika aktivitas manusia kembali ke kantor, penggunaan teknologi untuk rapat dan berbelanja akan berkurang sehingga harga saham perusahaan teknologi juga turun. Yang juga turun tajam adalah crypto asset. Harga bitcoin, misalnya, naik 44 persen pada Oktober-November 2021, tetapi kemudian turun 54 persen pada November 2021-Januari 2022, mungkin karena mengantisipasi kenaikan kurs dollar AS.

Antisipasi terhadap kenaikan suku bunga dan kenaikan yield surat utang AS membuat pembelian dollar AS mulai menguat. Dollar AS menguat sekitar 1 persen terhadap won Korea, rubel Rusia, dan real Brasil pada awal Januari 2022. Dollar AS juga menguat 0,7 persen terhadap rupiah.

Dunia sedang bergerak dari keadaan tidak normal ke normalisasi. Memori kita harus diingatkan dan sejarah harus ditulis. Pada masa krisis Covid 2020-2021, anggaran negara mengalami tekanan luar biasa, penerimaan turun tajam, sedangkan pengeluaran subsidi untuk menyelamatkan masyarakat meningkat signifikan sehingga defisit anggaran memburuk drastis, terpaksa dibiayai dari utang. Jadi, peningkatan rasio utang pemerintah pada masa pandemi bertujuan untuk menolong manusia.

Pada periode penanganan krisis Covid-19, otoritas moneter di beberapa negara harus menyelamatkan ekonomi dengan melonggarkan likuiditas secara luar biasa, menurunkan suku bunga secara signifikan, bahkan harus ikut membiayai anggaran pemerintah, yang dalam situasi normal tidak boleh dilakukan. Otoritas pengawas, seperti OJK, di beberapa negara juga harus melonggarkan aturan “prudensial”, merelaksasi aturan pencadangan kredit bermasalah agar perbankan dan lembaga pembiayaan tidak merugi. Di Indonesia, berbagai pelonggaran tersebut difasilitasi dengan dibuatnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), yang kemudian menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Namun, ini kebijakan khusus hanya untuk masa darurat, yang setelah tiga tahun harus kembali pada asas pengelolaan makroekonomi yang normal.

Omicron belum mereda, tetapi asumsi para ekonom ialah wabah akan terus melandai. Seiring meningkatnya vaksinasi dan teratasinya wabah Covid, sejak triwulan IV-2021 aktivitas ekonomi mengalami akselerasi. Maka, kebijakan fiskal dan moneter serta kebijakan pencadangan perbankan di beberapa negara juga mulai ancang-ancang untuk normalisasi, artinya kembali pada kebijakan yang pruden.

Kebijakan yang pruden penting dipatuhi oleh negara berkembang yang memiliki defisit struktural di neraca perdagangan barang dan jasa (current account deficit/CAD). Mempersiapkan diri menghadapi kenaikan bunga The Fed dan kenaikan yield surat utang AS pada tahun 2022-2024 perlu dilakukan secara terkoordinasi. Kita harus mencegah gejolak sektor keuangan seperti tahun 2013 yang pada saat itu disebabkan oleh suku bunga Amerika naik, tetapi defisit fiskal dan CAD kita sedang tinggi.

Saat ini kita menikmati stabilitas ekonomi makro. Tentu ada penyebabnya. Pertama, pemerintah berhasil menunjukkan kepada dunia internasional bahwa defisit fiskal bisa diturunkan, dari 6,1 persen produk domestik bruto (PDB) pada 2020 menjadi 4,65 persen PDB tahun 2021. Pada 2022-2024 harus ditunjukkan bahwa prioritas pengeluaran negara sejalan dengan penurunan defisit anggaran ke bawah 3 persen PDB.

Penyebab kedua, neraca perdagangan barang dan jasa mencatat surplus (CA surplus), suatu hal yang jarang terjadi di Indonesia. CA surplus berarti mempunyai kelebihan devisa. CA surplus didorong lonjakan harga komoditas tambang dan perkebunan. Namun, jika harga komoditas akan turun tahun 2022-2024, kita akan kembali mengalami CAD sehingga Indonesia harus cepat beralih ke ekspor barang manufaktur. Dorong PMA yang berorientasi ekspor dan menghemat devisa.

Penyebab ketiga ialah inflasi rendah, hanya 1,9 persen pada 2021. Akibat inflasi yang rendah, suku bunga riil Indonesia masih positif sekitar 1,6 persen, yaitu suku bunga acuan BI sebesar 3,5 persen dikurangi inflasi 1,9 persen. Bandingkan dengan suku bunga riil AS yang saat ini justru negatif. Jadi, dengan suku bunga The Fed akan naik dari 0,25 persen ke 1 persen pada tahun ini, supaya kurs stabil, Indonesia harus bisa mempertahankan suku bunga riil positif lebih tinggi daripada AS dengan mengendalikan inflasi, tidak lebih dari 2,5 persen sambil ikut menaikkan bunga secara perlahan.

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 11 Januari 2022. Rubrik Analisis Ekonomi – Umum. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.